Nama beliau selalu menjadi yang istimewa bagi dunia pendidikan di Indonesia. Bukan hanya karena perjuangan untuk membuat rakyat Indonesia dapat mengenyam pendidikan yang layak, tetapi lebih dari itu adalah ide dan gagasan mengenai pendidikan baru bagi Indonesia. Pendidikan yang merdeka.
Tak habis inspirasi yang dapat kita petik jika membaca pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau masih terus relevan dengan dunia pendidikan kita saat ini.
Berikut ini adalah kumpulan refleksi atas pemikiran dan konsep pendidikan Ki Hadjar. Semoga benar-benar dapat menginspirasi anda sebagai guru, orang tua atau anggota dari masyarakat Indonesia.
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.wInspirasiKiHadjarDewantara_8187919
Artikel Pendidikan dari kami untuk para guru yang memiliki semangat dan tak pernah berhenti belajar
Wednesday, 21 November 2018
Wednesday, 14 November 2018
Download Aplikasi Android Mengenai Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menjadi salah satu tuntutan kurikulum kepada para guru. Hal ini didasari oleh berbagai teori dan penelitian yang menunjukkan bahwa pendekatan tersebut dapat mengintegrasikan kehidupan siswa dan ilmu pengetahuan modern dalam satu prosea yang saling menguatkan.
Dalam hal ini kami hendak menawarkan pada anda satu aplikasi android yang berisi berbagai aspek kunci dalam pelaksanaan pendekatan kontekstual mulai dari teori, karakteristik, strategi penerapan hingga penilaiannya.
Semoga bermanfaat. Untuk download silahkan klik link berikut
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.PembelajaranKontekstual_8149527
Dalam hal ini kami hendak menawarkan pada anda satu aplikasi android yang berisi berbagai aspek kunci dalam pelaksanaan pendekatan kontekstual mulai dari teori, karakteristik, strategi penerapan hingga penilaiannya.
Semoga bermanfaat. Untuk download silahkan klik link berikut
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.PembelajaranKontekstual_8149527
Friday, 9 February 2018
Tujuh Pengetahuan Guru Menurut Shulman
Setiap manusia, terutama yang telah dewasa dan memiliki anak, pastilah memiliki suatu dorongan di dalam batinnya untuk mendidik. Dorongan alami ini disebut dengan pedagogical instinc. Dengan dorongan tersebut para orang tua akan berupaya sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak mereka. Pengalaman semasa kecil (dalam perawatan orang tua) atau ketika bersekolah akan memberi mereka pengetahuan untuk melakukan aktivitas pendidikan.
Namun pengetahuan dan keterampilan mendidik yang hanya diperoleh dari pengalaman umum manusia saja belum cukup bagi seorang guru. Seperti yang telah kita ketahui bersama, guru adalah profesi yang bertugas mendidik anak-anak melalui proses belajar mengajar di sekolah, umumnya melalui suatu bidang mata pelajaran tertentu.
Guru adalah pendidik profesional yang perannya akan membantu orang tua dan masyarakat. Salah satu perbedaan pendidikan yang dilakukan guru adalah pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan tertentu. Walaupun begitu aspek pendidikan budi pekerti (sebagai inti pendidikan di rumah-sekolah-masyarakat) tetap harus menjadi perhatian utama.
Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, maka guru menurut Shulman harus menguasai tujuh pengetahun sebagai berikut:
- Pengetahuan konten, yaitu pengetahuan mengenai bidang ilmu yang akan diajarkan.
- Pengetahuan pedagogi umum, dengan menekankan pada prinsip-prinsip dan strategi manajemen kelas dalam rangka transfer materi pelajaran.
- Pengetahuan tentang kurikulum.
- Pengetahuan pedagogik konten (pedagogical content knowledge), merupakan perpaduan antara pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogik yang khusus untuk masing-masing bidang guru (untuk lebih jelas dan lengkap mengenai pck silahkan baca atau download di link berikut http://metastead.com/96Nv)
- Pengetahuan tentang anak didik dan karakteristik mereka.
- Pengetahuan tentang konteks pendidikan, mulai dari kondisi kelas, sekolah, pemerintahan hingga kultur masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan anak.
- Pengetahuan mengenai tujuan, sejarah dan filsafat pendidikan.
Referensi:
Shulman, L.S. (1987). Knowledge and Teaching: Foundation of New Reform. Harvard Educational Review, vol. 57, no. 1, p. 1-22.
Friday, 2 February 2018
Diet Informasi dalam Pendidikan Perspektif Ki Hadjar
Di dunia kita saat ini pengetahuan begitu cepat tumbuh dan tersebar. Kalau anda hendak mengetahui sesuatu, tak perlulah repot-repot. Melalui android di genggaman, berbagai jenis informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Mesin pencari informasi Google seolah tahu segalanya (karenanya disebut mbah) dan dia tidak pelit. Berbagai media lain seperti televisi, aplikasi berbasis jejaring sosial dan youtube, juga turut meramaikan arus informasi di dunia kita saat ini.
Begitu mudah dan melimpahnya informasi tidak lantas membuat kehidupan menjadi lebih baik. Kita menjadi lebih banyak disibukkan dengan informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan, mulai dari hiburan, gosip, iklan produk hingga informasi palsu (alias hoax) dan kalimat-kalimat penyebar kebencian. Timbunan informasi justru tidak membuat kita bertambah pengetahuan atau menjadi bijak. Sebaliknya, pikiran dan waktu kita lebih banyak mengkonsumsi informasi sampah. Akibatnya, kita menjadi obesitas informasi.
Saat ini telah banyak ahli, misalnya Tim Ferriss penulis kenamaan lulusan Princeton University, yang menyarankan untuk melakukan diet informasi. Seperti halnya makanan bagi tubuh, informasi juga tidak boleh berlebihan memasuki otak kita. Berbagai informasi sampah yang memasuki otak hanya akan diam tidak berguna, membuat kita mengalami obesitas. Seperti halnya makanan sampah yang menimbulkan efek adiksi, informasi sampah juga membuat kita kecanduan.
Di sini kita tidak akan membahas mengenai bagaimana cara diet informasi menurut Tim Ferriss atau penulis dan para ahli yang lain. Berhubungan dengan pendidikan, kita akan flashback mengulas pandangan Bapak Pendidikan Ki Hadjar yang sejak awal telah mewanti-wanti tentang bahaya dari sikap mendewa-dewakan pikiran dan pengetahuan (yang beliau sebut dengan istilah intelektualisme).
Sejak awal pembangunan pondasi pendidikan nasional, Ki Hadjar telah menentang sikap yang menempatkan pikiran, intelektual dan pengetahuan sebagai puncak dari tujuan pendidikan. Walaupun intelektual dan pengetahuan itu penting, namun beliau hanya menempatkan pendidikan intelektual dan keterampilan sebagai bagian dari pendidikan budi pekerti. Karena budi pekerti itulah yang akan membawa manusia pada keselamatan dan kebahagiaan berjangka panjang.
Ki Hadjar memaknai budi pekerti sebagai persatuan gerak pikiran, perasaan dan kemauan (cipta, rasa dan karsa) dalam wujud karakter atau watak manusia. Dengan budi pekerti manusia dapat menjadi pribadi yang merdeka, yaitu yang mampu mengatur dirinya sendiri hingga dapat berperan di masyarakat (beradab). Pendidikan yang hanya mengutamakan pengetahuan intelektual menurut ki hadjar hanya akan menghasilkan kemurkaan diri (individualisme) dan kemurkaan benda (materialisme). Hal ini bertentangan dengan sifat pendidikan bangsa kita yang menjunjung keluhuran budi.
Untuk itulah pendidikan harus dilakukan secara lebih utuh. Tidak hanya berupa transfer informasi dan pengetahuan belaka. Anak-anak harus diperkaya dengan pengalaman lahir (nglakoni) dan pengalaman batin (ngrasa). Bahkan, pendidikan intelektual pada usia awal (dini) menurut Ki Hadjar sebaiknya sedikit saja diberikan. Anak-anak pada masa awal harus dikuatkan batinnya melalui latihan indera dan aktivitas yang menyenangkan seperti permainan dengan gerak aktif, cerita dan nyanyian. Para guru dan orang tua menuntun dengan penuh kasih sayang.
Di masa sekarang, ketika anak-anak telah dibebaskan untuk menggunakan gadget maka mereka akan cenderung kurang aktivitas dan menutup diri. Perkembangan yang dialami hanyalah kognitif. Untuk itu, diet informasi harus dilakukan sejak awal dengan menentukan masa yang tepat, kapan anak-anak diberi kebebasan untuk menggunakan gadget. Sejak dini anak-anak harus memiliki pengalaman tentang perasaan senang ketika belajar berbagai hal secara aktif di alam nyata.
Ketika anak-anak telah semakin besar, Ki Hadjar menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan tidak hanya diajarkan secara tekstual tetapi lebih banyak dengan pengalaman nyata seperti eksperimen dan dialog. Selain ilmu pengetahuan, mereka juga diajari nilai-nilai luhur dan keindahan melalui agama, seni dan ilmu adab. Sekali lagi, pengalaman lahir (nglakoni) dan pengalaman batin (ngrasa) menjadi metode utamanya.
Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa untuk menggunakan dan mengkonsumsi informasi secara sehat. Belajar adalah persiapan hidup secara nyata, bukan hanya menumpuk informasi di dalam pikiran atau hidup di alam maya.
Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Gambar:
https://pixabay.com
Monday, 29 January 2018
Pandangan Ki Hadjar Mengenai Ilmu yang Harus Dikuasai Pendidik
Setiap orang tua pasti memiliki suatu naluri mendidik atau pedagogical instinc. Kita tidak menginginkan anak-anak mengalami kehidupan yang sulit di masa depan. Oleh karena itulah, dengan berbagai cara atau sikap yang mungkin berbeda, setiap orang tua akan berusaha mendidik anak-anaknya.
Namun naluri pendidikan saja tidak cukup. Banyak kita temui orang tua yang salah mendidik anak-anaknya. Apa yang dilakukan justru tidak berakibat sesuai dengan keinginan. Contohnya, anak yang berkonflik dengan teman-temannya tidak diajari mengatasi konflik tersebut, melainkan langsung ikut campur dalam pertengkaran. Orang tua ingin membela si anak, namun cara yang dipilih membuat anaknya tidak mandiri dan tidak mampu mengatasi konflik.
Ki Hadjar menyarankan perlulah para pendidik mempelajari ilmu-ilmu yang penting, agar proses pendidikan yang dilakukan berjalan sistematis dan tidak salah arah. Ada lima ilmu yang harus dikuasai para pendidik menurut beliau yaitu:
- Ilmu jiwa manusia (psikologi)
- Ilmu fisik manusia (fisiologi)
- Ilmu kesopanan (etika)
- Ilmu keindahan (estetika)
- Ilmu tata cara mengajar
Ilmu yang pertama dan kedua dibutuhkan pendidik agar ia mengetahui bagaimana sifat dan karakter manusia baik lahir dan batinnya. Karena pendidikan adalah usaha yang dilakukan pada diri manusia. Sedangkan ilmu yang ketiga dan keempat akan memberikan pengetahuan pada pendidik mengenai arah pendidikan, yang menurut Ki Hadjar utamanya adalah keindahan batin (etika) dan keindahan lahiriah (estetika).
Ilmu yang kelima akan memberikan keterampilan kepada pendidik tentang bagaimana metode yang terbaik untuk melakukan pendidikan. Para ahli telah mempraktikkan dan mengevaluasi berbagai jenis metode, dari itu para pendidik bisa mempelajarinya dan memilih mana yang dirasa sesuai.
Di jaman ini ilmu pengetahuan telah sedemikian berkembang, sehingga para pendidik harus dapat menyesuaikan diri. Muncul ilmu-ilmu lain yang juga harus dikuasai misalnya yang paling mudah adalah ilmu tentang teknologi informasi.
Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Gambar:
https://pixabay.com
Thursday, 18 January 2018
Kartini dan Hak Belajar Perempuan
Tokoh pendidikan, khususnya perempuan, Indonesia tidak akan lepas dari nama Kartini. Seorang perempuan jawa yang hari lahirnya kita peringati bersama, untuk menapaktilasi perjuangannya untuk menuntut hak belajar bagi para perempuan Indonesia yang saat itu belum diakui.
Kartini lahir di Rembang pada tanggal 21 April 1879. Ia adalah anak Bupati Rembang, Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat. Meskipun anak seorang bupati, kartini tetaplah seorang perempuan yang saat itu tidak diperbolehkan belajar atau bersekoah. Cita-citanya adalah menjadi dokter, namun tentu saja tidak bisa karena ia sudah tidak diperkenankan sekolah setelah usia 12 tahun.
Kartini gemar membaca dan menulis. Ketika dipingit, ia melampiaskan keinginannya untuk belajar dengan membaca buku-buku belanda yang diperolehnya dari kenalan ayahnya. Ia menulis surat-surat yang berisi berbagai kegalauan pikirannya terkait nasib para perempuan Indonesia sebagaimana yang dialaminya. Surat-surat dengan beberapa sahabatnya dari Belanda itulah yang nantinya akan diterbitkan setelah Kartini meninggal dan banyak menginspirasi para pembaca tidak hanya di Indonesia tetapi juga masyarakat Eropa.
Sebagai seorang muslim kartini mengaji Al Qur'an. Saat itu ia mengaji pada seorang ulama bernama Kyai Sholeh Darat. Ketika Kartini menanyakan apakah perempuan juga diperbolehkan menuntut ilmu, Kyai Sholeh membacakan ayat-ayat iqra' yang memerintahkan umat islam untuk membaca (belajar). Kartini menjadi lebih semangat untuk belajar dan juga mendirikan sekolah khusus untuk perempuan. Perjuangannya didukung oleh suaminya, yaitu Bupati Rembang Adipati Joyodiningrat.
Sayangnya Kartini tidak berumur panjang. Ia meninggal pada usia 25 tahun setelah melahirkan anak pertamanya. Setelah meninggal, sahabatnya dari Belanda mengumpulkan surat-surat Kartini dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Kemudian buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Meskipun berumur pendek namun pemikiran mendalam dan cita-cita Kartini tetap terasa hingga sekarang.
Referensi:
Aning, Floriberta. (2005). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
https://nasional.tempo.co/amp/868170/cerita-kartini-terenyuh-surat-al-fatihah
Gambar
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kartini
Saturday, 13 January 2018
Pendidikan Anak menurut Friedrich Froebel
Nama Froebel sangat dikenal di kalangan para pendidik, terutama di tingkat prasekolah. Ia disebut sebagai bapak pendidikan anak atau bapak taman kanak-kanak (kindergarten). Frobel lahir di Jerman, hidup dari tahun 1782-1852. Masa kecilnya yang sulit membuatnya sangat peka terhadap penderitaan yang dialami anak-anak.
Di masa Froebel, pendidikan anak menerapkan pendisiplinan yang ketat. Pembelajaran dilakukan terutama dengan menghafal dan memahami isi buku-buku. Anak mulai memasuki sekolah pada usia tujuh tahun.
Konsep pendidikan yang sangat mempengaruhi Froebel adalah konsep pendidikan dari Pestalozzi yang dipelajarinya saat di perguruan tinggi, kemudian diperkuat ketika ia sempat mengajar di sekolah yang menerapkan konsep Pestalozzi. Konsep tersebut lebih mengutamakan pembelajaran aktif dan kooperatif pada siswa. Selain itu pembelajaran dirancang seperti layaknya interaksi antara orang tua dan anak-anaknya yang penuh kasih sayang. Sangat berbeda dengan praktik pendidikan anak saat itu.
Dalam konsep Pestalozzi dan Froebel, pendidikan bagi anak harus disesuaikan dengan kodrat alami mereka. Jangan melalui proses paksaan. Anak-anak memiliki potensi sejak lahir yang harus dituntun untuk dapat berkembang penuh.
Froebel akhirnya mendirikan sekolahnya sendiri. Ketika ia menyadari bahwa anak-anak usia tujuh tahun yang baru masuk ternyata kesulitan untuk mengikuti pelajaran, maka mulai Froebel mendirikan pendidikan untuk anak-anak prasekolah, mulai dari usia tiga tahun. Kindergarten pertama didirikannya pada tahun 1840, dengan prinsip dasar belajar melalui permainan dan aktivitas yang menyenangkan. Tidak lama setelah itu model pendidikan kindergarten Froebel terkenal sehingga banyak lembaga sejenis yang didirikan.
Hingga kematiannya, Froebel masih banyak mengembangkan bahan-bahan pembelajaran untuk kindergarten seperti balok susun dan nyanyian-nyanyian anak untuk belajar konsep tertentu. Kini pendidikan prasekolah telah berkembang dan tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pustaka:
Hewes, D.W. (2007). Froebel, Friedrich. Early Childhood Education, an International Encyclopedia. London: Praeger.