Saturday, 29 February 2020

Teori Expectancy Atkinson mengenai Motivasi Belajar

Salah satu yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar adalah motivasi. Seperti kita ketahui bersama, manusia memiliki dorongan-dorongan di dalam jiwa mereka dalam melakukan sesuatu. Dorongan yang kuat dapat mempertahankan seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sebaliknya, tanpa motivasi pekerjaan yang mudah pun menjadi tidak berhasil diselesaikan.


Salah satu teori yang dapat dipelajari guru untuk mempertahankan motivasi belajar siswanya adalah teori expectansi yang diformulasikan oleh Atkinson. Dalam teori tersebut motivasi dipengaruhi oleh dua hal yaitu peluang (probability) keberhasilan dan nilai dari keberhasilan tersebut (value).

M (Motivation) = P (Probability) x V (Value)

Peluang merupakan persepsi seseorang mengenai kemungkinan ia berhasil dalam sebuah pekerjaan (untuk siswa, kemungkinan ia berhasil belajar). Sedangkan nilai adalah seberapa berharga keberhasilan tersebut bagi dia (seberapa berharga atau penting keberhasilan belajar tersebut bagi siswa). Misalnya seorang siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan cukup, namun ia hidup di keluarga yang tidak menghargai hasil belajar anak maka nilai dari belajar menjadi rendah. Kemungkinan motivasi anak untuk belajar juga menjadi rendah.

Catatan penting dari Atkinson adalah sesuatu yang sebenarnya berharga bagi seseorang dapat turun nilainya jika peluang untuk berhasil sangat mudah (tidak ada tantangan untuk berhasil). Oleh karena itulah guru yang bijak dapat mencari level kesulitan yang moderat bagi siswanya, artinya tidak terlalu mudah dan juga tidak terlalu sulit. Karena keduanya akan menurunkan motivasi belajar siswa.

Referensi:
Slavin, R.E. (2018) Educational Psychology, Theory and Practice. Twelfth Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
http://pixabay.com

Friday, 28 February 2020

Egosentrisme Anak menurut Piaget dan Cara Memanfaatkannya.

Setelah berusia lebih dari dua tahun, berdasarkan penelitian Piaget, anak sudah akan mulai mampu berpikir. Walaupun demikian banyak kesalahan dalam berpikir mereka. Masa dimana anak masih banyak melakukan kesalahan berpikir tersebut oleh Piaget disebut sebagai suatu masa praoperasional (operasional dalam istilah ini menunjukkan operasi berpikir). Dua kesalahan utama meliputi kemampuan mengklasifikasi dan konservasi.

Hal menonjol lain yang dimiliki oleh anak praoperasional adalah sifat "egosentris" yaitu ketidakmampuan seorang anak untuk memhami bahwa orang lain memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda dari diri mereka. Tidak hanya pada orang lain, anak-anak pada usia ini bahkan menganggap semua obyek memiliki kemampuan berpikir dan merasa seperti yang dimilikinya. Tidak heran jika kita melihat anak usia antara dua hingga tujuh tahun berbicara dengan boneka atau mainannya.

Karakter inilah yang tampaknya membuat banyak film atau cerita buku yang menggambarkan boneka dan hewan-hewan yang berbicara dan bersikap layaknya manusia. Pengalaman para tokoh dalam film tersebut bagi anak terlihat begitu nyata, bahkan mereka lebih menyukainya karena penuh dengan imajinasi. 


Karakter egosentris anak membuat orang tua semestinya hati-hati bersikap kepada anak-anaknya. ia harus sadar bahwa anaknya menganggap mainan mereka sebagai sesuatu yang hidup dan merasakan sakit. Kadang orang tua harus berakting berbicara dengan mainan anaknya ketika hendak meminta sang anak untuk berhenti bermain untuk mandi atau makan. Tidak bijak jika orang tua membuang mainan di depan anak dengan kasar.

Orang tua dapat mengajarkan sikap positif dan nilai moral tertentu melalui dunia mainan. Metode tersebut dapat lebih efektif daripada memberikan nasehat yang membosankan dan tidak dapat dipahami oleh anak karena keterbatasan kemampuan berpikirnya.

Referensi:
Arnett, J.J. (2016). Human Development, Cultural Approach. Second Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Gambar:
http://pixabay.com

Thursday, 27 February 2020

"Active Learning" menurut Bruner

Bruner merupakan salah satu ilmuwan pendidikan yang berperan penting dalam menyebarkan dan mengembangkan teori belajar konstruktivis (yang berpandangan bahwa pengetahuan dan pemahaman tidak diberikan oleh guru tetapi dikonstruk oleh masing-masing individu). Dua ilmuwan yang lebih senior yang menjadi tokoh utama dari aliran konstruktivis adalah Jean Piaget dan Lev Vygotsky.

Melengkapi teori belajar konstruktivis yang telah dibangun oleh para pendahulunya, Bruner memberikan sumbangan penting berupa konsep active learning. Yaitu suatu konsep bahwa siswa akan dapat mengonstruk pemahaman dalam suatu proses yang bersifat aktif dan sosial. Bersifat aktif artinya mereka menggunakan prior knowledge secara sadar untuk mengonstruk pengetahuan dan pemahaman baru. Selain aktif memanfaatkan prior knowledge, siswa juga aktif berinteraksi dengan guru untuk mendapatkan bantuan kognitif (scaffolding). Interaksi dengan guru atau orang lain yang lebih tahu itulah yang disebut bruner dengan bersifat sosial.

Bantuan kognitif  diberikan oleh guru atau pembimbing melalui media bahasa atau alat komunikasi. Walaupun demikian proses integrasi pengetahuan baru ke dalam struktur skema (jaringan pengetahuan di dalam pikiran siswa) hanya dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri.


Berdasarkan konsep tentang belajar aktif inilah Bruner menyarankan kepada para guru untuk menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang membuat siswa secara aktif menggunakan pengetahuan awal mereka untuk mengonstruk pengetahuan baru seperti memecahkan suatu masalah dan diskusi. Untuk itu guru perlu mengetahui prior knowledge siswa mengenai materi yang akan diajarkan.

Referensi:
Pritchard, A. & Woollard, J. (2010) Psychology for the classroom: constructivism and social learning. New York: Routledge

Gambar:
http://pixabay.com

Wednesday, 19 February 2020

Revisi Taksonomi Bloom

Guru merancang pembelajaran mulai dari tujuan. Berdasarkan tujuan tersebut disusunlah konten, metode, media dan juga penilaian pembelajaran. pernyataan-pernyataan pada tujuan pembelajaran menentukan bagaimana keseluruhan proses belajar siswa.


Guru memanfaatkan taksonomi tujuan pembelajaran untuk merancang tujuan pembelajaran yang lebih terukur, sekaligus membantu dalam merancang penilaian pembelajaran. Salah satu taksonomi tujuan pembelajaran yang banyak digunakan adalah Taksonomi Bloom, terutama pada ranah kognitif yang disusun pada tahun 1956. Beberapa tahun kemudian Bloom dan koleganya menyusun taksonomi pada ranah afektif dan psikomotor.

Dalam taksonomi kognitif, Bloom membagi kemampuan kognitif menjadi enam level yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis dan (6) evaluasi. Level pertama disebut dengan level rendah atau lower order thinking skill (lots), sedangkan kelima level di atasnya disebut dengan level tinggi atau higher order thinking skill (hots). Level tinggi dari kemampuan kognitif sangat dibutuhan untuk belajar dan berpikir secara ilmiah.

Pada tahun 2001 Anderson dan Krathwohl melakukan analisis dan perbaikan-perbaikan terhadap taksonomi bloom ranah kognitif. Dalam revisi tersebut terdapat dua dimensi kognitif yang harus diperhatikan oleh para guru ketika hendak merancang tujuan pembelajaran. Dimensi pertama adalah dimensi pengetahuan yang berisi empat jenis pengetahuan yaitu: (1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan proseduran dan (4) pengetahuan metakognitif. Dimensi kedua adalah dimensi proses kognitif yang berisi enam level proses kognitif yaitu: (1) mengingat, (2) memahami, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi dan (6) mencipta.

Keberadaan dua dimensi dalam revisi Taksonomi Bloom dapat memperjelas tujuan tidak hanya pada level aktivitas kognitif yang hendak diajarkan, tetapi juga pada jenis pengetahuan di dalamnya. Penerapan kerangka baru dua dimensi tersebut memang ternyata lebih rumit dari taksonomi yang sebelumnya. Hal tersebut membuat banyak guru yang menggunakan level proses kognitif pada revisi taksonomi bloom namun dengan cara lama (hanya satu dimensi tanpa mengikut sertakan jenis-jenis pengetahuan).

Referensi dan Gambar:

  • McMillan, J.H. (2017) Classroom Assessment, Principles and Practice that Enhance Student Learning and Motivation. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc.
  • https://pixabay.com