Sunday, 21 May 2017

Asas Trikon (Ki Hadjar Dewantara) untuk Mengembangkan Sistem Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses yang tidak diam. Ia harus terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi zaman, dan juga kondisi peserta didik. Jangan bayangkan sistem pendidikan sebagai sebuah sistem besar yang hanya dapat dipikirkan dan diurusi oleh para pakar dan penentu kebijakan di pusat. Sekolah atau bahkan kelas juga merupakan suatu sistem pendidikan dengan ruang lingkup yang kecil. Setiap sekolah memiliki kondisi dan permasalahan masing-masing, sehingga pengembangan satu sekolah dengan sekolah lain tidak benar-benar sama.


Bagaimana cara untuk mengembangkan sekolah atau bahkan proses pendidikan di ruang kelas secara efektif? Ada asas yang dikenalkan oleh bapak pendidikan kita untuk melakukannya. Asas tersebut dinamankan dengan asas trikon karena terdiri atas tiga asas yang berawalan “kon” yaitu kontinyu, konvergen dan konsentris. Dalam artikel ini kita akan membahas ketiga asas tersebut,

1.      Kontinyu. Artinya pengembangan yang dilakukan harus berkesinambungan, dilakukan secara terus-menerus dengan perencanaan yang baik. Suatu kondisi yang baik tidak mungkin dapat dicapai dalam sekali waktu seperti sebuah sulap. Tahap demi tahap pengembangan dilakukan dengan rencana yang matang. Dengan perencanaan tersebut maka suatu tahap dilanjutkan oleh tahap berikutnya dengan melalui evaluasi dan perbaikan yang tepat. Pengembangan yang sifatnya tiba-tiba untuk kemudian hilang semangat di waktu-waktu setelahnya tidk akan menghasilkan perubahan berarti di jangka panjang.
2.      Konvergen. Artinya pengembangan yang dilakukan dapat mengambil dari berbagai sumber di luar, bahkan dari praktik pendidikan di luar negeri. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar ketika mempelajari berbagai praktik pendidikan dunia misalnya Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath Tagore. Praktik-praktik tesebut dapat kita pelajari untuk nantinya disesuaikan dengan kebutuhan yang kita miliki sendiri. Saat ini teknologi informasi telah sedemikian canggih sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja.
3.      Konsentris. Artinya pengembangan pendidikan yang dilakukan harus tetap berdasarkan kepribadian kita sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menuntun tumbuh kembang anak secara maksimal sesuai dengan karakter kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu meskipun Ki Hadjar menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain, namun tetap semua itu ditempatkan secara konsentris dengan karakter budaya kita sebagai pusatnya. Pendidikan yang menggunakan teori dan dasar kebudayaan bangsa lain (walaupun bangsa yang maju) secara langsung tanpa mengkaji ulang, menyesuaikan dan mengevaluasinya tidak akan menghasilkan kemajuan.

Banyak pengembangan yang kita lakukan mengabaikan asas trikon di atas. Sebagai contoh kurangnya kesinambungan perubahan yang dilakukan dari satu masa ke masa lain seiring dengan pergantian penguasa. Demikian pula sering kita mengadopsi teori secara langsung tanpa melakukan penyesuaian yang tepat sehingga upaya pengembangan yang dilakukan menjadi sia-sia.

Referensi:
  • Soeratman, Darsiti. (1985). Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  • Suparlan, Henricus. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat. Vol. 25, No. 1, Hal. 56-74


Friday, 19 May 2017

Enam Cara Guru untuk Lebih Mendapat Perhatian Siswa

Proses belajar mengajar di dalam kelas merupakan aktivitas harian semua guru. Terdapat aktivitas lain seperti mengoreksi tugas atau ulangan, memasukkan nilai, menyiapkan perangkat mengajar dan juga mengikuti seminar atau pelatihan. Namun aktivitas mengajar siswa di dalam kelas tetap merupakan aktivitas inti yang menentukan bagaimana guru dapat menuntun siswa untuk belajar dan mengembangkan diri mereka.

Apakah guru yang telah menjelaskan materi dan memberi contoh-contoh telah berhasil melaksanakan tugas mengajar di kelas? Masih belum. Kegiatan guru menjelaskan materi atau memberi contoh-contoh baru dikatakan berhasil apabila siswa benar-benar memperhatikan penjelasan tersebut dan memahaminya. Sering kita temui siswa yang terlihat memperhatikan penjelasan guru, padahal pikirannya melayang. Karena mereka sebenarnya tidak berniat mendengarkan. Apalagi kalau jelas-jelas sang siswa melakukan hal-hal lain yang menunjukkan bahwa dirinya tidak perhatian.


Membuat para siswa benar-benar mau memperhatikan penjelasan guru bukanlah pekerjaan mudah. Guru yang baru mengajar kemungkinan besar kesulitan untuk melakukannya. Demikian juga, para guru senior yang tidak pernah mengevaluasi kualitas mengajarnya bisa jadi tidak benar-benar didengar oleh para siswa.

Seorang guru senior di Amerika Serikat bernama Marilyn L Page melakukan penelitian terhadap ribuan calon guru dan juga guru ketika mengajar. Dalam penelitian tersebut Page (2008) menyimpulkan enam cara pokok yang umumnya dilakukan oleh para guru atau calon guru untuk benar-benar diperhatikan oleh para siswa. Enam cara pokok tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui dan menggunakan nama siswa. Ternyata menggunakan nama siswa selama proses pembelajaran membuat guru lebih dekat dan didengar oleh siswanya. Guru-guru baru mungkin tidak menyadari pentingnya menggunakan nama siswa sehingga hanya memanggil dengan sebutan kamu, anda dan yang sejenisnya.
  2. Hindari pertanyaan tanpa nama dan tidak jelas. Ketika mengajar seringkali ada siswa yang langsung bertanya tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu (nyeletuk) atau ada juga yang bertanya tidak jelas, berputar-putar dan membuat teman-temannya menjadi kacau. Guru sebaiknya membiasakan dengan cara menjelaskan aturan main dalam bertanya sehingga proses bertanya akan mendukung jelasnya materi bukan malah sebaliknya.
  3. Penggunaan kata-kata dengan tepat dan bijak. Kejelasan materi pelajaran dimulai dari kata-kata yang digunakan oleh guru. Seringkali guru harus membahasakan ulang materi yang ada di buku teks agar lebih sesuai dengan kondisi kemampuan berbahasa siswa. Oleh karena itu tugas guru menjadi dua kali lipat sulitnya, yaitu memahami materi pelajaran secara mendalam dan mampu menyajikan kembali pemahaman tersebut dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa. Penggunaan kata-kata yang tidak tepat justru akan membuat siswa kesulitan. Misalnya, ketika guru terlalu banyak menggunakan kata emm, anu dan lain sebagainya.
  4. Hindari memberi petunjuk yang membingungkan. Berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa bermula dari petunjuk atau perintah yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu kejelasan dari petunjuk guru akan menentukan kelancaran berbagai aktivitas belajar siswa. Selain membuat siswa bingung, petunjuk tidak jelas bila sering dilakukan guru akan memberikan kesan negatif dalam diri para siswa. Ketidakpuasan serta konflik di antara sesama siswa akan sering berlangsung. Di sisi lain, mungkin akan banyak juga yang menjadi cuek dan menjalani aktivitivitas sekedarnya tanpa semangat.
  5. Membiasakan sikap berbudaya. Banyak siswa yang tidak terbiasa untuk secara rapi atau disiplin mengikuti aktivitas belajar (duduk dan mendengarkan) untuk waktu yang cukup lama. Sebelum bersekolah, mereka adalah individu-individu bebas yang aktif serta tidak mau dikekang. Berteriak, tertawa, berlarian atau membongkar benda-benda adalah sifat alami mereka. Oleh karena itu, ketika anak-anak berkumpul akan tercipta kekacauan jika mereka tidak dibiasakan untuk mengikuti aturan-aturan tertentu seperti menghormati teman, mengacungkan tangan ketika hendak berbicara, minta ijin ketika hendak keluar, mendengarkan guru atau teman yang berbicara dan lain sebagainya. Guru harus memperhatikan aturan-aturan yang paling penting untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Latihlah siswa untuk mengikutinya dengan baik, tentu saja tidak dengan jalan yang keras.
  6. Meningkatkan interaksi. Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa semakin banyak guru menjelaskan maka semakin banyak pula informasi yang didengarkan oleh siswa. Anggapan tersebut kurang tepat, karena jika kelas hanya didominasi oleh guru maka kemungkinan besar yang terjadi adalah kebosanan atau rasa takut. Artinya, sebagian besar siswa tidak benar-benar mendengarkan penjelasan guru. Dengan memberi mereka peluang untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran maka mereka akan lebih tertarik dan mau memahami penjelasan guru.
Selain enam cara di atas setiap guru yang sudah berpengalaman dan terus mengevaluasi diri pasti memiliki cara-cara lain yang juga tidak kalah efektif. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Satu yang terpenting adalah jika anda sebagai guru ingin didengar oleh siswa, maka terlebih dahulu anda harus mau mendengar dan memahami kondisi mereka.

Referensi:

Page, Marilyn L. (2008). You Can’t Teach Until Everyone is Listening. Thousand Oaks, CA 91320: Corwin Press.

Monday, 15 May 2017

Tony Buzan: Setiap Manusia Terlahir Sebagai Seorang Seniman

Kita umumnya membayangkan bahwa seniman adalah seorang dengan kemampuan yang luar biasa di bidang lukisan, bahasa atau musik. Jika anda ditanya apakah anda memiliki bakat di bidang seni, tentu jawabannya tidak. Hal inilah yang diperoleh Tony Buzan (penulis dan ahli kognisi yang sangat populer dengan teknik mind mapping) dalam penelitiannya mengenai pendapat masyarakat luas tentang seniman.

Dalam survey yang dilakukan oleh Tony Buzan di berbagai negara, dia mendapatkan temuan yang ternyata hampir sama, tidak peduli kebangsaan, ras atau usianya. Mereka menganggap bahwa seniman adalah suatu talenta bawaan yang luar biasa yang tidak dapat mereka pelajari. Dan hampir semua menjawab bahwa mereka tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang seniman. Ha inilah yang menurut Tony Buzan keliru.

Semua Anak Terlahir Kreatif

Semua manusia terlahir dengan kemampuan berbeda dan memiliki kesesuaian dengan bidang kerja yang juga berbeda-beda. Di dalam setiap bidang mereka itulah sebenarnya mereka memiliki bakat untuk menjadi seorang seniman. Karena semua pekerjaan pada dasarnya adalah seni. Jangan dibayangkan bahwa seni hanya adalah tentang lukisan, sastra atau musik. Memasak, bercocok tanam, mengajar, berjualan dan bahkan perang adalah seni.

Seorang seniman dituntut kreatif, demikian pula dengan setiap bidang pekerjaan. Kita akan mendapatkan hasil yang maksimal melalui kreativitas. Tony Buzan tidak memandang kreativitas sebagai kemampuan menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Kita ambil contoh pada seorang bayi yang baru pertama kali belajar berbicara. Jika ia memanggil ibunya dengan kata “ibu” atau “mama,” maka apakah ibunya akan menganggap si bayi tidak kreatif karena menggunakan kata panggil yang sama seperti bayi-bayi lain? Tentu tidak. Buzan mengatakan bahwa meniru tetap merupakan kemampuan pokok semua manusia. Hampir semua hal kita lakukan dengan cara meniru. Kreativitas menurut buzan adalah menambahkan sesuatu yang baru atau berbeda sesuai dengan keunikan kita di atas sesuatu yang sama atau biasa tersebut.

Dalam pendidikan, seringkali guru tidak memahami kondisi ini. Ia justru menjadi marah ketika mendapatkan siswanya melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang diajarkan. Lama-kelamaan siswa menjadi tidak berani berkreasi dan hanya menjadi penurut. Yang lebih parah, mereka melampiaskan hasrat kreatif tersebut untuk hal lain yang merusak. Itulah yang dinamakan dengan sekolah yang membunuh kreativitas.

Yang terbaik, guru mempelajari cara-cara agar kreativitas yang sebenarnya telah dimiliki anak sejak lahir dapat tersalurkan dan terbimbing. Minimal, mereka tidak merasa takut untuk berkreasi.

Referensi:
Buzan, Tony. (2001). The Power of Creative Intelligence. Thorsons Publishing.

Thursday, 11 May 2017

Makna Sekolah di Mata Anak-anak Putus Sekolah

Permasalahan anak putus sekolah masih menjadi salah satu permasalahan yang cukup rumit bagi Indonesia. Apalagi berdasarkan data UNICEF jumlah anak putus sekolah di Indonesia masih merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Anak-anak putus sekolah biasanya akan bermigrasi ke kota-kota besar untuk bekerja di sana. Setelah bekerja, tentu saja pekerjaan kasar, maka mereka akan semakin sulit untuk diajak kembali bersekolah.

Mengatasi permasalahan anak putus sekolah tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan top down, misalnya mengadakan program-program pendidikan khusus seperti kejar paket biasa. Sebaiknya dilakukan suatu kajian mendalam mengenai bagaimana pandangan anak-anak putus sekolah terhadap sekolah itu sendiri serta permasalahan apa yang mereka hadapi untuk kembali bersekolah.

Penelitian fenomenologi mengenai makna sekolah dalam pandangan anak putus sekolah dan hambatan apa yang membuat mereka tidak mau kembali bersekolah, dilakukan oleh Habibi dan Setiawan (2017) di kota Yogyakarta. Dengan partisipan sebanyak lima orang anak putus sekolah yang bekerja di kota Yogya ditelusuri secara mendalam apa sebenarnya makna sekolah bagi anak-anak tersebut.


Temuan dari penelitian ini memunculkan empat tema mengenai makna sekolah bagi anak-anak putus sekolah yaitu: (1) tempat mendapatkan banyak teman, (2) menyenangkan orang tua, (3) memperoleh ijazah dan (4) tempat untuk belajar. Dari keempat tema ini kita para pendidik mungkin terkejut karena berbeda dengan pandangan umum selama ini yang mungkin menganggap sekolah hanya sebagai tempat belajar mengajar atau paling jauh untuk memperoleh ijazah. Ternyata bagi anak-anak terdapat makna yang jauh lebih dominan, yaitu tempat mereka mendapatkan banyak teman serta untuk menyenangkan orang tua.

Berdasarkan temuan tersebut alangkah baiknya penanganan anak-anak putus sekolah tidak hanya berorientasi pada pandangan kita sebagai pendidik atau pandangan diri para penentu kebijakan. Perspektif anak-anak putus sekolah itu sendiri sebaiknya mendapatkan perhatian untuk menghasilkan program atau kebijakan yang lebih efektif. Penelitian-penelitian lebih lanjut, baik kuantitatif, kualitatif ataupun pengembangan juga akan lebih memperkaya informasi yang dibutuhkan untuk keberhasilan program pengentasan serta pencegahan anak putus sekolah.

Referensi:

Habibi. Setiawan, Caly. (Mei, 2017). The Meaning of School from Dropout’s View Point (A Phenomenological Study). Makalah disajikan dalam International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI), di Universitas Negeri Yogyakarta.

Wednesday, 10 May 2017

Teori Kebutuhan Abraham Maslow

Abraham Maslow sering dianggap sebagai bapak psikologi humanis, dan teorinya menjadi salah satu landasan bagi gerakan pendidikan humanis. Yang sangat populer adalah teori kebutuhan maslow. Pada teori ini maslow melakukan penelitian besar dan mengkonstruksi hirarki atau tingkatan kebutuhan manusia secara umum. Teori kebutuhan maslow menjadi salah satu teori yang banyak digunakan untuk menganalisis bagaimana permasalahan pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara utuh.

Maslow membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi dua kelompok utama yaitu kebutuhan perkembangan (growth needs) dan kebutuhan defisiensi (deficiency needs). Apabila Kebutuhan-kebutuhan yang tergolong dalam kebutuhan defisiensi tidak terpenuhi maka akan memberi manusia energi untuk memenuhinya. Dimulai dari kebutuhan paling dasar (kebutuhan fisik) hingga kebutuhan lain di tingkatan atasnya. Jika kebutuhan bawah belum terpenuhi maka menurut maslow manusia tidak akan beranjak untuk memenuhi kebutuhan di atasnya.

Kelompok kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan perkembangan (growth needs). Kebutuhan untuk mengaktualisasi potensi diri secara utuh (karena itu disebut juga kebutuhan aktualisasi diri). Berbeda dengan kebutuhan defisiensi yang memiliki batas pemenuhan (jika batas tersebut telah dipenuhi maka energi untuk memenuhinya berkurang dan kita akan beralih ke level di atasnya), kebutuhan perkembangan tidak memiliki batas sepanjang hidup manusia.

Salah satu kritikan atas teori maslow adalah mengenai perpindahan dari kebutuhan defisiensi ke kebutuhan perkembangan. Menurut maslow manusia baru akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan perkembangan jika kebutuhan defiensinya telah terpenuhi. Namun banyak fakta yang menunjukkan adanya manusia-manusia yang telah mencapai aktivitas pemenuhan kebutuhan perkembangan walaupun kebutuhan defiensinya belum terpenuhi. Misalnya, banyak orang-orang miskin yang mencintai ilmu pengetahuan atau mencari jati diri melalui jalan spiritual.

Penerapan teori kebutuhan maslow dalam bidang pendidikan misalnya adalah dengan memperhatikan bagaimana pemenuhan kebutuhan para siswa secara utuh. Guru atau sekolah tidak hanya memperhatikan pelajar sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Bagaimana kondsi fisik kelas, fisik siswa, pertemanan di antara mereka, penghargaan yang tulus dari guru, merupakan faktor-faktor yang juga mendukung hasil belajar siswa.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Habibi dan Setiawan (2017) terdapat temuan bahwa makna sekolah bagi anak-anak ternyata lebih dominan sebagai tempat untuk mencari teman dan menyenangkan orang tua mereka, dari pada sebagai tempat belajar. Dari kenyataan ini seharusnya guru dan sekolah juga memperhatikan bagaimana kebutuhan-kebutuhan non akademis juga dapat didukung. Misalnya adalah dengan memberikan suatu kondisi pertemanan yang menyenangkan baik untuk bergaul maupun belajar. Juga saling mengintimidasi antar siswa harus dapat dicegah.

Referensi:
Eggen, Paul. Kauchak, Don. (2010). Educational Psychology: Windows on Classroom. Edisi 8. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Habibi. Setiawan, Caly. (Mei, 2017). The Meaning of School from Dropout’s View Point (A Phenomenological Study). Makalah disajikan dalam International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI), di Universitas negeri Yogyakarta.

Saturday, 6 May 2017

Validitas Asesmen

Satu aspek yang sangat menentukan kualitas dari asesmen yang digunakan oleh guru adalah validitasnya. Validitas dapat diartikan sebagai ketepatan asesmen untuk menilai kemampuan siswa. Atau dengan kata lain, apakah asesmen tersebut benar-benar menilai kemampuan yang memang hendak dinilai? Sebagai contoh, guru hendak menilai kemampuan siswa dalam memahami konsep dasar fotosintesis. Asesmen dikatakan tidak valid jika ternyata yang dinilai bukan pemahaman siswa melainkan daya hafal mereka akan fotosintesis atau lebih jauh mengenali berbagai organ yang terlibat dalam proses fotosintesis.


Validitas asesmen bersifat abstrak, artinya tidak terlihat secara langsung pada instrumen yang digunakan oleh guru untuk menilai. Untuk mengetahui apakah suatu asesmen valid atau tidak, kita membutuhkan bukti-bukti yang mengindikasikan validitas asesmen tersebut. Tiga katagori validitas yang dapat kita cari bukti-buktinya meliputi validitas konstruk, validitas isi dan validitas kriteria.

Validitas konstruk berkaitan dengan bukti-bukti apakah kemampuan siswa yang dinilai memang merepresentasikan indikator-indikator kemampuan atau konstruksi psikologis yang diharapkan oleh guru. Validitas isi menunjukkan seberapa baik konten dari pertanyaan, tugas, oservasi dan elemen lain dari asesmen berkaitan dengan kemampuan siswa yang hendak dinilai. Validitas kriteria mengindikasikan seberapa baik kemampuan siswa pada asesmen yang dilakukan berkorelasi dengan kemampuan mereka yang diukur berdasarkan kriteria eksternal tertentu, misalnya pemahaman guru akan kemampuan siswa sebelumnya.

Ketiga katagori validitas tersebut membutuhkan prosedur yang berbeda untuk mengumpulkan bukti-buktinya. Meskipun berbeda, namun ketiga katagori validitas tersebut berkaitan, sehingga asesmen yang berkualitas seharusnya memiliki validitas pada ketiga-tiganya.

Referensi:

Oosterhof, A. (2003). Developing and Using Classroom Assessmen. Edisi 3. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Wednesday, 3 May 2017

Laut dan Pesisir dalam Tinjauan Fisika

Ini merupakan judul buku yang membahas bagaimana jika laut dan pesisir dikaji dari sudut pandang fisika. Beberapa buku yang pernah anda baca mengenai laut dan pesisir mungkin lebih cenderung membahasnya dari sudut pandang ekologi (lingkungan) dan biologinya. Buku ini berbeda karena kajian fisika di dalamnya mengarahkan kita untuk memahami proses-proses fisik yang terjadi di laut dan pesisir secara lebih ilmiah.


Jangan bayangkan bahwa buku ini berisi rumus-rumus fisika yang rumit dan membuat pusing kepala. Tidak! Buku ini ditulis agar dapat dibaca oleh banyak pihak, bahkan termasuk mereka yang mungkin sangat sedikit kenal dengan fisika (misalnya hanya di bangku sekolah, itu pun dengan nilai fisika yang tidak meyakinkan hehe). Namun informasi-informasi yang disajikan cukup membuat kita mengerti bagaimana proses fisika yang berlangsung di laut serta pesisir, Misalnya tentang mengapa air laut itu asin, mengapa muncul ombak, dan bagaimana manusia memanfaatkan air laut. 

Buku laut dan pesisir dalam tinjauan fisika ini ditulis oleh tiga orang dosen. Yang pertama adalah Habibi yang merupakan dosen Universitas Wiraraja Sumenep. Lingkungan pesisir di Sumenep menginspirasinya untuk menulis buku ini. Yang kedua adalah Panji Hidayat dosen Universitas Ahmad Dahlan. Dan yang ketiga adalah Jumadi, guru besar pendidikan fisika di Universitas Negeri Yogyakarta. 

Buku ini sangat ringan (yaitu dengan jumlah halaman 150 halaman) membuatnya cukup enak dibaca, walaupun informasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Cocok bagi para siswa, mahasiswa di jurusan-jurusan IPA atau pendidikan IPA yang ingin menambah wawasan dan referensi.

Bagi yang berminat untuk membeli buku ini dapat melakukan pemesanan melalui sms atau whatsapp dengan nomor 08175063842.


Referensi:
Habibi. Hidayat, P. Jumadi. 2016. Laut dan Pesisir dalam Tinjauan Fisika. Yogyakarta: Bening Pustaka

Model Pembelajaran MOTORIC

Berbagai model pembelajaran untuk mengajarkan IPA telah dikembangkan. Dalam penggunaannya, kita harus mempertimbangkan tujuan, keunggulan serta keterbatasan yang dimiliki oleh suatu model. Penggunaan model pembelajaran secara sembarangan hanya akan berakhir dengan pembelajaran yang buruk. 

Model Pembelajaran Harus Disesuaikan dengan Tujuan dan Kondisi

Dalam artikel ini akan diulas mengenai satu model pembelajaran yang bernama model MOTORIC. Tujuan utama model ini adalah mengintegrasikan pendidikan lingkungan ke dalam pembelajaran IPA. Jadi, pembelajaran IPA tidak hanya akan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tetapi yang utama adalah kesadaran lingkungan bahwa kita sebagai manusia benar-benar membutuhkan alam untuk hidup, serta berbagai macam permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini dan bagaimana sebaiknya sikap dan langkah kita mengatasinya. 

Pendidikan lingkungan dapat diajarkan secara monolitik, artinya terdapat mata pelajaran khusus untuk mengajarkannya. Yang kedua adalah secara integratif, artinya pendidikan lingkungan diajarkan melalui mata pelajaran lain. Dalam model pembelajaran MOTORIC yang dilakukan oleh Sukarjita, dkk. (2014) pendidikan lingkungan diajarkan melalui mata pelajaran IPA SMP.

Model ini menggabungkan tiga pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan kontekstual, pendekatan karakter dan pendekatan multimedia. terdapat tujuh komponen pembelajaran dalam model ini sesuai dengan namanya. Ketujuh komponen tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Motivation, merupakan komponen apersepsi yang bertujuan untuk memotivasi siswa mengikuti pelajaran. Caranya dapat dilakukan dengan memberikan pernyataan atau pertanyaan yang dapat memprovokasi daya tarik siswa.
  2. Observation, siswa melakukan pengamatan baik secara langsung atau pun tidak langsung terkait dengan materi yang akan didiskusikan. Untuk pengamatan langsung siswa dapat melakukannya di luar kelas. Sedangkan pada pengamatan tak langsung dapat dilakukan melalui multimedia yang telah dipersiapkan oleh guru.
  3. Talking, kelompok-kelompok siswa melakukan diskusi terkait dengan pengamatan yang telah dilakukan. Guru menjadi fasilitator untuk membantu kelompok melakukan diskusi.
  4. Orientation, guru mengarahkan agar diskusi yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan materi pelajaran saat itu. Peran guru dalam tahapan ini cukup dominan.
  5. Reinforcement, Penguatan dilakukan oleh guru melalui pengetahuan dan sikap-sikap berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dapat dilakukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
  6. Implementation, Implementasi dari pengetahuan dan sikap-sikap terhadap lingkungan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahapan implementasi ini guru telah menyiapkan suatu Panduan implementasi sikap (attitude implementation guide) untuk membantu siswa. Implementasi dapat dimulai dari sekup kecil seperti ruang kelas, sekolah atau lapangan.
  7. Confirmation, di akhir aktivitas guru mengingatkan siswa untuk selalu melakukan upaya-upaya positif dalam rangka menjaga lingkungan.
Model pembelajaran ini sangat baik dalam mengajarkan pendidikan lingkungan karena secara kontekstual siswa dilatih untuk menjaga lingkungan sesuai dengan materi IPA yang telah mereka pelajari. Namun dari tahapan yang dijelaskan di atas nampak bahwa model ini cukup time consuming. Untuk lebih jelas mengenai model pembelajaran MOTORIC ini dipersilahkan untuk mencari dan membaca referensi seperti yang tertera di bagian bawah artikel.

Referensi:
Sukarjita, I. W., Ardi, M., Rachman, A., Supu, A., & Dirawan, G. D. (2014). The Integration of Environmental Education in Science Materials by Using MOTORIC Learning Model. International Education Studies8(1), 152.