Wednesday, 4 October 2017

Perjuangan Abadi Para Pendidik (Refleksi Pemikiran Ki Hadjar)


Pendidikan adalah suatu tuntunan untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan kodrat alam mereka, untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Seperti itulah konsep pendidikan menurut Ki Hadjar yang sering kita baca. Pendidikan adalah sebuah tuntunan bagi kehidupan anak, agar mereka dapat berproses menjadi manusia yang seutuhnya. Dan mencapai kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan di sini jangan hanya diartikan sebagai uang, pekerjaan atau kesenangan saja. Kebahagiaan menurut Ki Hadjar bermakna fisik, psikologis dan sekaligus spiritual. Bahkan kebahagiaan spiritual memiliki derajat yang lebih tinggi daripada kebahagiaan fisik.

Pendidikan bukan pekerjaan yang mudah. Para pendidik harus memiliki suatu niat dan komitmen yang kuat untuk menjalankan profesinya. Berikut adalah cuplikan Ki Hadjar mengenai perjuangan para pendidik.
“Untuk maksud yang mulia itu maka seringkali pendidikan harus melakukan perjuangan, baik secara menggempur maupun secara membangun. Menggempur dimana ada kekuatan-kekuatan atau keadaan-keadaan yang menghambat pembaruan, dan membangun sesudah suasana kembali tenteram.”

Mungkin banyak yang menganggap perjuangan dalam arti menggempur pendidik hanya terjadi di jaman Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa dulu (jaman penjajahan). Sedangkan sekarang lebih bersifat membangun. Menurut saya tidaklah demikian, proses menggempur dan membangun dalam pendidikan selalu terjadi di setiap zaman. Hambatan yang harus digempur itu saja yang berbeda, yang walaupun berbeda namun tidak mengurangi berat perjuangannnya.

Saat ini sekolah telah semakin diperhatikan oleh pemerintah, dan semua elemen masyarakat telah memahami pentingnya pendidikan. Usaha pendidikan tidak lantas menjadi ringan. Perjuangan tetap dibutuhkan untuk menggembur berbagai hambatan seperti kemalasan, korupsi, penguasa yang tidak memahami kondisi, berbagai dampak negatif teknologi informasi dan lain sebagainya. Karena itu tidak ada alasan bagi para pendidik untuk nyantai, hanya ikut arus, pasrah pada keadaan, kehilangan kepedulian kepada anak didik, dan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Kita semua tahu, mana di antara para guru kita yang benar-benar memiliki karakter sebagai seorang pejuang. Dan juga mana yang hanya mencari uang dalam profesi sebagai pendidik. Yang jelas, kiprah para pejuang pendidikan itu akan benar-benar berkesan mendalam bagi setiap siswanya atau bahkan masyarakat di sekitarnya. Bisa jadi secara intelektual mereka tidak terlalu menonjol, tetapi usaha yang mereka lakukan untuk terus menghasilkan perbaikan bagi para anak didiknya luar biasa. Inovasi selalu dimunculkan walaupun sederhana, toh siswa sebagai manusia dengan berbagai potensi dapat berkembang secara mandiri.

Saat ini profesi guru semakin diminati, terutama karena tingkat kesejahteraan guru yang semakin diperhatikan. Kita sama-sama berharap, para guru tetap merupakan para pejuang, selamanya. Karena ketika guru tidak lagi berjuang, maka saat itulah dia menjadi beban pendidikan.

Pustaka:

Dewantara, Ki Hadjar. (2011). Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Sunday, 1 October 2017

Mengajar Seperti Gunung-gunung

TA Loeffler adalah seorang profesor di Memorial University of Newfoundland, Kanada. Ia memiliki reputasi yang sangat bagus dalam bidang experiential education. Ia selalu berhasil menggerakkan para mahasiswanya untuk belajar di alam nyata. Beberapa penghargaan sebagai pendidik terbaik bidang experiential education di Kanada telah ia peroleh. Dalam tulisannya yang berjudul I teach as the mountains teach me, Loeffler mengatakan bahwa ia benar-benar mengajar seperti bagaimana gunung-gunung menginspirasinya dan mengajarinya banyak hal. Perlu diketahui bahwa ia suka perjalanan alam bebas, termasuk juga mendaki gunung-gunung.

Seperti layaknya seorang pendaki gunung, Loeffler mengajar para mahasiswanya dengan memberi mereka sebuah visi yang luas (bayangkan bagaimana pandangan luas yang dapat kita peroleh ketika berada di puncak gunung) dan juga perjuangan (sebagaimana seorang pendaki gunung berjuang untuk mencapai puncak). Kemudian ia akan mengajak siswa untuk meraih langit (cita-cita) dari berbagai aktivitas nyata yang mereka lakukan. Loeffler selalu mengajak para mahasiswanya untuk belajar dengan aktivitas yang bervariasi (banyak yang bersifat di luar kelas), mengajak mereka untuk keluar dari pikiran yang sempit, memberi mereka harapan-harapan sebagai seorang pemuda yang penuh potensi dan mengajak untuk berjuang. Kesulitan selama belajar diimbangi dengan keindahan dari proses untuk mendapatkan pengetahuan.

Bagaimana wujud pembelajaran seperti gunung itu? Loeffler menjelaskan bahwa ia menggunakan active learning. Pengetahuan yang diperoleh harus melalui suatu aktivitas yang mengajak para mahasiswa ke tempat-tempat nyata di luar kampus, kemudian mengarahkan mereka untuk memecahkan suatu permasalahan umumnya secara kooperatif. Kadang ia juga menggunakan lembar kerja dan diskusi untuk mengajak mereka mengembangkan nalar dan menemukan sesuatu melalui socratic discovery. Meskipun menyenangkan, bukan berarti pembelajaran yang diterapkannya tanpa kesulitan. Justru kesulitan-kesulitan itulah yang menurutnya berkorelasi dengan hasil belajar. Loeffler menjadikan pembelajaran sebagai aktivitas yang menantang.

Apa yang dilakukan oleh Loeffler ini juga mungkin telah banyak diterapkan oleh para pengajar lain, termasuk di Indonesia. Dimana pembelajaran bersifat membebaskan anak didik, tidak mengungkung mereka dalam situasi yang mengikat dan menekan psikis. Pembelajaran dilakukan sesuai dengan kodrat anak dan remaja yaitu aktif, dan mendekatkan seluruh indera pada alam. Hal ini sesuai dengan konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai pancadarma atau lima dasar pendidikan. Di antara kelima dasar tersebut terdapat dasar kemerdekaan/kebebasan dan dasar kodrat alam.


Tentu saja belajar tidak harus selalu dengan melakukan perjalanan ke luar kelas. Inti dari kemerdekaan di sini adalah bagaimana suasana yang dimunculkan dalam proses belajar tidak menekan, jenuh, kaku dan membunuh kreativitas. Kesulitan-kesulitan tentu harus tetap ada, karena tanpa kesulitan mana mungkin kita belajar. Tapi seperti para pendaki gunung, berbagai kesulitan dijalani dengan semangat dan keyakinan akan sesuatu yang sangat berharga yang akan mereka peroleh ketika menjalaninya.

Pustaka:
Loeffler, T.A. (2011). I Teach as the Mountains Teach Me. In Iain hay (Ed.). Inspiring Academics, Learning with the World’s Great University Teachers. New York: Open University Press.

Muthoifin, M. (2015). Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara. Intizar, 21(2), 299-320