Monday, 7 December 2020

Paradigma Interpretif dalam Penelitian Kualitatif

Setiap aktivitas yang dilakukan manusia pasti didasari oleh suatu keyakinan atau cara pandang mereka terkait dengan aktivitas tersebut. Keyakinan ini disebut dengan paradigma. Demikian pula dengan aktivitas meneliti. Seorang peneliti pasti memiliki paradigma yang menuntunnya dalam melakukan hal-hal tertentu (sehingga sang peneliti dapat memilih atau menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan paradigma tersebut).

Sebuah paradigma telah menuntun peneliti sejak awal menentukan tujuan dan tema penelitiannya. Misalnya seorang peneliti kualitatif, akan lebih cenderung untuk mengeksplorasi suatu fenomena sosial bukannya menguji hipotesis tertentu terkait variabel-variabel teoretis. Selanjutnya paradigma tersebut akan terus menuntun peneliti dalam melakukan setiap tahapan penelitiannya.

Salah satu paradigma dalam penelitian kualitatif adalah paradigma interpretif. Beberapa ahli seperti Denzin, Lincoln dan Mertens menyebutnya juga konstruktivisme sosial. Dalam paradigma ini setiap individu mencari makna dari dunia tempat tinggal mereka. Mereka membangun makna subyektif mengenai pengalaman hidup, yang bersifat variatif dan kompleks. Seorang peneliti dengan paradigma interpretif akan menggali makna yang kompleks tersebut, tidak hanya berhenti pada makna sempit dari ide atau katagori penelitian tertentu. Seringkali makna tersebut harus dinegosiasikan secara sosial maupun historis, melalui interaksi dengan orang-orang yang menjadi subyek penelitian ataupun aspek historis kehidupan mereka.

Selain mendalami bagaimana orang-orang berinteraksi, peneliti kualitatif dengan paradigma interpretif juga fokus pada konteks dari kehidupan masyarakat yang ia teliti dalam rangka untuk memahami seting kultural dan historis para partisipan.Seperti kita ketahui bahwa pola pikir dan kebiasaan manusia sangat dipengaruhi oleh konteks kebudayaan dan historisnya.

Hal yang juga penting dalam paradigma interpretif adalah kesadaran peneliti bahwa konteks kehidupan asal mereka akan berpengaruh terhadap bagaimana mereka menginterpretasi makna dari kehidupan para partisipan. Untuk itu peneliti bersikap transparan dan mencoba untuk selalu melakukan refleksi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya pengaruh latar belakang kehidupan mereka terhadap hasil interpretasi penelitian. Lebih lanjut hal ini akan dibahas dalam kajian mengenai kredibilitas penelitian kualitatif.

Rujukan:

Creswell, J.W., Poth, C.N. (2018). Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Approaches (4th Edition). SAGE Publication Inc.

Friday, 18 September 2020

Definisi Penelitian Kualitatif

Sebagai seorang mahasiswa calon guru tentu anda sering membaca atau mendengar istilah penelitian kualitatif. Tapi tahukah anda apa pengertiannya? Artikel ringkas ini bermaksud untuk menjelaskan apa pengertian atau definisi dari penelitian kualitatif.

Ada banyak tokoh peneliti yang dapat kita jadikan sebagai rujukan untuk mendefiniskan penelitian kualitatif. Dua orang yang cukup terkenal sebagai tokok peneliti kualitatif dunia adalah Denzin dan Lincoln. Kedua peneliti ini mendefinisikan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang dilakukan mengenai suatu hal dalam seting alami, yang bertujuan untuk menghasilkan pemahaman atau menginterpretasikan fenomena dalam makna yang diberikan orang-orang terhadapnya.

Pada definisi tersebut terdapat tiga hal penting yang perlu dicatat yaitu: (1) penelitian kualitatif dilakukan pada seting alami, artinya tidak ada perlakuan khusus yang diberikan oleh peneliti terhadap sesuatu yang diteliti, (2) bertujuan menghasilkan pemahaman atau menginterpretasikan fenomena, yang artinya hasil dari penelitian kualitatif adalah pemahaman baru akan suatu fenomena yang dihasilkan oleh interpretasi (penafsiran) peneliti dan (3) yang diinterpretasi adalah makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap fenomena tersebut, artinya peneliti menggali bagaimana orang-orang memaknai suatu fenomena untuk mendapatkan pemahaman baru tersebut. Hal ini terjadi karena penelitian kualitatif adalah bagian dari penelitian sosial.

Creswell dan Poth (2018) mendefinisikan penelitian kualitatif berdasarkan praktik yang dilakukan yaitu: "Penelitian kualitatif dimulai dari suatu asumsi dan penggunaan kerangka teori tertentu dalam rangka mempelajari suatu permasalahan atau fenomena. Untuk mempelajari permasalahan ini peneliti kualitatif menggunakan pendekatan penelitian, dimana pengumpulan data dilakukan pada seting alami, kemudian analisis baik induktif maupun deduktif untuk  menentukan pola-pola atau tema-tema. Laporan akhir penelitian kualitatif meliputi suara para partisipan, refleksi peneliti, deskripsi dan interpretasi yang kompleks dan kontribusinya terhadap literatur atau tuntutan adanya perubahan."

Memahami definisi kedua memang terkesan agak sulit, bagi mahasiswa yang baru akan mempelajari penelitian. Beberapa istilah seperti kerangka teori, analisis, pola dan tema menuntut pemahaman lebih lanjut. Dengan kata lain, dalam rangka memahami definisi tersebut berarti harus mendalami keseluruhan proses penelitian itu sendiri.

Rujukan: 

  • Creswell, J.W., & Poth, C.N. (2018). Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Approaches (4th ed.). SAGE
  • Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2011). Introduction: The discipline and practice of qualitative research. The SAGE handbook of qualitative research (4th ed.). SAGE.

Thursday, 23 July 2020

Cipta, Rasa dan Karsa Manusia


Pendidikan adalah suatu tuntunan yang diberikan agar seorang anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Tumbuh dan berkembang di sini terutama merupakan aspek kejiwaannya. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bagaimana jiwa manusia tersusun atas tiga kekuatan (trisakti) utama yaitu cipta (pikiran), rasa (hati) dan karsa (kemauan). Konsep mengenai tiga kekuatan jiwa manusia telah ada dalam pemahaman masyarakat Indonesia sebelum ilmu pengetahuan modern membahas jiwa.


Cipta atau kekuatan untuk berpikir adalah suatu bagian di dalam jiwa manusia dalam mengenali, memahami, mengingat dan menyimpulkan berbagai obyek dan fenomena di sekitarnya. Dengan pikiran manusia dapat menemukan kebenaran dan membedakannya dari sesuatu yang salah. Pikiran juga dapat menghasilkan ide-ide baru yang sangat penting bagi perkembangan kualitas hidup manusia.

Kekuatan jiwa kedua adalah rasa, yaitu segala gerak dan perubahan hati sehingga manusia dapat merasakan senang, sedih, kecewa, malu, bangga, kasihan, benci, sayang dan lain sebagainya. Perasaan dialami oleh hati, bukan pikiran. Walaupun demikian keduanya saling berpengaruh. Pikiran dapat menenangkan atau mengguncang perasaan, sebaliknya perasaan dapat mempercepat atau mengganggu pikiran kita. Manusia bukan robot atau mesin berpikir karena ia memiliki hati yang dapat merasakan berbagai nuansa peristiwa atau kejadian yang dialaminya.

Kekuatan ketiga adalah karsa atau kehendak atau kemauan. Kehendak ini merupakan dorongan alami dari dalam diri manusia (Ki Hadjar menyebutnya hawa nafsu kodrati). Perbedaan antara nafsu hewan dengan kehendak pada diri manusia adalah proses yang dialami oleh dorongan diri sebelum menjadi perbuatan. Pada diri manusia dorongan yang berasal dari nafsu akan dipertimbangkan oleh akal pikiran serta diperhalus oleh perasaan sebelum berbuah menjadi perilaku. Sedangkan pada hewan hal tersebut tidak terjadi.

Selanjutnya Ki Hadjar menjelaskan bahwa kesatuan ketiga kekuatan itulah yang disebut dengan budi manusia. Kualitas ketiganya menentukan apakah manusia akan hidup bermanfaat atau merusak. Dengan demikian pendidikan tidak boleh hanya mengutamakan salah satu kekuatan jiwa tersebut.

Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Saturday, 18 July 2020

Irama Dalam Pendidikan Anak


Anak sangat menyukai irama dalam hidup. Lihatlah bagaimana seorang ibu menenangkan atau menidurkan bayi mereka dengan mengayun-ayun anak di gendongan atau menyanyikan lagu pengantar tidur tertentu. Keduanya sama-sama mengandalkan irama, baik irama dalam gerakan maupun irama dalam suara. Adalah kodrat anak menyukai irama yang indah.

Ketika anak bermain kita juga dapat menyaksikan irama tertentu. Banyak sekali lagu anak-anak dalam budaya tradisional Indonesia. Demikiam pula dengan permainan tradisional. Di dalamnya terkandung irama yang indah, sesuai dengan kondisi alam yang daerah tropis yang nyaman.

Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa irama dalam gerakan, suara, bentuk maupun warna sangat penting untuk menjadi bahan pendidikan anak. Irama akan ditangkap oleh indera, pikiran dan jiwa anak sehingga mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang, beretika dengan sesama, dekat pada alam bahkan Tuhan. Ada banyak sekali permainan dan lagu tradisional yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.


Pendidikan anak yang hanya berorientasi pada kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual hanya akan menghasilkan pribadi yang kaku dan kering. Mungkin mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kurang memiliki keterbukaan serta empati pada sesama manusia dan lingkungannya. Selain itu jiwa mereka akan kering sehingga mudah terdampak oleh tekanan sosial ekonomi.

Dapat kita temui betapa banyak orang tua dan guru yang terburu-buru untuk mengajari anak mereka dasar ilmu pengetahuan seperti membaca dan berhitung di masa yang sangat dini. Mereka menganggap bermain dan bernyanyi hanya sebagai hiburan dan dilakukan oleh sebagian besar anak karena malas belajar. Mereka menuntut TK tidak terlalu banyak mengajarkan bermain untuk anaknya.

Tanpa disadari tekanan yang terlalu besar pada aspek akademik membuat anak gampang stres dan melakukan tindak kenakalan. Jiwa mereka jauh dari ketenangan dan keseimbangan. Jika pun berprestasi mereka selalu cemas akan jatuh dan dikalahkan. Sekolah menjadi tempat yang sangat menyiksa.

Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.


Wednesday, 15 July 2020

Belajarlah Agar Hidupmu Bahagia

Masih dapat saya ingat dengan jelas bagaimana marahnya orang tua jika saya malas mengerjakan tugas sekolah, mengaji atau ketika diminta membantu orang tua bekerja. Kemarahan itu lalu menguap, menjadi mendung dan akhirnya turunlah hujan nasehat. Macam-macam nasehat itu, sesuai kondisi dan bagaimana kesalahan yang saya lakukan, tapi jika dapat diambil sari patinya dapatlah saya tuliskan, " belajarlah agar hidupmu bahagia!"

Sebenarnya bukan bahagia yang dipakai orang tua saya, tetapi selamat atau menjadi orang yang berhasil. Ada juga orang tua teman yang menggunakan kata sukses. Di waktu yang lain, nasehat disajikan dalam bentuk kontradiksi yaitu contoh-contoh kemalangan atau penderitaan orang akibat malas belajar di waktu muda. Contoh tersebut mereka ambil dari masyarakat sekitar dengan harapan saya tergugah betul untuk menghentikan kemalasan belajar.

Saya teringat pada pernyataan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Beliau menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu tuntutan untuk tumbuh kembang anak sesuai kodrat mereka dalam rangka mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kata setinggi-tingginya bermakna tidak ada batasan untuk belajar. Selain itu kebahagiaan tidak hanya bermakna kebahagiaan dalam hidup tetapi juga kebahagiaan setelah hidup, selamanya.

Sejak kecil kita selalu ditanya mau jadi apa setelah besar nanti. Macam-macam jawabannya, tentu anda sekalian ingat apa jawaban anda masing-masing di waktu itu. Lalu orang tua akan mengatakan untuk rajin belajar agar keinginan atau cita-cita itu tercapai. Fenomena yang umum terjadi di masyarakat ini juga menggambarkan bahwa sejak kecil anak telah diarahkan dan diberi semangat oleh orang tua untuk belajar demi kebahagiaannya di masa depan.

Orang Sukses yang Tidak Bahagia

Profesi tertentu yang dicita-citakan sebagai model kebahagiaan seringkali membuat pandangan orang tua tertutupi. Akibatnya susah payah orang tua dan anak berjuang demi mencapai cita-cita tersebut, tak peduli bagaimana pun jalannya. Akibatnya profesi yang diidam-idamkan itu tidak mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Hal semacam ini banyak kita temui.

Contoh bagaimana "orang sukses" yang ternyata tidak hidup bahagia dapat kita petik di lingkungan sekitar kita. Lihatlah bagaimana pejabat tinggi yang semakin merasa kurang sehingga melakukan korupsi. Lihat juga bagaimana para artis ternama yang selalu hidup dalam tekanan sehingga narkoba dan bunuh diri menjadi pelarian. Tak sedikit kita temui bagaimana ributnya keluarga orang kaya dalam memperebutkan harta warisan.

Fenomena orang yang kita anggap sukses ternyata tidak bahagia menunjukkan bahwa kebahagiaan berada pada diri manusianya bukan pada pakaian luarnya. Oleh karena itu betapa malangnya hidup yang semata-mata diisi dengan memperjuangkan pakaian luar tersebut.

Menyelami Makna Bahagia

Memahami betul makna bahagia menjadi penting, sehingga orang tua, pendidik dan anak tidak salah langkah dalam hidup. Bahagia adalah kata sederhana yang sangat sering diucapkan, tapi sebenarnya apa makna dari kata tersebut?

Anak-anak yang sedang bermain atau makan kue-kue yang disukai akan merasakan suatu pengalaman yang menyenangkan. Seseorang yang baru saja dapat membeli mobil tentu akan merasa senang luar biasa. Apakah seperti itu bahagia? Sebagian benar namun sebagian lagi tidak.

Mengapa demikian? Sebagian benar karena memang salah satu ciri bahagia adalah perasaan positif seperti senang. Sebagian salah karena masih ada bentuk perasaan lain dalam kebahagiaan seperti tenang, terharu, kagum, lega dan mungkin masih ada lagi. Selain itu kesenangan yang disebabkan oleh hal-hal fisik seperti mainan, makanan atau barang-barang memiliki batas. Beberapa waktu kemudian hal-hal tersebut bisa jadi tidak menyenangkan atau bahkan membosankan. Makanan yang tak terkontrol dan berlebihan bahkan dapat mendatangkan penyakit.

Kebahagiaan bentuk lain adalah ketika kita memperoleh penghargaan dan kasih sayang dari orang lain. Penghargaan dari masyarakat akan mendatangkan rasa puas. Kasih sayang dari keluarga akan mendatangkan rasa nyaman dalam hidup. Keduanya merupakan bagian dari bahagia. Namun kedua hal tersebut juga memiliki batasan. Seseorang dengan penghargaan dan kasih sayang yang melimpah seringkali tak merasakannya lagi. Ia menginginkan hal yang lain.

Demikian pula dengan kesehatan yang teramat berharga. Banyak di antara kita yang tak lagi merasakan nikmatnya sehat di kala tubuh sedang normal dan kuat. Nikmat itu baru disadari ketika diri dilanda sakit.

Sedikit pembahasan ini mengantar kita pada suatu kesadaran bahwa penyebab utama bahagia bukan pada aspek eksternal seperti makanan, permainan, barang-barang baru, kasih sayang, penghormatan atau bahkan tubuh yang sehat. Bahagia lebih disebabkan oleh kemampuan diri dalam menikmati (mensyukuri) semua bentuk kebahagiaan yang mendatangi kita.


Penulis memiliki pengalaman berharga bertemu dengan seorang guru dari Sumenep yang tidak memiliki tangan. Dapat anda bayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa kedua tangan. Betapa menderita dan menyedihkan hidup pastinya. Tapi sungguh mengagumkan, guru tersebut tetap bisa menjalani hidup hanya dengan kedua kaki. Tidak hanya sekedar hidup, ia bahkan bisa menjadi seorang guru yang mengajar dan menulis di depan kelas.

Ada banyak hal yang seharusnya menghasilkan kebagiaan bagi hidup kita setiap hari. Mulai dari udara segar di pagi hari, kehangatan dan tubuh yang sehat, makanan yang disediakan keluarga memberi energi, obrolan ringan dengan anak-anak, pekerjaan yang menghasilkan kecukupan kebutuhan, aneka informasi yang membuat fres pikiran, waktu ibadah yang menanangkan, adanya kesempatan untuk berdiskusi meluaskan wawasan dan pandangan hidup. Dan mungkin masih banyak lagi, yang tak dapat disebut satu persatu. Sayangnya kita lemah dalam mensyukurinya sehingga justru hanya sibuk dengan masalah yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Ditambah lagi anggapan bahwa kebahagiaan diukur dari banyaknya uang, rumah megah, kendaraan serta jabatan tinggi.

Seorang ulama, sastrawan, sufi dan pecinta filsafat Indonesia yaitu Buya Hamka pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, "Segala sesuatu yang ada di alam ini, baik dan buruknya bukan pada zat sesuatu itu, tetapi orang yang menerimanya. Tidak berharga pena bagi orang yang tidak pandai menulis, juga Al-Qur'an bagi seorang nonmuslim yang tak mengerti dan percaya isinya. Demikian pula intan permata hanya akan menjadi mainan bagi seorang anak kecil atau orang gila."

Kemampuan untuk Mensyukuri Hidup

Syukur menunjukkan bahwa seseorang dapat merasakan kebahagiaan atas apa yang dialami, dimiliki atau diterimanya. Sayangnya itu tidak mudah dilakukan. Seorang anak kecil tidak akan bersyukur ketika dilarang membeli manisan. Demikian pula dengan seseorang yang terheran-heran melihat bagaimana nikmatnya orang lain membaca buku, karena ia sendiri jarang membaca. Jangan harap orang tersebut akan bersyukur ketika anda memberi ia hadiah sebuah buku bagus. 

Kemampuan mensyukuri nikmat membutuhkan semua elemen kemanusiaan kita, mulai dari kepekaan indera, kinerja pikiran, perasaan hingga  spiritual.

Semua kebaikan dan keindahan kita terima melalui indera. Maka semaki peka indera semakin terbuka diri kita pada sumber-sumber kebahagiaan yang mengelilingi hidup. Mulai dari udara, air, kehangatan, cahaya, makanan, tempat berlindung, perabot, pakaian, musik atau pemandangan indah. Semua nikmat itu datang melalui indera. Tapi bisa jadi nikmat berkurang jika perasaan dan pikiran kita tak jalan.

Musik atau film bisa jadi tak menghibur pada seseorang yang tidak memahami atau perasaannya keras. Air terjun yang sejuk, bersih dan besar akan semakin mengagumkan bagi seorang ahli lingkungan. Kualitas perasaan dan pikiran akan menentukan bagaimana kemampuan seseorang menikmati sesuatu dan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Tidak kalah penting adalah elemen spiritual, yaitu kesadaran seseorang akan keberadaan Tuhan di balik semua yang ada di alam. Air terjun yang megah tidak hanya terlihat indah dan besar manfaat ekologisnya, tetapi menunjukkan keagungan yang lebih besar. Manusia dengan kepekaan indera, perasaan dan pikiran akan mudah berterimakasih pada orang lain. Tapi yang juga peka spiritual akan lebih dari itu, ia akan senantiasa bersyukur pada Tuhan.

Rasa syukur akan menjadikan hidup menjadi nikmat, bagaimana pun bentuknya, apapun jenis profesi yang digeluti. Hidup yang nikmat akan memaksimalkan kinerja sehingga menjadi lebih produktif. Indera, perasaaan, pikiran dan spiritual yang dilingkupi syukur umumnya akan terdorong untuk membagi nikmat kepada orang lain, mulai dari yang terdekat seperti keluarga.

Lalu Bagaimana Seharusnya Belajar Agar Bahagia?

Harusnya kita menjadi lebih terbuka dengan beberapa penjelasan di atas. Belajar yang mengantarkan seseorang pada keselamatan dan kebahagiaan adalah yang benar-benar dapat secara seimbang mengembangkan semua potensi kemanusiaan yang dimiliki anak. Tidak hanya salah satu, misalnya pikiran atau koginitif saja.

Aktualisasi semua potensi diri tersebut  akan berjalan lancar jika dilandasi kemauan untuk mengenali dan menerima keadaan diri. Orang tua atau guru tidak memaksa atau menuntut anak di luar batas alami kemampuan mereka. Belajar akan dipenuhi oleh kebahagiaan dan syukur sejak dini.

Referensi:
  • Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
  • Hamka (1981). Tasawuf Modern. Yayasan Nurul Islam.


Saturday, 27 June 2020

Efek Lingkungan Terhadap Belajar

Otak manusia tersusun atas belahan kanan dan kiri yang memiliki fungsi yang berbeda. Belahan kanan berfungsi dalam mengenali visual, musik dan situasi lingkungan sedangkan otak kiri berfungsi memahami bahasa verbal dan matematis. Kedua belahan ini bekerja bersamaan dengan fungsi yang saling melengkapi.

(sumber gambar : https://pixabay.com)

Salah satu kejadian sehari-hari yang mungkin anak-anak sering alami terkait dengan fungsi kedua belahan otak adalah ketika sedang belajar. Ada berbagai tipe lingkungan kesukaan untuk belajar. Misalnya sambil mendengarkan musik, belajar di tempat tenang dan nyaman, atau belajar di taman dengan pohon-pohon yang sejuk. Saat otak kiri bekerja memahami konsep-konsep di buku, otak kanan bekerja menikmati berbagai situasi lingkungan tersebut.

Namun banyak kasus dimana konsep yang telah dipelajari ternyata tidak dapat diingat ketika ujian berlangsung. Salah satu penyebabnya adalah kondisi lingkungan yang jauh berbeda saat ujian. Apalagi ujian tersebut adalah ujian yang sangat penting seperti ujian akhir sekolah atau ujian seleksi kerja.

Efek lingkungan terhadap kerja otak dipelajari oleh para ahli psikologi utamanya psikologi kognitif. Penjelasan atas kasus di atas adalah kita dapat menggali suatu memori ketika berada pada situasi yang sama dengan ketika pertama memori tersebut dibuat. Otak kanan terutama (dengan daya ingat yang lebih baik), akan membuat koneksi antara kondisi lingkungan dengan ingatan verbal di otak kiri. 

Dua ahli psikologi, Godden dan Baddeley, pada tahun 1975 melakukan penelitian terkait dengan hubungan antara memori dan lingkungan. Penelitian menguji kelompok-kelompok yang mempelajari suatu bahan dengan treatmen pada lingkungan belajar dan lingkungan ujian. Kesimpulannya kelompok dengan lingkungan belajar dan lingkungan ujian yang sama ternyata mampu mengingat lebih baik. Penelitian-penelitian lain tampaknya juga menunjukkan kesimpulan yang sama.

Lantas bagaimana memanfaatkan fenomena kerja otak ini terhadap proses belajar kita sendiri? Bukankah umumnya situasi ujian akan selalu berbeda dengan situasi belajar?

Benedict Carey mengajukan suatu gagasan yang bagus, yaitu dengan belajar beberapa kali mengenai suatu bahan pada lingkungan yang berbeda. Dengan demikian otak akan lebih mudah mengingat bahan tersebut tidak tergantung pada situasi tertentu saja. 

Referensi:
Carey, B. (2014). How We Learn. New York: Random House.

Friday, 17 April 2020

Sikap Ilmiah


Dalam pembahasan mengenai ilmu pengetahuan kita sering mendengar istilah sikap ilmiah, yang secara sederhana dapat diartikan dengan sikap yang umumnya dimiliki oleh orang-orang yang mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan. Mungkin banyak dari anda yang membayangkan sikap ilmiah sebagai sikap seorang ilmuwan yang serius berpikir dan melakukan penelitian. Dalam bayangan seperti itu tentu saja sikap ilmiah menjadi istilah yang cukup “menyeramkan.”


Sebenarnya sikap ilmiah dapat dimiliki dan diterapkan oleh semua orang, bahkan oleh anak kecil sekalipun yang mau konsisten untuk mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa sikap ilmiah dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan,
  1. Rasa ingin tahu. Yaitu suatu ketertarikan tak habis-habis di dalam diri seseorag mengenai fenomena alam atau sosial yang ada sekitarnya. Ketertarikan ini juga muncul ketika menghadapi hasil-hasil ilmu pengetahuan.
  2. Memprioritaskan fakta atau bukti. Dalam berpikir dan berperilaku selalu menempatkan  fakta atau bukti di atas asumsi atau dugaan semata, apalagi kabar yang dalam akal sehat sulit untuk diterima.
  3. Keinginan untuk memodifikasi penjelasan. Ketika dihadapkan pada fakta atau bukti baru (berbeda dari sebelumnya) muncul keinginan untuk menyesuaikan konsep aau penjelasan yang telah dipahami sebelumnya.
  4. Bekerja sama memecahkan masalah. Lebih suka untuk memecahkan permasalahan secara kooperatif dengan tim, terutama dalam memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan. Didasari oleh kesadaran bahwa kerja sama tim akan memberikan hasil yang lebih baik.
  5. Jujur. Menyajikan data sebagai mana adanya, tidak mengubah atau menyesuaikannya dengan keinginan atau kepentingan pribadi.

Sikap ilmiah sangat penting bagi seorang guru yang setiap hari mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para siswanya. Apa yang diajarkan akan nampak menjadi sisa-sia atau penuh dengan kebohongan jika ternyata sikap sang guru tidak mencerminkan sikap ilmiah. Perlu dipahami, bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya sekedar tumpukan informasi hasil penelitian, tetapi yang terpenting adalah proses untuk menghasilkan pengetahuan tersebut serta bagaimana sikap dari seseorang yang mendalaminya.

Referensi:
Contant, T.L., Tweed, A.L., Bass, J.E. & Carin, A.A. (2018). Teaching Science Trough Inquiry-Based Instruction. Thirteenth Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com 

Wednesday, 1 April 2020

Teori Belajar dalam Interaksi Teman Sebaya

Ketika sekumpulan anak bermain atau melakukan aktivitas tertentu maka seringkali mereka dihadapkan pada sebuah permasalahan. Sebagai contoh pada kelompok anak yang sedang memancing dihadapkan pada masalah mengenai ikan yang lama tidak kunjung memakan umpan (alias belum ada hasil setelah beberapa waktu memancing). Tentu saja akan terjadi keramaian di dalam kelompok. Ada yang mengajukan gagasan untuk pindah tempat, namun ada juga yang berpendapat lain.

Ada banyak contoh lain bagaimana interaksi komunikatif antara teman sebaya. Di dalam ineraksi tersebut ada proses belajar yang seringkali diremehkan oleh para orang tua dan guru. Mereka yang meremehkan adalah yang berpendapat bahwa belajar lebih banyak terjadi di bawah bimbingan guru atau orang tua saja.


Sesungguhnya tidaklah demikian. Interaksi antar teman sebaya bisa memberikan suatu pengalaman belajar yang berharga, bahkan lebih memiliki dampak perubahan dibandingkan ketika anak dibimbing oleh guru. Dua tokoh besar dalam teori belajar, yaitu Piaget dan Vygotsky, memberikan penjelasan bagaimana proses belajar yang dialami anak dalam interaksi dengan teman sebaya.

Bagi Piaget, interaksi antar teman sebaya merupakan sarana penting untuk perkembangan anak. Alasan utamanya bahwa anak-anak dijauhkan dari kekuatan orang tua (atau guru) yang biasanya membuat mereka lebih penurut dan kurang bebas berpikir. Dalam interaksi teman sebaya akan terjadi konflik kognitif yang maksimal, sehingga anak akan melalui proses berpikir tingkat tinggi dan mengkonstruksi pengetahuan baru.

Adapun Vygotsky lebih memperhatikan bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam hubungan teman sebaya. Pada proses belajar dengan orang tua maka hubungannya jelas, orang tua sebagai pengajar sedangkan anak sebagai pelajar yang dibimbing, Hal ini berbeda dengan interaksi dalam kelompok teman sebaya. Interaksinya lebih bersifat dinamis. Anak dapat secara bergantian menjadi orang yang mengajari dan yang belajar. Pada suatu kasus si A memiliki zona belajar di atas zona proksimal temannya, sedangkan di kasus yang lain justru si B yang berperan demikian. Interaksi antar teman sebaya ini justru lebih banyak dialami oleh seseorang dalam hidupnya. Konsep ini juga dapat diterapkan pada proses belajar sepanjang hayat.

Referensi:
Cekaite, A., Blum-Kulka, S., Grover, V. & Teubal, E. (2014). Children's Peer Talk: Learning from Each Other. Cambridge CB2 8BS: Cambridge University Press

Gambar:
https://pixabay.com

Monday, 30 March 2020

Portofolio untuk Mengevaluasi Hasil Belajar

Dalam asesmen pembelajaran  para guru dan calon guru tentu telah sangat akrab dengan istilah portofolio. Ia adalah salah satu metode dalam melakukan penilaian dan evaluasi hasil belajar siswa. McMillan mendefinisikan portofolio sebagai suatu proses sistematis untuk mengumpulkan dan mengevaluasi hasil penilaian formatif dan sumatif siswa dalam rangka membuktikan pencapaian hasil belajar atau menunjukkan bagaimana perkembangan siswa.


Dokumen yang dikumpulkan untuk portofolio dapat berbentuk hasil nyata maupun digital. Yang jelas dokumen-dokumen yang dikumpulkan harus sesuai dengan tujuan tertentu (biasanya mengacu pada standar yang digunakan oleh guru dalam mengajar). Dalam pengumpulan dokumen, sebaiknya guru secara jelas memberitahu siswa apa saja yang menjadi komponen dalam portofolio, dengan tujuan agar siswa juga dapat melakukan refleksi diri.

Secara umum terdapat dua jenis portofolio yaitu:
  1. Portofolio dokumentasi. Yaitu portofolio yang disusun dengan tujuan untuk menggambarkan (membuktikan) pencapaian belajar siswa. 
  2. Portofolio perkembangan. Yaitu portofolio yang disusun dengan tujuan untuk menunjukkan bagaimana perubahan kompetensi siswa dari waktu ke waktu.  Pada jenis ini dokumen yang dikumpulkan telah direncanakan pada waktu-waktu yang teratur dan berurutan sehingga dapat menunjukkan perkembangan siswa secara sistematis.
Kelebihan metode penilaian dan evaluasi menggunakan portofolio adalah kemampuannya untuk menunjukkan secara kongkrit bagaimana perkembangan belajar siswa. Selain itu siswa dapat lebih reflektif terhadap hasil belajar mereka (karena di dalam portofolio feedback guru akan lebih dipahami siswa) sehingga kemungkinan untuk lebih termotivasi belajar lebih tinggi.

Portofolio juga memiliki kelemahan, yang pertama adalah membutuhan waktu dan energi yang besar untuk mengumpulkan dokumen dan menilainya sehingga memberi gambaran yang sistematis tentang hasil belajar siswa. Selain itu berbagai jenis dokumen yang dikumpulkan, serta kemungkinan berbeda untuk tiap individu,  membuat reliabilitas penilaian menjadi berkurang. Yang juga terjadi adalah kesulitan orang tua untuk memahami bagaimana keterkaitan antara masing-masing dokumen sehingga mereka dapat membantu siswa untuk memperbaiki diri.

Bagi guru pun metode portofolio membutuhkan pelatihan dan pengalaman, sehingga menghasilkan keuntungan maksimal bagi proses belajar siswa.

Referensi:
McMillan, J.H. (2018). Classroom Assessment, Principles and  Practice that Enhance Student Learning and Motivation. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday, 25 March 2020

Rasa Ingin Tahu Anak

Setelah berusia sekitar satu tahun, anak akan memulai babak baru dalam kehidupannya. Ia akan mulai belajar berbicara, belajar berjalan, mengeksplorasi obyek-obyek sekitar dengan lebih aktif dan mengenali diri. Mulai dari usia ini anak akan menjadi sangat aktif, sulit untuk duduk manis dan diam. Mereka ingin tahu segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Kodrat anak memang dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin menjamah semua benda yang ada di sekitarnya. Mereka mengamati bagaimana tingkah polah hewan-hewan dan berusaha menirukan suaranya. Ketika mulai bisa berbicara mereka akan banyak bertanya.


Bagi orang tua yang kurang memahami arti penting rasa ingin tahu, mereka akan menganggap anak yang mengambil semua benda yang dilihat dan melemparnya sebagai nakal. Pernahkan anda melihat orang tua yang cuek dengan berbagai pertanyaan anak? Sikap tersebut dilandasi oleh pemahaman yang salah tentang rasa ingin tahu anak sebagai sesuatu yang tidak penting untuk didukung dan ditumbuhkan.

Rasa ingin tahu membuat anak (siapapun mereka) selalu menjadi seolah pelajar yang luar biasa. Pernah kesulitan belajar bahasa inggris atau jepang? Hal itu tidak berlaku pada anak. Dimana pun mereka dilahirkan, maka bahasa masyarakat di tempat itu akan segera dikuasainya. Anak seorang petani tidak kesulitan untuk menguasai berbagai keterampilan bertani, demikian pula dengan anak nelayan, tukang atau ahli silat.

Rasa ingin tahu yang didukung akan menumbuhkan karakter positif bagi diri anak. Mereka akan mengalami perkembangan maksimal, baik fisik maupun mental. Tentu saja ada batasan-batasan dalam memberikan dukungan agar tidak justru menghasilkan dampak negatif.

Salah seorang pakar pendidikan anak dunia, Maria Montessori, menyebutkan lima hal yang dapat mendukung rasa ingin tahu dalam diri anak:
  1. Percaya pada anak. Orang tua harus memiliki kepercayaan pada anak mereka, bahwa setiap aktivitas yang dilakukannya, permainan yang digemarinya, memiliki dampak-dampak positif. Orang tua tidak terlalu banyak melarang.
  2. Lingkungan belajar yang kaya. Rasa ingin tahu yang besar akan tumbuh secara alami di lingkungan yang kaya (artinya bervariasi). Kaya di sini tidak berarti benda-benda yang mahal. Setiap obyek di alam memiliki keunikan yang dapat menstimulir kognisi dan perasaan anak. Obyek yang monoton akan membuat anak bosan dan berperilaku negatif.
  3. Waktu. Anak membutuhkan waktu untuk melakukan aktivitasnya, sesuai dengan ketertarikannya. Jangan banyak mengganggu dan merampas waktu anak dengan keinginan orang tua (yang mungkin dianggap lebih bermanfaat).
  4. Keamanan. Tanpa kehadiran orang tua maka anak akan menghadapi banyak bahaya, mulai dari bahaya fisik (misal aliran listrik, benda tajam, lubang, dll) hingga bahaya mental (anak merasa takut dan asing tanpa kehadiran orang tua di dekatnya). Dibutuhkan kehadiran orang tua untuk memberikan keamanan dan rasa nyaman bagi anak untuk mengeksplorasi dunia sekelilingnya. 
  5. Dorongan kekaguman. Orang tua dapat bertanya atau menunjukkan sesuatu yang menarik. Mengajak mereka jalan-jalan menikmati keindahan dan keagungan alam. Rasa kagum anak akan memupuk rasa ingin tahunya.
Lebih utama dari lima hal di atas, orang tua dapat belajar untuk menumbuhkan rasa ingin tahu anak sesuai dengan kondisi dan karakter mereka sendiri, Setelah itu semua yang terbaik dapat dibagi.

Referensi:
Davies, S. (2019). The Montessori Toddler, A Parent's Guide to Raising A Curious and Responsible Human Being. New York: Workman Publishing Co., Inc.

Gambar:
https://pixabay.com 

Monday, 23 March 2020

Filsafat Realisme dalam Pendidikan

Filsafat realisme merupakan aliran filsafat dengan tokoh utama Aristoteles yang hidup di Yunani pada tahun 384-322 SM. Dia merupakan salah satu siswa Plato di Academy (sekolah yang didirikan oleh Plato). Aristoteles dengan berbagai pemikirannya yang luar biasa juga mendirikan sebuah sekolah yang bernama Lyceum.


Jika filsafat idealisme yang dibawa oleh Plato (lengkapnya baca di sini) memandang bahwa yang nyata hanyalah ide di dalam pikiran manusia, sedangkan benda-benda material hanyalah merupakan bayang-bayang dari ide tersebut, maka Aristoteles memandang bahwa materi juga nyata seperti halnya ide. Perbedaannya, jika ide dapat eksis secara independen, maka materi tidak dapat independen dari ide. Artinya, di dalam setiap materi terkandung ide (istilahnya forma) sehingga dapat dipahami oleh manusia (dengan ide-ide di dalam pikiran mereka).

Tugas utama manusia bagi Aristoteles adalah berpikir, memahami berbagai obyek dan peristiwa di alam, termasuk dirinya sendiri. Manusia harus menggali berbagai ide yang terkandung di setiap obyek dan peristiwa alam. Oleh karena itulah kebenaran dalam filsafat realisme dapat peroleh dengan mempelajari materi di luar diri, tidak hanya melalui dialog seperti yang diajarkan oleh Plato dan Sokrates. Ide paling utama dari berbagai materi di alam menurut Aristoteles adalah tujuan. Artinya setiap obyek memiliki tujuan atas keberadaannya. Dengan memahami tujuan tersebut manusia dapat berperan secara tepat sesuai dengan tujuan keberadaannya di alam.

Pada abad ke-17 Francis Bacon menjadi pencetus realisme modern, yaitu dengan konsep berpikir induktif yang nantinya akan mendasari tumbuhnya sains modern. Dalam konsep berpikir induktif Bacon mengajukan suatu metode bagaimana cara mempelajari obyek-obyek atau fenomena secara partikular untuk mendapatkan kesimpulan yang universal. 

Dalam dunia pendidikan paham realisme dapat terlihat dari bagaimana pentingnya interaksi alam nyata (obyek dan peristiwa di sekitar) dengan siswa untuk terjadinya belajar dan berkembang. Dua orang tokoh besar pendidikan anak, Froebel dan Montessori menganjurkan interaksi tersebut dalam aktivitas bermain. 

Referensi:
Ebert, E.S. & Culyer, R.C. (2014). School, An Introduction to Education. Belmont,CA : Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Monday, 16 March 2020

Menemukan Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) Siswa

Istilah zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) atau yang disingkat ZPD memegang peran penting dalam teori belajar sosiokultur yang dikonstruk oleh psikolog Rusia Lev Vygotsky. Istilah ini menunjukkan suatu rentang kemampuan dimana seorang anak akan mampu mengerjakan suatu tugas dengan bantuan orang lain yang lebih ahli.


Vygotsky menyatakan bahwa seorang pengajar harus mencari dan mengetahui ZPD siswa agar dapat memberikan bantuan belajar. Jika pelajaran diberikan begitu saja sehingga tidak tepat pada ZPD siswa (terlalu mudah atau sebaliknya terlalu sulit) maka siswa tidak akan mengalami proses belajar yang optimal. Selain itu siswa akan mengalami kebosanan atau rasa tertekan selama belajar. Trauma dapat muncul sehingga semakin lama semakin sulit mengajak mereka belajar.

Sebenarnya bagaimana cara seorang pengejar menemukan ZPD siswa?

ZPD adalah suatu zona aktivitas (fisik maupun kognitif) yang baru dapat dilakukan siswa ketika mendapatkan bantuan tertentu. Pada pengantar pembelajaran guru dapat memberi siswa pertanyaan. Respon siswa dalam memberikan jawaban dapat menjadi bahan analisis guru mengenai batasan kemampuan mereka. Jika siswa benar-benar tidak bisa memberikan jawaban yang sesuai maka pengetahuan tersebut masih belum berada di ZPD. Demikian pula jika sebaliknya, jawaban menunjukkan pemahaman yang baik, itu berarti tidak berada di dalam ZPD siswa. Guru dapat menaikkan atau menurunkan level pembelajaran agar lebih sesuai dengan ZPD siswa. JIka kondisi ZPD siswa bervariasi Vygotsky menawarkan metode belajar kolaborasi agar siswa dapat bekerja sama dan semua mendapatkan kesempatan untuk belajar. 

Metode lain adalah meminta siswa untuk menirukan suatu penerapan keterampilan, Cara untuk menemukan ZPD mereka sama halnya dengan metode memberikan pertanyaan di atas.

Hal penting yang harus diperhatikan oleh guru menurut Vygotsky adalah mengenai kesesuaian pembelajaran dengan kultur siswa. Misalnya bahasa, guru harus memperhatikan bagaimana bahasa kultural siswa menyebut aktivitas, keterampilan, fenomena atau obyek yang dipelajari. Demikian pula dengan kesesuaian pelajaran di sekolah dengan kehidupan sehari-hari siswa. Terputusnya pelajaran dengan budaya asal siswa akan menjadikan pembelajaran kehilangan makna.

Referensi:
  1. Chaiklin, S. (2003). The Zone of Proximal Development in Vygotsky's Analysis of Learning and Instruction. Dalam Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V.S. & Miller, S.M. (Ed.). Vygotsky's Educational Theory in Cultural Context. (pp. 39-64). Cambridge: Cambridge University Press.
  2. Woofolk, A. (2016). Educational Psychology. Thirteenth Edition. Harlow, Essex: Pearson Educationa Limited.
Gambar:
https://pixabay.com

Sunday, 15 March 2020

Guru Peduli dan Memotivasi

Salah satu aspek yang mempengaruhi motivasi siswa untuk belajar dan berprestasi di sekolah adalah interaksi mereka dengan orang tua, guru dan teman. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana interaksi guru dan siswa yang dapat memotivasi untuk belajar. Interaksi dengan orang lain adalah sumber dari pengalaman sosial. Di dalam kelas, bagaimana pola interaksi dengan guru akan memotivasi siswa untuk belajar atau justru sebaliknya.


Beberapa penelitian menemukan bahwa siswa yang tidak belajar dengan baik di sekolah memiliki interaksi yang buruk dengan guru mereka. Para siswa sering mendapat marah atau tidak dipedulikan. Kelas dan aktivitas di dalamnya menjadi sangat membosankan dan bahkan membuat siswa tertekan.

Selanjutnya para peneliti menelusuri karakter guru seperti apa yang paling dapat memotivasi siswa untuk belajar dan berprestasi di sekolah. Salah satu cara untuk menemukannya adalah dengan mengeksplorasi pandangan siswa mengenai guru yang peduli terhadap mereka. Penelitian yang dilakukan Wentzel pada tahun 1997 menemukan empat karakter guru peduli dalam pandangan siswa yaitu:
  1. Mengenai Perilaku. Guru peduli akan berusaha untuk membuat kelas menjadi lebih menyenangkan dan mengajar dengan cara-cara yang spesial. Guru yang tidak peduli membosankan ketika mengajar, tidak menjalankan tugasnya dan tetap mengajar walaupun siswa tidak memperhatikan.
  2. Mengenai Gaya Komunikasi. Guru peduli mau berkomunikasi dengan setiap siswa, penuh perhatian, memberikan pertanyaan-pertanyaan dan juga mau mendengarkan. Guru yang tidak peduli seringkali cuek pada siswa, suka memotong ketika siswa berbicara, berteriak dan bahkan menyindir siswa.
  3. Mengenai Penghargaan. Guru peduli bersikap jujur, adil, memenuhi janji, percaya pada siswa dan menghargai keberadaan siswa. Guru yang tidak peduli lebih banyak mempermalukan dan menghina siswa.
  4. Mengenai perhatian terhadap Individu Siswa. Guru peduli mau bertanya permasalahan siswa, dapat bersikap seperti seorang teman, mau memberi waktu hingga siswa paham dan menyapa siswa. Guru tidak peduli melupakan nama siswa, tidak peduli ketika siswa melakukan kesalahan, tidak merespon pertanyaan siswa dan tidak mencoba untuk membantu siswa yang sedang kesulitan.
Interaksi dengan guru peduli akan memberi pengalaman yang positif tentang belajar dan bersekolah. Hal tersebut akan memotivasi siswa untuk menyukai pelajaran, berusaha dengan maksimal meraih prestasi dan lebih percaya diri.

Referensi:
Santrock, J.W. (2018). Educational Psychology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Education

Gambar:
https://pixabay.com

Friday, 13 March 2020

Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Instructional Model)

Dalam teori belajar konstruktivis, belajar dipandang sebagai suatu proses aktif, dimana anak belajar melalui pengalaman mereka. Pengalaman tersebut menjadi bahan-bahan dalam mengkonstruksi pengetahuan dan kompetensi yang lain. Prinsip itu melahirkan suatu model pembelajaran melalui penemuan (discovery model), dimana anak diarahkan oleh guru untuk menemukan sendiri pengetahuan, tidak dengan cara diberi secara langsung.

Dalam beberapa penelitian dan kajian ilmiah, ternyata banyak guru yang salah memahami model pembelajaran penemuan. Kesalahannya terletak pada anggapan bahwa siswa harus dibiarkan beraktivitas secara mandiri untuk menemukan pengetahuan yang akan diajarkan. Hal tersebut seringkali membuat para siswa menjadi membuang-buang waktu, bosan dan stres karena terlalu sulit bagi mereka. Sebenarnya pandangan guru bahwa siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan adalah benar, sesuai dengan prinsip teori konstruktivis. Yang keliru adalah anggapan bahwa proses penemuan tersebut harus dilakukan sendiri tanpa adanya bantuan secara eksplisit.


Berdasarkan kenyataan itulah maka para ahli mengembangkan suatu model pembelajaran melalui penemuan namun dengan memberikan bantuan secara eksplisit kepada siswa. Model tersebut diberi nama model pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery instructional model).

Teori yang melandasi model penemuan terbimbing adalah teori scaffolding dari Vygotsky dan para penerusnya (untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel ini). Scaffolding adalah bantuan kognitif yang diberikan oleh orang yang lebih ahli (misalnya guru dan orang tua) agar anak lebih cepat mempelajari suatu pengetahuan atau keterampian baru. Dalam konsep ini bantuan harus tetap memberi anak ruang untuk berusaha aktif menemukan pengetahuan sendiri. Ketika bantuan yang diberikan terlalu berlebihan anak akan kehilangan kesempatan untuk berusaha dan belajar. Sebaliknya bantuan yang kurang memadai akan membuat situasi belajar terlalu sulit.

Tahap-tahap pembelajaran (sintaks) dalam model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
  1. Introduction and review. Guru membuka pembelajatan dengan menyajikan tujuan dan fokus dari belajar, serta mereview pembelajaran yang sebelumnya dilakukan. Pada aktivitas ini guru berperan dalam menarik perhatian dan mengaktifkan prior knowledge siswa.
  2. Open-ended phase. Guru memberikan contoh-contoh serta meminta siswa untuk melakukan pengamatan dan komparasi. Pada aktivitas ini guru mengarahkan siswa pada pengalaman yang akan membuat mereka dapat mengkonstruk pengetahuan. Selain itu guru mendorong untuk terjadinya interaksi sosial.
  3. Convergent phase. Guru memandu siswa dalam mencari pola-pola (konsep) pada sesuatu yang diamati dan dikaji.
  4. Closure. Dengan bimbingan guru, siswa menyusun definisi atau deskripsi mengenai konsep yang dipelajari.
  5. Aplication. Guru meminta siswa untuk menggunakan konsep yang telah dipelajari untuk menjelaskan peristiwa nyata lain yang berkaitan.
Salah satu perbedaan model ini dengan pembelajaran langsung adalah guru lebih sedikit menjelaskan tetapi lebih banyak bertanya sebagai bentuk bimbingan bagi siswa untuk berpikir dan beraktivitas. Jika model ini berhasil meningkatkan keterlibatan siswa dalam menemukan suatu konsep, maka rasa tertarik mereka untuk belajar secara mandiri juga akan meningkat.

Referensi:
Eggen, P. & Kauchak, D. (2016). Educational Psychology, Windows on Classroom. Tenth Edition. Harlow, Essex: Pearson Education Limited

Gambar:
https://pixabay.com

Thursday, 12 March 2020

Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)

Para ahli psikologi perilaku menyebut model pembelajaran langsung ini dengan istilah modeling with reinforced guided performance (pemodelan dengan penguatan kinerja terbimbing). Pada istilah tersebut terdapat dua konsep utama yang berasal dari psikologi perilaku yaitu pemodelan (modeling) dan penguatan (reinforcement). Pada konsep pemodelan, siswa mengikuti apa yang dicontohkan oleh guru sebagai orang yang menguasai pengetahuan atau keterampilan yang akan diajarkan. Untuk mendorong keberhasilan pemodelan tersebut maka diterapkan penguatan dan bimbingan berupa praktik, feedback dan motivasi.


Model pembelajaran langsung efektif untuk mengajarkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Melalui percontohan dan penguatan terencana yang dilakukan oleh guru maka siswa dapat menguasai apa yang diajarkan dalam waktu yang relatif cepat.

Sintaks model pembelajaran langsung terdiri atas lima tahapan sebagai berikut:
  1. Orientasi. Guru mereview pelajaran sebelumnya yang berkaitan, menjelaskan tujuan pembelajaran serta prosedur pembelajaran yang akan dilakukan.
  2. Presentasi. Guru menjelaskan atau memberi contoh konsep atau keterampilan, serta mengecek pemahaman siswa.
  3. Praktik terstruktur. Guru mengarahkan praktik percontohan, baik berupa skil atau soal untuk penguasaan konsep. Guru memberikan feedback pada kesalahan yang dilakukan siswa. Juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari siswa.
  4. Praktik terbimbing. Siswa melakukan praktik semi mandiri. Guru melakukan monitoring dan memberikan feedback.
  5. Praktik mandiri. Siswa melakukan praktik mandiri di rumah atau di kelas. Feedback diberikan walaupun tidak seketika. Praktik mandiri ini dapat dilakukan beberapa kali dalam periode ternetu.
Situasi belajar yang sebaiknya dibangun adalah positif dan realistis, dimana siswa dan guru dapat berbagi pengetahuan. Motivasi berupa penghargaan dengan bentuk-bentuk yang bervariasi dan efektif dapat dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.

Referensi:
Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2015). Models of Teaching. Ninth Edition. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday, 11 March 2020

Filsafat Idealisme dalam Pendidikan

Filsafat merupakan pengetahuan yang bersifat mendasar dan menyeluruh (holistik) sebagai hasil dari proses berpikir. Karena sifatnya yang mendasar dan holistik itulah maka filsafat sering dijadikan sebagai salah satu pemberi petunjuk manusia dalam menjalani hidupnya, atau minimal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sebagai hasil berpikir, filsafat terus bergulir tak pernah berhenti (seperti halnya pengetahuan yang lain). 

Filsafat juga dapat diartikan sebagai proses untuk menemukan kebenaran tertentu dengan menggunakan keterampilan berpikir (logika). Dalam sejarah, terdapat beberapa tokoh besar filsafat yang hasil pencarian akan kebenaran yang mereka lakukan ternyata berpengaruh luas pada pemikiran manusia setelahnya. Pemikiran-pemikiran besar tersebut membentuk suatu aliran (filsafat dengan ciri khas atau prinsip tertentu). Ia berpengaruh luas karena memang dapat diterima oleh pikiran banyak orang dan kemampuannya dalam menyentuh sendi-sendi kehidupan yang fundamental, misalnya pendidikan.

Salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang banyak dibahas adalah idealisme. Suatu aliran yang berasal dari zaman Yunani Kuno sekitar 4 abad sebelum masehi. Tokoh utama aliran idealisme adalah Plato (427-347 SM) yang banyak mendapatkan pelajaran dari gurunya, Sokrates. Aliran ini memandang bahwa realita (kenyataan) yang sesungguhnya adalah "ide" atau kebenaran yang ada di dalam pikiran dan jiwa manusia. Kursi secara fisik akan hancur akan tetapi kursi di dalam pikiran tidak akan berubah, begitulah contoh sederhananya.


Dalam pandangan idealisme, "ide" telah ada di dalam diri setiap manusia, namun belum disadari. Salah satu metode yang efektif untuk mengeluarkan ide tersebut adalah melalui dialog yang kritis. Tanya jawab yang hati-hati akan membawa seseorang menyadari suatu kebenaran yang tidak disadarinya selama ini. Sokrates mengatakan bahwa setiap orang pada dasarkan mengandung (hamil) kebenaran. Tugas filsuf mirip dengan seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan. 

Dalam sistem pendidikan, idealisme menganjurkan untuk lebih terfokus pada aktivitas intelektual, moral dan etika sebagai wujud dari ide di dalam diri manusia. Ide-ide dasar di dalam diri manusia (intelektual, moral dan spiritual) itulah yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan siswa kelak di masyarakat. Aliran ini tentu kurang setuju jika yang diutamakan dalam pendidikan adalah aspek eksternal dan material misalnya pekerjaan atau profesi.

Referensi:
Ebert, E.S. & Culyer, R.C. (2014). School, An Introduction to Education. Belmont CA: Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Tuesday, 10 March 2020

Reliabilitas Asesmen

Ketika guru atau peneliti mengadakan suatu asesmen (baik dengan tes atau pengamatan), maka salah satu aspek yang harus dimiliki oleh asesmen tersebut adalah reliabilitas. Tes disebut reliabel jika tes tersebut bersifat konsisten atau ajeg, artinya akan memberikan hasil yang relatif sama jika dikerjakan oleh orang yang sama pada kondisi yang berbeda. Sebuah tes yang memberikan hasil yang sangat berbeda ketika dikerjakan pada pagi dan sore hari, maka tes tersebut tidaklah reliabel. Demikian juga ketika tes menghasilkan nilai yang sangat berbeda ketika dikerjakan pada dua waktu yang tidak terlalu lama menunjukkan bahwa tes tersebut tidak konsisten atau reliabel.


Bagaimana cara kita mengetahui reliabilitas suatu tes? Terdapat empat cara yaitu:
  1. Test-retest Reliability. Pada cara pertama ini seperangkat tes diberikan dua kali di waktu yang berbeda kepada sekelompok siswa yang sama. Hasil tes kemudian dihitung koefisien korelasinya. Nilai koefisien korelasi mulai dari 0 hingga 1. Salah satu kelemahan teknik ini adalah pada penentuan waktu antara kedua tes, jika terlalu lama kemungkinan hasil dipengaruhi oleh berbagai peristiwa dan pelajaran yang diterima oleh siswa. Jika terlalu singkat maka hasilnya akan dipengaruhi ingatan siswa akan tes yang pertama.
  2. Equivalent-form Reliability. Pada cara yang kedua ini guru atau peneliti tidak hanya membuat satu perangkat tes, tetapi dua perangkat dengan tingkat kesulitan yang setara. Kedia tes dikerjakan pada satu waktu (walaupun ada jeda waktu tetapi singkat). Hasil keduanya kemudian diukur koefisien korelasinya.  Kelemahan dari teknik ini adalah menyusun butir-butir tes yang setara (membutuhkan ketelitian dan penguasaan materi yang baik). Selain itu mengadakan dua tes di waktu yang sama akan membuat siswa mengalami stres (sehingga teknik ini sangat jarang digunakan).
  3. Internal Consistency Reliability. Pada cara ketiga ini perangkat tes hanya satu dan dilakukan juga hanya satu kali. Kepraktisannya membuat teknik ketiga ini yang paling banyak digunakan. Nilai konsistensi internal menunjukkan seberapa terkait masing-masing butir soal dengan konstruk tertentu. Misalnya kita membuat soal-soal untuk mengukur kemampuan mengingat dan memecahkan permasalahan, maka kita dapat melakukan dua analisis reliabilitas untuk masing-masing jenis konstruk soal tersebut. Hasil dari tes diukur koefisien alfanya. Butir dengan koefisien alfa lebih dari 0,7 adalah butir yang reliabel.
  4. Interscorer (interrater) reliability. Teknik keempat ini digunakan untuk mengukur reliabilitas pada dua pemberi skor (umumnya dua pengamat) yang berbeda. Hasil skor dari kedua pengamat tersebut kemudia dianalisis korelasinya (koefisien korelasi). Selain itu dapat juga menggunakan formula  percentage of interrater agreement.
Referensi:
  1. Christensen, L.B., Johnson, R.B. & Turner, L.A. (2015). Research Methods, Design and Analysis. Twelfth Edition. Essex CM20 2JE: Pearson Education Limited
  2. Johnson, R.B. & Christensen, L.B. (2017). Educational Research: Quantitative, Qualitative and Mix Approaches. Sixth Edition. Thousand Oaks California: Sage Publications, Inc.
Gambar:
https://pixabay.com

Monday, 9 March 2020

Perlukah Baby Walker untuk Membantu Bayi Belajar Berjalan?

Setiap orang tua pasti ingin membantu, membimbing, mengajari dan menuntun anak mereka agar mengalami perkembangan yang sehat dan menjadi orang dewasa yang mandiri dan bahagian dalam hidupnya. Di masa bayi salah satu keterampilan yang sangat berkesan adalah berjalan. Ketika bayi mulai belajar berjalan, orang tua akan penuh semangat menuntun mereka.

Bukalah youtube.com dan ketik kata pencari baby first step atau bayi belajar jalan, maka akan anda temui banyak sekali unggahan video orang tua mengajari bayi belajar berjalan. Semua video tersebut memberi kesan bahwa anak yang belajar berjalan begitu lucu dan menggemaskan, serta memberi kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Momen anak belajar berjalan biasanya akan terus diingat oleh orang tua hingga si anak menjadi dewasa dan berkeluarga.


Salah satu keyakinan orang tua ketika bayi belajar berjalan adalah dengan membelikan mereka baby walker. Alat ini dapat kita temui di berbagai masyarakat sejak berabad-abad lamanya, dengan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk yang umum saat ini adalah lingkaran dengan roda-roda di bawah dan terdapat tempat duduk empuk di bagian tengah. Bentuk lingkaran memungkinkan baby walker tersebut bergerak ke arah manapun.

Ternyata keyakinan masyarakat tidak terbukti dalam hasil-hasil penelitian. Penggunaan baby walker berdasarkan data statistik pada banyak penelitian justru membuat masa belajar berjalan bayi menjadi lebih lama beberapa minggu dari pada anak yang tidak menggunakannya. Alasan yang pertama adalah baby walker justru menurunkan semangat bayi untuk berjalan yang sebenarnya, karena bergerak di dalam alat tersebut lebih mudah. Yang kedua, kemampuan berjalan yang normal dan optimal membutuhkan keterampilan beberapa otot di bagian yang berbeda, yang akan dipelajari bayi mulai ketika ngesot, merangkak, berpegangan pada obyek untuk berdiri dan duduk.

Hal negatif lain yang dapat muncul dari baby walker adalah kemungkinan kecelakaan yang lebih tinggi dibanding jika bayi belajar berjalan secara alami, misalnya hanya dengan dituntun. Kecelakaan tersebut dikarenakan baby walker membuat perpindahan bayi lebih cepat, sehingga di lokasi yang kurang aman membuat orang tua terlambat untuk mencegah jika bayi mengalami sesuatu. Pada beberapa negara maju jumlah kasus kecelakaan bayi karena penggunaan baby walker termasuk besar.

Kanada menjadi negara pertama pada tahun 2004 yang melarang perdagangan baby walker. Namun karena masyarakat telah begitu percaya akan kegunaan alat tersebut, jadinya perdagangan baby walker terus dilakukan di pasar ilegal. 

Terdapat bentuk baby walker yang mungkin membuat anak lebih aktif dari baby walker bentuk lingkaran, yaitu yang berbentuk kereta dorong. Bisa jadi anak tidak malas lagi dengan bentuk ini. Namun belajar berjalan secara alami dengan bantuan langsung dari orang tua tetap akan lebih baik hasilnya. Walaupun untuk itu para orang tua akan lebih capek (dan bisa jadi inilah alasan utama penggunaan baby walker). 

Referensi:
Hupp, S. & Jewell, J. (2015). Great Myths Of Child Development. West Susseex: John Wiley & Sons, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Sunday, 8 March 2020

Kelekatan (Attachment) antara Ibu dan Anak

Tentu anda sering melihat bagaimana seorang anak kecil akan menangis ketika terpisah atau ditinggal pergi oleh ibu dan ayahnya (namun yang lebih  kuat adalah ibu). Hal tersebut dikarenakan adanya ikatan emosional antara anak dengan ibu (bisa juga orang lain yang lebih intens merawat si anak).

Dalam ilmu psikologi anak, peristiwa seperti di atas dikenal dengan kelekatan (attachment). Adanya ikatan emosional seorang anak dengan pengasuh yang umumnya adalah sang ibu. Kelekatan bukan sesuatu yang sepele, ikatan tersebut merupakan landasan kekuatan bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, belajar dan berkembang dengan sehat. Kelekatan yang sehat dengan ibu akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak sehingga ia akan berkembang, belajar dan mengeksplorasi lingkungan sekitar secara maksimal. 


Kelekatan berlangsung melalui interaksi selama beberapa waktu di awal kehidupan bayi. Ketika ibu memberi makan, memandikan, membersihkan kotoran, mengajak bermain hingga menemani tidur, akan berlangsung interaksi sosial pertama yang dialami anak. Interaksi yang nyaman dan hangat akan menghasilkan suatu kelekatan yang aman (secured attachment). Sedangkan interaksi yang tidak nyaman akan menghasilkan kelekatan yang tidak aman (unsecured attachment) antara anak dengan ibu atau pengasuhnya.

Manurut Ainsworth terdapat dua jenis kelekatan yang tidak aman, yaitu kelekatan menghindar (avoidant attachment) dan kelekatan menolak (resistant attachment). Anak yang memiliki kelekatan menghindar tidak begitu terpengaruh dengan perginya ibu, ia akan tetap fokus bermain. Sedangkan anak yang memiliki kelekatan menolak akan menangis keras ketika dipisahkan dari ibu mereka, namun ketika ibunya datang mereka menunjukkan sikap menolak. Anak dengan kelekatan yang aman akan menangis ketika ditinggal oleh sang ibu dan akan menjadi senang dan segera mendekat ketika ibunya datang.

Jenis kelekatan menentukan bagaimana kondisi psikologis anak, apakah mereka merasa bahagia, tertekan, kesepian, atau bingung dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan berkembang. Jenis kelekatan anak dengan ibu (pengasuh) akan menjadi pola perilaku mereka ketika berinteraksi dengan orang lain. Anak yang hangat, mudah berkomunikasi adalah ciri dengan kelekatan aman. Anak dengan kelekatan tidak aman cenderung memiliki masalah pada interaksi sosial mereka (seperti cuek, sinis, sulit percaya, mudah mengejek, kasar dan lain sebagainya). Bagaimana sikap anak di sekolah dan masyarakat sebagian besar ditentukan oleh bagaimana kondisi kelekatan mereka dengan ibu, ayah atau para pengasuh yang lain di rumah. 

Referensi:
Rathus, S.A. (2018). Child and Adolescent Development. Second Edition. Boston, MA: Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Friday, 6 March 2020

Tumbuhnya Empati

Kualitas karakter dan moral seseorang adalah pada perilaku baik yang ia lakukan terhadap orang lain. Menolong orang lain yang sedang tertimpa kesulitan adalah perilaku atas dasar dorongan dari dalam diri. Munculnya dorongan untuk membantu orang lain disebabkan manusia mempunyai empati. Lantas, apakah empati itu?

Secara sederhana empati merupakan suatu kondisi kejiwaan dimana seseorang dapat memahami dan ikut merasakan emosi orang lain. Ia merasa senang ketika temannya mendapatkan keberuntungan, sebaliknya ia merasakan kesedihan atau bahkan rasa sakit dari teman yang sedang tertimpa kecelakaan. 

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk penolong. Setiap orang memiliki empati di dalam dirinya, walaupun berbeda level sesuai dengan pengalaman dan kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil. Sebelum usia satu tahun, bayi telah merasakan empati pada orang lain (ia tertawa jika diajak tertawa atau ikut gelisah ketika orang tuanya sedih). Namun kondisi kognitif yang masih belum mampu memahami perbedaan diri dan orang lain membuat empati yang dimilikinya berupa empati egosentris. Bayi menganggap perasaan orang lain adalah sama dengan yang dialaminya.

Semakin bertambah usia dan kemampuan kognitif anak, maka semakin berkembang pula kualitas empatinya. Ia telah dapat memahami bahwa kondisi yang dialami orang lain adalah berbeda dengan yang ia alami. Namun ia mampu ikut merasakan apa yang terjadi pada orang lain, terutama orang-orang yang dekat. 


Empati melahirkan perilaku menolong orang lain, atau minimal membuat orang lain merasa senang, Semakin bertambah umur anak maka semakin banyak ia menolong teman atau orang-orang di sekitarmya. Namun untuk itu orang tua harus memberi contoh dan membiasakan anak. Kita sering melihat bagaimana orang tua meminta anak memberikan sebagian kue yang dimilikinya kepada teman, atau meminjamkan mainannya. Hal-hal tersebut merupakan contoh bagaimana orang tua mengajarkan anak mewujudkan empati di dalam diri mereka menjadi perilaku nyata.

Pengalaman pahit atau tidak menyenangkan juga dapat menjadi penguat empati pada diri seseorang, terutama jika ia mengalami kesulitan seperti halnya yang dialami oleh orang-orang terdekatnya. Misalnya anak yang membantu orang tuanya mengerjakan pekerjaan sehari-hari (tanpa paksaan) akan membuat anak dapat ikut merasakan susahnya kehidupan orang tuanya selama ini. Empati tersebut dapat mendorongnya untuk terus membantu orang tua dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Referensi:
  1. Kail, R.V. & Cavanaugh, J.V. (2019) Human Development, A Life Span View. Eighth Edition. Boston, MA: Cengage Learning, Inc.
  2. Eisenberg, N., Spinrad, T. L., & Knafo-Noam, A. (2015). Prosocial development. In R M. Lerner (Ed)., Handbook of child psychology and developmental science (7th ed., Vol. 3., pp. 610–656). Hoboken, NJ: Wiley 
Gambar:
https://pixabay.com 

Thursday, 5 March 2020

Pentingnya Bermain Bagi Anak Menurut Erikson, Piaget dan Vygotsky

Bermain adalah dunia anak. Sejak bangun tidur yang dipikirkannya adalah bermain. Mereka seolah terhanyut oleh aliran waktu ketika bermain, hingga orang tua menjadi sebal dan menyuruh mereka berhenti untuk makan, istirahat atau tidur. 

Sifat anak yang begitu gandrung pada permainan adalah alami. Masyarakat tradisional banyak sekali menciptakan permainan untuk anak, mulai dari petak umpet, kelereng, layangan, bentengan, boneka, kucing dan tikus, lompat tali, dakon dan masih banyak lagi. Sejak dulu masyarakat telah sadar bahwa perkembangan jiwa dan fisik anak  kebanyakan berlangsung dalam aktivitas bermain, baik secara individu maupun kelompok.


Para ahli psikologi dan pendidikan pun sangat tertarik pada dunia bermain anak. Mereka meneliti dan menganalisis fenomena alami tersebut dan menyimpulkan fungsi-fungsi penting bermain bagi anak. Berikut beberapa fungsi penting bermain menurut para ahli.
  1. Menurut Erik Erikson bermain akan menumbuhkan kemampuan bekerja sama dan sikap saling mempercayai. Ia juga meyakini bahwa anak akan mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk memanipulasi obyek.
  2. Piaget menyimpulkan bahwa bermain akan mengembangkan kemampuan sensorimotor di awal-awal kehidupan mereka. Semakin bertambah usia (pada masa praoperasional) permainan akan mengembangkan imajinasi, sehingga mereka dapat melakukan peniruan terhadap berbagai kegiatan orang dewasa. Pada masa operasional kongkrit permainan akan mengajarkan anak-anak mengenai adanya peraturan dalam interaksi sosial. aturan-aturan tersebut pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan berpikir anak menjadi lebih formal. 
  3. Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas bermain akan membentuk cara berpikir anak dan membuat mereka lebih memahami bagaimana dunia sosial bekerja. Bimbingan yang diberikan oleh anak yang lebih senior atau orang dewasa akan menjadi scaffolding sehingga anak dapat mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Bermain juga membuat anak lebih memahami diri sendiri (apa yang diinginkan, potensi dan bakat serta kekurangan).
Ternyata begitu penting bermain bagi perkembangan anak, terutama di usia awal prasekolah. Oleh karena itu biarkan anak tumbuh maksimal secara alami sesuai dengan kodratnya melalui aktivitas bermain yang sehat. Jangan terburu-buru mengajari mereka pelajaran sekolah sebelum waktunya, apalagi jika diajarkan dengan paksaan.

Referensi:
Jackman, H.L. (2012) Early Education Curriculum, A Child's Connection to The World. Fifth Edition. Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning

Gambar:
https://pixabay.com

Wednesday, 4 March 2020

Bagaimana Scaffolding Dilakukan?

Para mahasiswa pendidikan, para peneliti dan juga guru tentu tidak asing dengan istilah scaffolding. Merupakan suatu teknik bantuan belajar yang diberikan oleh seorang guru atau pihak yang lebih ahli kepada siswa atau pelajar. Dasar dari teknik scaffolding adalah teori sosiokultur Vygotsky yang berprinsip bahwa belajar terutama terjadi melalui interaksi sosial dalam konteks kultur yang sama, dimana seorang anak akan dibimbing oleh orang-orang yang lebih ahli di sekitarnya melalui peralatan kultural yaitu bahasa.

Dalam scaffolding seorang guru hanya memberikan bantuan seperlunya, sehingga siswa dapat berjuang untuk menguasai sesuatu yang dipelajari. Bantuan yang berlebihan hanya akan membuat siswa tidak berbuat apapun, dan akhirnya tidak akan belajar apapun.


Namun bagaimana scaffolding dilakukan? Secara teknis Astington dan Rogoff menyebutkan beberapa teknik scaffolding yang dapat dilakukan oleh guru yang hendak membimbing siswanya.
  1. Memancing motivasi dan rasa tertarik siswa untuk mempelajari suatu kemampuan yang akan diajarkan.
  2. Menyederhanakan kemampuan yang akan diajarkan menjadi beberapa bagian yang dapat dipelajari setahap demi setahap sehingga lebih mudah.
  3. Berupaya tetap mempertahankan rasa tertarik siswa.
  4. Menandai kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dan memberikan petunjuk untuk memperbaikinya.
  5. Mengendalikan frustasi yang dialami siswa dengan tidak menyebut-nyebut kesalahan yang dilakukan siswa.
  6. Mencontohkan suatu solusi mengenai sebuah kesalahan.
Setiap guru memiliki pengalaman tersendiri ketika membimbing anak-anak didik dengan berbagai karakter. Pada akhirnya mereka akan memilih teknik-teknik yang mungkin lebih sesuai untuk diri dan juga anak-anak tersebut.

Referensi:
Bigner, J.J., & Gerhardt, C. (2014) Parent-Child Relations, An Introduction to Parenting. Ninth Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.

Gambar:
https://pixabay.com

Tuesday, 3 March 2020

Kemerdekaan Belajar dalam Pandangan Ki Hadjar Dewantara

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, bercita-cita untuk membangun Indonesia yang merdeka melalui pendidikan. Melalui politik dan pendidikan, Indonesia akan merdeka lahir dan juga batinnya. Kemerdekaan bagi beliau merupakan kodrat alami dalam diri anak yang harus dituntun agar sepenuhnya berkembang untuk mengantar anak menuju keselamatan dan kebahagiaan.


Orang merdeka berbeda dengan mereka yang terjajah atau tertindas. Dalam kemerdekaan ada pilihan, artinya kita bisa memilih yang menurut kita sesuai dan baik untuk diri kita. Sebaliknya dalam ketertindasan tidak ada pilihan tersebut. Kita dipaksa untuk mengikuti permintaan dan perintah orang lain. Prinsip tut wuri handayani, yang artinya guru di belakang memberi dorongan kepada siswa adalah gambaran bagaimana pendidikan yang memerdekakan siswa. Guru tidak memaksa siswa, tetapi memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih apa yang akan dipelajari serta memberi dorongan yang dibutuhkan untuk keberhasilan belajar tersebut.

Aliran pendidikan yang dipegang oleh Ki Hadjar adalah aliran humanistik, yaitu aliran yang memandang bahwa anak memiliki kodratnya masing-masing, Anak bukan robot yang dapat disamaratakan. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan (potensi) masing-masing, Tugas pendidikan adalah menyediakan pengalaman bagi siswa agar mereka menyadari potensi diri dan memiliki semangat untuk belajar sesuai dengan potensi tersebut. 

Lima asas pendidikan (panca dharma) menurut Ki Hadjar adalah asas kodrat alam, asas kemerdekaan, asas kebudayaan, asas kebangsaan dan asas kemanusiaan. Penjelasan dari lima asas tersebut adalah berikan kemerdekaan pada anak didik kita, bukan kebebasan tanpa batas tetapi kemerdekaan yang sesuai dengan kodrat alam yaitu memiliki hak, kewajiban dan batasan tertentu. Kemerdekaan tersebut harus diarahkan pada kehalusan budi (kebudayaan) sehingga dengannya anak akan menuju keselamatan dan kebahagiaan jangka panjang. Tidak hanya keselamatan diri, tetapi juga keselamatan masyarakat sebagai sebuah bangsa dan seluruh umat manusia.

Pendidikan tidak hanya menyiapkan anak menjadi tenaga kerja di masa depan, tetapi menjadi individu yang mandiri, berbudaya dan berkembang sesuai dengan potensinya.

Referensi:
  1. Susilo, S. V. (2018). Refleksi nilai-nilai pendidikan ki hadjar dewantara dalam upaya upaya mengembalikan jati diri pendidikan indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas4(1).
  2. Dewantara, Ki Hadjar (1964). Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa
Gambar:
https://pixabay.com