Wednesday, 27 September 2017

Menggunakan Grup Facebook untuk Dialog Mahasiswa

Facebook adalah situs jejaring sosial  yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Penciptanya adalah Mark Zuckerberg seorang lulusan Harvard University. Media ini sebenarnya berfungsi untuk menjalin komunikasi antar orang-orang yang mungkin sulit untuk bertemu secara langsung, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Kemampuannya mengunggah foto dan video membuat facebook begitu disenangi terutama oleh kaum muda.

Rasanya tidak ada mahasiswa yang saat ini tidak memiliki akun facebook (fb). Tidak hanya menjadi media komunikasi, fb seolah telah menjadi sebuah label bahwa seseorang telah mengikuti perkembangan jaman. Banyak kita lihat penggunaan fb secara negatif misalnya untuk penghinaan, pornografi, media kampanye hitam dan juga sekedar meluapkan emosi. Karena itu di kalangan pendidik fb dianggap kurang bermanfaat.


Beberapa dampak negatif fb sebenarnya tidak lantas membuatnya menjadi pelaku kejahatan. Fb tetap hanya merupakan media yang bergantung pada pengguna. Bahkan, jika kita melihat bagaimana populernya fb seharusnya menjadi suatu peluang untuk memanfaatkannya sebagai media pendidikan. salah satunya seperti yang dilakukan oleh Habibi (2015) yang menggunakan fb sebagai media komunikasi mahasiswa dalam suatu mata kuliah namun bisa berlangsung kapanpun.

Dialog mahasiswa yang biasanya tidak banyak mendapat partisipasi menjadi berubah ketika menggunakan grup di fb. Dalam penelitian tersebut tidak hanya partisipasi mahasiswa yang meningkat tetapi juga efikasi diri mahasiswa untuk melakukan dialog. Suasana informal dalam ruang yang telah populer digunakan tampaknya membuat tekanan yang muncul ketika dialog formal menjadi turun. Mahasiswa lebih percaya diri untuk mengungkapkan pikiran mereka. Mereka juga tidak dibatasi waktu.

Strategi ini tampaknya dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membangun pembelajaran tanpa tekanan. 

Hasil penelitian mengenai pemanfaatan facebook dan pengaruhnya terhadap efikasi diri dapat anda pelajari dan download di sini 
http://metastead.com/2g6L


Pustaka:
Habibi, H. (2015). IMPLEMENTASI POSITIVE REWARD DAN FACEBOOK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DIALOG MAHASISWA. LENSA (Lentera Sains): Jurnal Pendidikan IPA5(2).

Tuesday, 26 September 2017

Sistem Among dan Tut Wuri Handayani

Pendidikan menurut Ki Hadjar adalah suatu tuntunan untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan kodrat alam yang dimilikinya untuk tercapainya kebahagiaan yang setinggi-tingginya bagi sang anak. Kata tuntunan menunjukkan bahwa pendidikan bukan sebuah paksaan tapi lebih bersifat mengarahkan. Bagaimana mengarahkan yang dapat membawa kepada keberhasilan? Ki Hadjar menjawab yaitu menjadikan arahan tersebut sesuai dengan kodrat atau potensi alami yang dimiliki oleh si anak.

Untuk dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan potensi atau kodrat anak, maka seorang pendidik dituntut agar berusaha semaksimal mungkin untuk mengenali dan memahami diri anak. Di sanalah terletak seni mendidik. Jika ada seorang guru mengajar hanya memperhatikan materi yang harus disampaikan, mau tidak mau, bias tidak bias, siswa harus mempelajarinya, maka saat itulah guru hanya berperan sebagai seorang mesin pendidik. Hasilnya tentu saja adalah siswa-siswa robot, atau para pembangang yang mengalami stress.

Ki Hadjar terkenal dengan sistem among, yaitu sistem pendidikan dimana seorang guru benar-benar mengerti kondisi diri dan kebutuhan para siswa mereka. Guru tidak hanya sebagai pengantar kurikulum, tapi lebih berperan mengadaptasi kurikulum untuk kepentingan dan kebutuhan siswa. Walaupun begitu, guru tidak melakukan pemaksaan (karena merasa telah mengerti kondisi dan apa yang dibutuhkan siswa). Guru dalam sistem among adalah guru yang membuka pintu yang menghalangi anak untuk menemukan dirinya sendiri. Guru yang mengerti betul bagaimana cara mendorong anak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal.


Sistem among akan lebih berjalan maksimal jika pendidikan dilaksanakan dalam asrama atau pondok (dalam istilah sekarang mungkin full day school, namun benar-benar full). Kondisi tersebut memungkinkan seorang guru untuk juga berperan sebagaimana layaknya orang tua. Mereka akan lebih dekat pada para siswa. Pendidikan tidak hanya berlangsung secara formal, tetapi juga informal dan nonformal.

Referensi:
Soeratman, Darsiti. (1985). Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wangid, M.N. (2009) Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan Praktik. Jurnal Kependidikan. 39(2)

Monday, 4 September 2017

Model Pembelajaran Pemaknaan (Integrasi Nilai Moral dalam Pembelajaran IPA)

IPA adalah suatu cabang ilmu yang mengkaji tentang alam. Kita telah ketahui, bahwa sebagai ilmu, IPA bersifat logis, sistematis dan empiris (harus dapat dibuktikan). Selama ini banyak yang mengasumsikan bahwa alam hanyalah obyek yang dapat dimanfaatkan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan manusia. Kita kurang menyadari bahwa alam juga memiliki dimensi moral. Bahwa alam bisa memberi manusia contoh nilai-nilai kebaikan yang dapat diterapkan dalam hidup.

Alam sebagai ayat-ayat Allah yang dapat mengajarkan manusia akhlakul karimah seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para guru IPA ketika mengajar di kelas. Tidak hanya pengetahuan kausalistik yang dapat mereka ajarkan, melainkan juga nilai-nilai kehidupan. Misalnya, dalam pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan dapat menjadi contoh bahwa kehidupan manusia juga harus memperhatikan kondisi bakat minat dan lingkungan yang mendukung untuk bisa sukses. Momen inersia dalam fisika dapat memberi contoh bagi siswa bahwa untuk memulai suatu pekerjaan pasti sulit, namun ketika telah berjalan maka kesulitan tersebut biasanya sudah tidak dirasakan. Karena itu jangan hilang semangat ketika menemukan suatu pekerjaan yang awalnya dirasa sulit.


Lantas, bagaimana cara mengajarkan nilai-nilai moral tersebut dalam IPA agar sistematis? Untuk membantu para guru (pengajar IPA) maka Prof. Muslimin Ibrahim, pada tahun 2008, dari Universitas Negeri Surabaya merancang suatu model pembelajaran yang diberi nama Model Pembelajaran Pemaknaan. Sintaks model ini terdiri atas 7 tahapan sebagai berikut:
  1. Mengorientasikan siswa pada masalah. Siswa dibawa pada masalah yang nantinya akan mereka pecahkan. Membawa dalam hal ini bukan hanya menyampaikan, melainkan guru harus dapat memunculkan rasa tertarik dan motivasi pada diri siswa. Dengan demikian selama proses pembelajaran siswa benar-benar merasakan suatu tantangan untuk memecahkan masalah.
  2. Merancang proses pemecahan masalah. Siswa dengan arahan guru melakukan diskusi atau tanya jawab dalam rangka untuk menemukan cara terbaik memecahkan permasalahan yang disajikan pada tahap sebelumnya. 
  3. Membimbing penyelidikan. Pada tahapan ini siswa mulai melaksanakan pemecahan masalah yang telah disepakati pada saat tahap dua, baik secara personal atau pun kelompok. Guru memberikan bimbingan yang tepat ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. 
  4. Mengkomunikasikan hasil. Hasil dari proses pemecahan masalah dikomunikasikan melalui diskusi kelas, presentasi kelas, pameran atau yang lainnya. Masing-masing siwa dapat memperoleh informasi mengenai apa yang dikerjakan oleh yang lain, serta berperan serta untuk memberikan saran-saran perbaikan. 
  5. Negosiasi dan konfirmasi. Guru memberikan balikan terhadap hasil pekerjaan siswa dalam rangka memperbaiki, penguatan atau menyempurnakan. Selain itu juga guru mengecek pemahaman siswa terkait dengan proses yang mereka lalui. 
  6. Pemaknaan. Guru menjadikan gejala alam yang ditemukan oleh siswa sebagai model untuk dimaknai dan ditanamkan pada siswa. Untuk melakukan sescara baik guru sudah mempersiapkan jauh sebelumnya. 
  7. Evaluasi dan refleksi. Siswa diminta untuk menyampaikan kekuatan dan kelemahan dari proses pemecahan masalah yang telah mereka lalui. Selain itu juga guru memberikan tes atau penugasan lebih lanjut.
Adapun secara empiris bagaimana pengaruh model pembelajaran pemaknaan terhadap berbagai aspek pembelajaran salah satunya dapat dilihat pada hasil penelitian di link berikut 
http://metastead.com/2D5X

Referensi:
Ibrahim, M. (2008). Model pembelajaran inovatif melalui pemaknaan (belajar perilaku positif dari alam). Surabaya: Unesa University Press