Wednesday, 4 October 2017

Perjuangan Abadi Para Pendidik (Refleksi Pemikiran Ki Hadjar)


Pendidikan adalah suatu tuntunan untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan kodrat alam mereka, untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Seperti itulah konsep pendidikan menurut Ki Hadjar yang sering kita baca. Pendidikan adalah sebuah tuntunan bagi kehidupan anak, agar mereka dapat berproses menjadi manusia yang seutuhnya. Dan mencapai kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan di sini jangan hanya diartikan sebagai uang, pekerjaan atau kesenangan saja. Kebahagiaan menurut Ki Hadjar bermakna fisik, psikologis dan sekaligus spiritual. Bahkan kebahagiaan spiritual memiliki derajat yang lebih tinggi daripada kebahagiaan fisik.

Pendidikan bukan pekerjaan yang mudah. Para pendidik harus memiliki suatu niat dan komitmen yang kuat untuk menjalankan profesinya. Berikut adalah cuplikan Ki Hadjar mengenai perjuangan para pendidik.
“Untuk maksud yang mulia itu maka seringkali pendidikan harus melakukan perjuangan, baik secara menggempur maupun secara membangun. Menggempur dimana ada kekuatan-kekuatan atau keadaan-keadaan yang menghambat pembaruan, dan membangun sesudah suasana kembali tenteram.”

Mungkin banyak yang menganggap perjuangan dalam arti menggempur pendidik hanya terjadi di jaman Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa dulu (jaman penjajahan). Sedangkan sekarang lebih bersifat membangun. Menurut saya tidaklah demikian, proses menggempur dan membangun dalam pendidikan selalu terjadi di setiap zaman. Hambatan yang harus digempur itu saja yang berbeda, yang walaupun berbeda namun tidak mengurangi berat perjuangannnya.

Saat ini sekolah telah semakin diperhatikan oleh pemerintah, dan semua elemen masyarakat telah memahami pentingnya pendidikan. Usaha pendidikan tidak lantas menjadi ringan. Perjuangan tetap dibutuhkan untuk menggembur berbagai hambatan seperti kemalasan, korupsi, penguasa yang tidak memahami kondisi, berbagai dampak negatif teknologi informasi dan lain sebagainya. Karena itu tidak ada alasan bagi para pendidik untuk nyantai, hanya ikut arus, pasrah pada keadaan, kehilangan kepedulian kepada anak didik, dan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Kita semua tahu, mana di antara para guru kita yang benar-benar memiliki karakter sebagai seorang pejuang. Dan juga mana yang hanya mencari uang dalam profesi sebagai pendidik. Yang jelas, kiprah para pejuang pendidikan itu akan benar-benar berkesan mendalam bagi setiap siswanya atau bahkan masyarakat di sekitarnya. Bisa jadi secara intelektual mereka tidak terlalu menonjol, tetapi usaha yang mereka lakukan untuk terus menghasilkan perbaikan bagi para anak didiknya luar biasa. Inovasi selalu dimunculkan walaupun sederhana, toh siswa sebagai manusia dengan berbagai potensi dapat berkembang secara mandiri.

Saat ini profesi guru semakin diminati, terutama karena tingkat kesejahteraan guru yang semakin diperhatikan. Kita sama-sama berharap, para guru tetap merupakan para pejuang, selamanya. Karena ketika guru tidak lagi berjuang, maka saat itulah dia menjadi beban pendidikan.

Pustaka:

Dewantara, Ki Hadjar. (2011). Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Sunday, 1 October 2017

Mengajar Seperti Gunung-gunung

TA Loeffler adalah seorang profesor di Memorial University of Newfoundland, Kanada. Ia memiliki reputasi yang sangat bagus dalam bidang experiential education. Ia selalu berhasil menggerakkan para mahasiswanya untuk belajar di alam nyata. Beberapa penghargaan sebagai pendidik terbaik bidang experiential education di Kanada telah ia peroleh. Dalam tulisannya yang berjudul I teach as the mountains teach me, Loeffler mengatakan bahwa ia benar-benar mengajar seperti bagaimana gunung-gunung menginspirasinya dan mengajarinya banyak hal. Perlu diketahui bahwa ia suka perjalanan alam bebas, termasuk juga mendaki gunung-gunung.

Seperti layaknya seorang pendaki gunung, Loeffler mengajar para mahasiswanya dengan memberi mereka sebuah visi yang luas (bayangkan bagaimana pandangan luas yang dapat kita peroleh ketika berada di puncak gunung) dan juga perjuangan (sebagaimana seorang pendaki gunung berjuang untuk mencapai puncak). Kemudian ia akan mengajak siswa untuk meraih langit (cita-cita) dari berbagai aktivitas nyata yang mereka lakukan. Loeffler selalu mengajak para mahasiswanya untuk belajar dengan aktivitas yang bervariasi (banyak yang bersifat di luar kelas), mengajak mereka untuk keluar dari pikiran yang sempit, memberi mereka harapan-harapan sebagai seorang pemuda yang penuh potensi dan mengajak untuk berjuang. Kesulitan selama belajar diimbangi dengan keindahan dari proses untuk mendapatkan pengetahuan.

Bagaimana wujud pembelajaran seperti gunung itu? Loeffler menjelaskan bahwa ia menggunakan active learning. Pengetahuan yang diperoleh harus melalui suatu aktivitas yang mengajak para mahasiswa ke tempat-tempat nyata di luar kampus, kemudian mengarahkan mereka untuk memecahkan suatu permasalahan umumnya secara kooperatif. Kadang ia juga menggunakan lembar kerja dan diskusi untuk mengajak mereka mengembangkan nalar dan menemukan sesuatu melalui socratic discovery. Meskipun menyenangkan, bukan berarti pembelajaran yang diterapkannya tanpa kesulitan. Justru kesulitan-kesulitan itulah yang menurutnya berkorelasi dengan hasil belajar. Loeffler menjadikan pembelajaran sebagai aktivitas yang menantang.

Apa yang dilakukan oleh Loeffler ini juga mungkin telah banyak diterapkan oleh para pengajar lain, termasuk di Indonesia. Dimana pembelajaran bersifat membebaskan anak didik, tidak mengungkung mereka dalam situasi yang mengikat dan menekan psikis. Pembelajaran dilakukan sesuai dengan kodrat anak dan remaja yaitu aktif, dan mendekatkan seluruh indera pada alam. Hal ini sesuai dengan konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai pancadarma atau lima dasar pendidikan. Di antara kelima dasar tersebut terdapat dasar kemerdekaan/kebebasan dan dasar kodrat alam.


Tentu saja belajar tidak harus selalu dengan melakukan perjalanan ke luar kelas. Inti dari kemerdekaan di sini adalah bagaimana suasana yang dimunculkan dalam proses belajar tidak menekan, jenuh, kaku dan membunuh kreativitas. Kesulitan-kesulitan tentu harus tetap ada, karena tanpa kesulitan mana mungkin kita belajar. Tapi seperti para pendaki gunung, berbagai kesulitan dijalani dengan semangat dan keyakinan akan sesuatu yang sangat berharga yang akan mereka peroleh ketika menjalaninya.

Pustaka:
Loeffler, T.A. (2011). I Teach as the Mountains Teach Me. In Iain hay (Ed.). Inspiring Academics, Learning with the World’s Great University Teachers. New York: Open University Press.

Muthoifin, M. (2015). Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara. Intizar, 21(2), 299-320

Wednesday, 27 September 2017

Menggunakan Grup Facebook untuk Dialog Mahasiswa

Facebook adalah situs jejaring sosial  yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Penciptanya adalah Mark Zuckerberg seorang lulusan Harvard University. Media ini sebenarnya berfungsi untuk menjalin komunikasi antar orang-orang yang mungkin sulit untuk bertemu secara langsung, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Kemampuannya mengunggah foto dan video membuat facebook begitu disenangi terutama oleh kaum muda.

Rasanya tidak ada mahasiswa yang saat ini tidak memiliki akun facebook (fb). Tidak hanya menjadi media komunikasi, fb seolah telah menjadi sebuah label bahwa seseorang telah mengikuti perkembangan jaman. Banyak kita lihat penggunaan fb secara negatif misalnya untuk penghinaan, pornografi, media kampanye hitam dan juga sekedar meluapkan emosi. Karena itu di kalangan pendidik fb dianggap kurang bermanfaat.


Beberapa dampak negatif fb sebenarnya tidak lantas membuatnya menjadi pelaku kejahatan. Fb tetap hanya merupakan media yang bergantung pada pengguna. Bahkan, jika kita melihat bagaimana populernya fb seharusnya menjadi suatu peluang untuk memanfaatkannya sebagai media pendidikan. salah satunya seperti yang dilakukan oleh Habibi (2015) yang menggunakan fb sebagai media komunikasi mahasiswa dalam suatu mata kuliah namun bisa berlangsung kapanpun.

Dialog mahasiswa yang biasanya tidak banyak mendapat partisipasi menjadi berubah ketika menggunakan grup di fb. Dalam penelitian tersebut tidak hanya partisipasi mahasiswa yang meningkat tetapi juga efikasi diri mahasiswa untuk melakukan dialog. Suasana informal dalam ruang yang telah populer digunakan tampaknya membuat tekanan yang muncul ketika dialog formal menjadi turun. Mahasiswa lebih percaya diri untuk mengungkapkan pikiran mereka. Mereka juga tidak dibatasi waktu.

Strategi ini tampaknya dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membangun pembelajaran tanpa tekanan. 

Hasil penelitian mengenai pemanfaatan facebook dan pengaruhnya terhadap efikasi diri dapat anda pelajari dan download di sini 
http://metastead.com/2g6L


Pustaka:
Habibi, H. (2015). IMPLEMENTASI POSITIVE REWARD DAN FACEBOOK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DIALOG MAHASISWA. LENSA (Lentera Sains): Jurnal Pendidikan IPA5(2).

Tuesday, 26 September 2017

Sistem Among dan Tut Wuri Handayani

Pendidikan menurut Ki Hadjar adalah suatu tuntunan untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan kodrat alam yang dimilikinya untuk tercapainya kebahagiaan yang setinggi-tingginya bagi sang anak. Kata tuntunan menunjukkan bahwa pendidikan bukan sebuah paksaan tapi lebih bersifat mengarahkan. Bagaimana mengarahkan yang dapat membawa kepada keberhasilan? Ki Hadjar menjawab yaitu menjadikan arahan tersebut sesuai dengan kodrat atau potensi alami yang dimiliki oleh si anak.

Untuk dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan potensi atau kodrat anak, maka seorang pendidik dituntut agar berusaha semaksimal mungkin untuk mengenali dan memahami diri anak. Di sanalah terletak seni mendidik. Jika ada seorang guru mengajar hanya memperhatikan materi yang harus disampaikan, mau tidak mau, bias tidak bias, siswa harus mempelajarinya, maka saat itulah guru hanya berperan sebagai seorang mesin pendidik. Hasilnya tentu saja adalah siswa-siswa robot, atau para pembangang yang mengalami stress.

Ki Hadjar terkenal dengan sistem among, yaitu sistem pendidikan dimana seorang guru benar-benar mengerti kondisi diri dan kebutuhan para siswa mereka. Guru tidak hanya sebagai pengantar kurikulum, tapi lebih berperan mengadaptasi kurikulum untuk kepentingan dan kebutuhan siswa. Walaupun begitu, guru tidak melakukan pemaksaan (karena merasa telah mengerti kondisi dan apa yang dibutuhkan siswa). Guru dalam sistem among adalah guru yang membuka pintu yang menghalangi anak untuk menemukan dirinya sendiri. Guru yang mengerti betul bagaimana cara mendorong anak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal.


Sistem among akan lebih berjalan maksimal jika pendidikan dilaksanakan dalam asrama atau pondok (dalam istilah sekarang mungkin full day school, namun benar-benar full). Kondisi tersebut memungkinkan seorang guru untuk juga berperan sebagaimana layaknya orang tua. Mereka akan lebih dekat pada para siswa. Pendidikan tidak hanya berlangsung secara formal, tetapi juga informal dan nonformal.

Referensi:
Soeratman, Darsiti. (1985). Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wangid, M.N. (2009) Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan Praktik. Jurnal Kependidikan. 39(2)

Monday, 4 September 2017

Model Pembelajaran Pemaknaan (Integrasi Nilai Moral dalam Pembelajaran IPA)

IPA adalah suatu cabang ilmu yang mengkaji tentang alam. Kita telah ketahui, bahwa sebagai ilmu, IPA bersifat logis, sistematis dan empiris (harus dapat dibuktikan). Selama ini banyak yang mengasumsikan bahwa alam hanyalah obyek yang dapat dimanfaatkan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan manusia. Kita kurang menyadari bahwa alam juga memiliki dimensi moral. Bahwa alam bisa memberi manusia contoh nilai-nilai kebaikan yang dapat diterapkan dalam hidup.

Alam sebagai ayat-ayat Allah yang dapat mengajarkan manusia akhlakul karimah seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para guru IPA ketika mengajar di kelas. Tidak hanya pengetahuan kausalistik yang dapat mereka ajarkan, melainkan juga nilai-nilai kehidupan. Misalnya, dalam pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan dapat menjadi contoh bahwa kehidupan manusia juga harus memperhatikan kondisi bakat minat dan lingkungan yang mendukung untuk bisa sukses. Momen inersia dalam fisika dapat memberi contoh bagi siswa bahwa untuk memulai suatu pekerjaan pasti sulit, namun ketika telah berjalan maka kesulitan tersebut biasanya sudah tidak dirasakan. Karena itu jangan hilang semangat ketika menemukan suatu pekerjaan yang awalnya dirasa sulit.


Lantas, bagaimana cara mengajarkan nilai-nilai moral tersebut dalam IPA agar sistematis? Untuk membantu para guru (pengajar IPA) maka Prof. Muslimin Ibrahim, pada tahun 2008, dari Universitas Negeri Surabaya merancang suatu model pembelajaran yang diberi nama Model Pembelajaran Pemaknaan. Sintaks model ini terdiri atas 7 tahapan sebagai berikut:
  1. Mengorientasikan siswa pada masalah. Siswa dibawa pada masalah yang nantinya akan mereka pecahkan. Membawa dalam hal ini bukan hanya menyampaikan, melainkan guru harus dapat memunculkan rasa tertarik dan motivasi pada diri siswa. Dengan demikian selama proses pembelajaran siswa benar-benar merasakan suatu tantangan untuk memecahkan masalah.
  2. Merancang proses pemecahan masalah. Siswa dengan arahan guru melakukan diskusi atau tanya jawab dalam rangka untuk menemukan cara terbaik memecahkan permasalahan yang disajikan pada tahap sebelumnya. 
  3. Membimbing penyelidikan. Pada tahapan ini siswa mulai melaksanakan pemecahan masalah yang telah disepakati pada saat tahap dua, baik secara personal atau pun kelompok. Guru memberikan bimbingan yang tepat ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. 
  4. Mengkomunikasikan hasil. Hasil dari proses pemecahan masalah dikomunikasikan melalui diskusi kelas, presentasi kelas, pameran atau yang lainnya. Masing-masing siwa dapat memperoleh informasi mengenai apa yang dikerjakan oleh yang lain, serta berperan serta untuk memberikan saran-saran perbaikan. 
  5. Negosiasi dan konfirmasi. Guru memberikan balikan terhadap hasil pekerjaan siswa dalam rangka memperbaiki, penguatan atau menyempurnakan. Selain itu juga guru mengecek pemahaman siswa terkait dengan proses yang mereka lalui. 
  6. Pemaknaan. Guru menjadikan gejala alam yang ditemukan oleh siswa sebagai model untuk dimaknai dan ditanamkan pada siswa. Untuk melakukan sescara baik guru sudah mempersiapkan jauh sebelumnya. 
  7. Evaluasi dan refleksi. Siswa diminta untuk menyampaikan kekuatan dan kelemahan dari proses pemecahan masalah yang telah mereka lalui. Selain itu juga guru memberikan tes atau penugasan lebih lanjut.
Adapun secara empiris bagaimana pengaruh model pembelajaran pemaknaan terhadap berbagai aspek pembelajaran salah satunya dapat dilihat pada hasil penelitian di link berikut 
http://metastead.com/2D5X

Referensi:
Ibrahim, M. (2008). Model pembelajaran inovatif melalui pemaknaan (belajar perilaku positif dari alam). Surabaya: Unesa University Press

Sunday, 21 May 2017

Asas Trikon (Ki Hadjar Dewantara) untuk Mengembangkan Sistem Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses yang tidak diam. Ia harus terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi zaman, dan juga kondisi peserta didik. Jangan bayangkan sistem pendidikan sebagai sebuah sistem besar yang hanya dapat dipikirkan dan diurusi oleh para pakar dan penentu kebijakan di pusat. Sekolah atau bahkan kelas juga merupakan suatu sistem pendidikan dengan ruang lingkup yang kecil. Setiap sekolah memiliki kondisi dan permasalahan masing-masing, sehingga pengembangan satu sekolah dengan sekolah lain tidak benar-benar sama.


Bagaimana cara untuk mengembangkan sekolah atau bahkan proses pendidikan di ruang kelas secara efektif? Ada asas yang dikenalkan oleh bapak pendidikan kita untuk melakukannya. Asas tersebut dinamankan dengan asas trikon karena terdiri atas tiga asas yang berawalan “kon” yaitu kontinyu, konvergen dan konsentris. Dalam artikel ini kita akan membahas ketiga asas tersebut,

1.      Kontinyu. Artinya pengembangan yang dilakukan harus berkesinambungan, dilakukan secara terus-menerus dengan perencanaan yang baik. Suatu kondisi yang baik tidak mungkin dapat dicapai dalam sekali waktu seperti sebuah sulap. Tahap demi tahap pengembangan dilakukan dengan rencana yang matang. Dengan perencanaan tersebut maka suatu tahap dilanjutkan oleh tahap berikutnya dengan melalui evaluasi dan perbaikan yang tepat. Pengembangan yang sifatnya tiba-tiba untuk kemudian hilang semangat di waktu-waktu setelahnya tidk akan menghasilkan perubahan berarti di jangka panjang.
2.      Konvergen. Artinya pengembangan yang dilakukan dapat mengambil dari berbagai sumber di luar, bahkan dari praktik pendidikan di luar negeri. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar ketika mempelajari berbagai praktik pendidikan dunia misalnya Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath Tagore. Praktik-praktik tesebut dapat kita pelajari untuk nantinya disesuaikan dengan kebutuhan yang kita miliki sendiri. Saat ini teknologi informasi telah sedemikian canggih sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja.
3.      Konsentris. Artinya pengembangan pendidikan yang dilakukan harus tetap berdasarkan kepribadian kita sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menuntun tumbuh kembang anak secara maksimal sesuai dengan karakter kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu meskipun Ki Hadjar menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain, namun tetap semua itu ditempatkan secara konsentris dengan karakter budaya kita sebagai pusatnya. Pendidikan yang menggunakan teori dan dasar kebudayaan bangsa lain (walaupun bangsa yang maju) secara langsung tanpa mengkaji ulang, menyesuaikan dan mengevaluasinya tidak akan menghasilkan kemajuan.

Banyak pengembangan yang kita lakukan mengabaikan asas trikon di atas. Sebagai contoh kurangnya kesinambungan perubahan yang dilakukan dari satu masa ke masa lain seiring dengan pergantian penguasa. Demikian pula sering kita mengadopsi teori secara langsung tanpa melakukan penyesuaian yang tepat sehingga upaya pengembangan yang dilakukan menjadi sia-sia.

Referensi:
  • Soeratman, Darsiti. (1985). Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  • Suparlan, Henricus. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat. Vol. 25, No. 1, Hal. 56-74


Friday, 19 May 2017

Enam Cara Guru untuk Lebih Mendapat Perhatian Siswa

Proses belajar mengajar di dalam kelas merupakan aktivitas harian semua guru. Terdapat aktivitas lain seperti mengoreksi tugas atau ulangan, memasukkan nilai, menyiapkan perangkat mengajar dan juga mengikuti seminar atau pelatihan. Namun aktivitas mengajar siswa di dalam kelas tetap merupakan aktivitas inti yang menentukan bagaimana guru dapat menuntun siswa untuk belajar dan mengembangkan diri mereka.

Apakah guru yang telah menjelaskan materi dan memberi contoh-contoh telah berhasil melaksanakan tugas mengajar di kelas? Masih belum. Kegiatan guru menjelaskan materi atau memberi contoh-contoh baru dikatakan berhasil apabila siswa benar-benar memperhatikan penjelasan tersebut dan memahaminya. Sering kita temui siswa yang terlihat memperhatikan penjelasan guru, padahal pikirannya melayang. Karena mereka sebenarnya tidak berniat mendengarkan. Apalagi kalau jelas-jelas sang siswa melakukan hal-hal lain yang menunjukkan bahwa dirinya tidak perhatian.


Membuat para siswa benar-benar mau memperhatikan penjelasan guru bukanlah pekerjaan mudah. Guru yang baru mengajar kemungkinan besar kesulitan untuk melakukannya. Demikian juga, para guru senior yang tidak pernah mengevaluasi kualitas mengajarnya bisa jadi tidak benar-benar didengar oleh para siswa.

Seorang guru senior di Amerika Serikat bernama Marilyn L Page melakukan penelitian terhadap ribuan calon guru dan juga guru ketika mengajar. Dalam penelitian tersebut Page (2008) menyimpulkan enam cara pokok yang umumnya dilakukan oleh para guru atau calon guru untuk benar-benar diperhatikan oleh para siswa. Enam cara pokok tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui dan menggunakan nama siswa. Ternyata menggunakan nama siswa selama proses pembelajaran membuat guru lebih dekat dan didengar oleh siswanya. Guru-guru baru mungkin tidak menyadari pentingnya menggunakan nama siswa sehingga hanya memanggil dengan sebutan kamu, anda dan yang sejenisnya.
  2. Hindari pertanyaan tanpa nama dan tidak jelas. Ketika mengajar seringkali ada siswa yang langsung bertanya tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu (nyeletuk) atau ada juga yang bertanya tidak jelas, berputar-putar dan membuat teman-temannya menjadi kacau. Guru sebaiknya membiasakan dengan cara menjelaskan aturan main dalam bertanya sehingga proses bertanya akan mendukung jelasnya materi bukan malah sebaliknya.
  3. Penggunaan kata-kata dengan tepat dan bijak. Kejelasan materi pelajaran dimulai dari kata-kata yang digunakan oleh guru. Seringkali guru harus membahasakan ulang materi yang ada di buku teks agar lebih sesuai dengan kondisi kemampuan berbahasa siswa. Oleh karena itu tugas guru menjadi dua kali lipat sulitnya, yaitu memahami materi pelajaran secara mendalam dan mampu menyajikan kembali pemahaman tersebut dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa. Penggunaan kata-kata yang tidak tepat justru akan membuat siswa kesulitan. Misalnya, ketika guru terlalu banyak menggunakan kata emm, anu dan lain sebagainya.
  4. Hindari memberi petunjuk yang membingungkan. Berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa bermula dari petunjuk atau perintah yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu kejelasan dari petunjuk guru akan menentukan kelancaran berbagai aktivitas belajar siswa. Selain membuat siswa bingung, petunjuk tidak jelas bila sering dilakukan guru akan memberikan kesan negatif dalam diri para siswa. Ketidakpuasan serta konflik di antara sesama siswa akan sering berlangsung. Di sisi lain, mungkin akan banyak juga yang menjadi cuek dan menjalani aktivitivitas sekedarnya tanpa semangat.
  5. Membiasakan sikap berbudaya. Banyak siswa yang tidak terbiasa untuk secara rapi atau disiplin mengikuti aktivitas belajar (duduk dan mendengarkan) untuk waktu yang cukup lama. Sebelum bersekolah, mereka adalah individu-individu bebas yang aktif serta tidak mau dikekang. Berteriak, tertawa, berlarian atau membongkar benda-benda adalah sifat alami mereka. Oleh karena itu, ketika anak-anak berkumpul akan tercipta kekacauan jika mereka tidak dibiasakan untuk mengikuti aturan-aturan tertentu seperti menghormati teman, mengacungkan tangan ketika hendak berbicara, minta ijin ketika hendak keluar, mendengarkan guru atau teman yang berbicara dan lain sebagainya. Guru harus memperhatikan aturan-aturan yang paling penting untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Latihlah siswa untuk mengikutinya dengan baik, tentu saja tidak dengan jalan yang keras.
  6. Meningkatkan interaksi. Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa semakin banyak guru menjelaskan maka semakin banyak pula informasi yang didengarkan oleh siswa. Anggapan tersebut kurang tepat, karena jika kelas hanya didominasi oleh guru maka kemungkinan besar yang terjadi adalah kebosanan atau rasa takut. Artinya, sebagian besar siswa tidak benar-benar mendengarkan penjelasan guru. Dengan memberi mereka peluang untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran maka mereka akan lebih tertarik dan mau memahami penjelasan guru.
Selain enam cara di atas setiap guru yang sudah berpengalaman dan terus mengevaluasi diri pasti memiliki cara-cara lain yang juga tidak kalah efektif. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Satu yang terpenting adalah jika anda sebagai guru ingin didengar oleh siswa, maka terlebih dahulu anda harus mau mendengar dan memahami kondisi mereka.

Referensi:

Page, Marilyn L. (2008). You Can’t Teach Until Everyone is Listening. Thousand Oaks, CA 91320: Corwin Press.

Monday, 15 May 2017

Tony Buzan: Setiap Manusia Terlahir Sebagai Seorang Seniman

Kita umumnya membayangkan bahwa seniman adalah seorang dengan kemampuan yang luar biasa di bidang lukisan, bahasa atau musik. Jika anda ditanya apakah anda memiliki bakat di bidang seni, tentu jawabannya tidak. Hal inilah yang diperoleh Tony Buzan (penulis dan ahli kognisi yang sangat populer dengan teknik mind mapping) dalam penelitiannya mengenai pendapat masyarakat luas tentang seniman.

Dalam survey yang dilakukan oleh Tony Buzan di berbagai negara, dia mendapatkan temuan yang ternyata hampir sama, tidak peduli kebangsaan, ras atau usianya. Mereka menganggap bahwa seniman adalah suatu talenta bawaan yang luar biasa yang tidak dapat mereka pelajari. Dan hampir semua menjawab bahwa mereka tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang seniman. Ha inilah yang menurut Tony Buzan keliru.

Semua Anak Terlahir Kreatif

Semua manusia terlahir dengan kemampuan berbeda dan memiliki kesesuaian dengan bidang kerja yang juga berbeda-beda. Di dalam setiap bidang mereka itulah sebenarnya mereka memiliki bakat untuk menjadi seorang seniman. Karena semua pekerjaan pada dasarnya adalah seni. Jangan dibayangkan bahwa seni hanya adalah tentang lukisan, sastra atau musik. Memasak, bercocok tanam, mengajar, berjualan dan bahkan perang adalah seni.

Seorang seniman dituntut kreatif, demikian pula dengan setiap bidang pekerjaan. Kita akan mendapatkan hasil yang maksimal melalui kreativitas. Tony Buzan tidak memandang kreativitas sebagai kemampuan menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Kita ambil contoh pada seorang bayi yang baru pertama kali belajar berbicara. Jika ia memanggil ibunya dengan kata “ibu” atau “mama,” maka apakah ibunya akan menganggap si bayi tidak kreatif karena menggunakan kata panggil yang sama seperti bayi-bayi lain? Tentu tidak. Buzan mengatakan bahwa meniru tetap merupakan kemampuan pokok semua manusia. Hampir semua hal kita lakukan dengan cara meniru. Kreativitas menurut buzan adalah menambahkan sesuatu yang baru atau berbeda sesuai dengan keunikan kita di atas sesuatu yang sama atau biasa tersebut.

Dalam pendidikan, seringkali guru tidak memahami kondisi ini. Ia justru menjadi marah ketika mendapatkan siswanya melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang diajarkan. Lama-kelamaan siswa menjadi tidak berani berkreasi dan hanya menjadi penurut. Yang lebih parah, mereka melampiaskan hasrat kreatif tersebut untuk hal lain yang merusak. Itulah yang dinamakan dengan sekolah yang membunuh kreativitas.

Yang terbaik, guru mempelajari cara-cara agar kreativitas yang sebenarnya telah dimiliki anak sejak lahir dapat tersalurkan dan terbimbing. Minimal, mereka tidak merasa takut untuk berkreasi.

Referensi:
Buzan, Tony. (2001). The Power of Creative Intelligence. Thorsons Publishing.

Thursday, 11 May 2017

Makna Sekolah di Mata Anak-anak Putus Sekolah

Permasalahan anak putus sekolah masih menjadi salah satu permasalahan yang cukup rumit bagi Indonesia. Apalagi berdasarkan data UNICEF jumlah anak putus sekolah di Indonesia masih merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Anak-anak putus sekolah biasanya akan bermigrasi ke kota-kota besar untuk bekerja di sana. Setelah bekerja, tentu saja pekerjaan kasar, maka mereka akan semakin sulit untuk diajak kembali bersekolah.

Mengatasi permasalahan anak putus sekolah tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan top down, misalnya mengadakan program-program pendidikan khusus seperti kejar paket biasa. Sebaiknya dilakukan suatu kajian mendalam mengenai bagaimana pandangan anak-anak putus sekolah terhadap sekolah itu sendiri serta permasalahan apa yang mereka hadapi untuk kembali bersekolah.

Penelitian fenomenologi mengenai makna sekolah dalam pandangan anak putus sekolah dan hambatan apa yang membuat mereka tidak mau kembali bersekolah, dilakukan oleh Habibi dan Setiawan (2017) di kota Yogyakarta. Dengan partisipan sebanyak lima orang anak putus sekolah yang bekerja di kota Yogya ditelusuri secara mendalam apa sebenarnya makna sekolah bagi anak-anak tersebut.


Temuan dari penelitian ini memunculkan empat tema mengenai makna sekolah bagi anak-anak putus sekolah yaitu: (1) tempat mendapatkan banyak teman, (2) menyenangkan orang tua, (3) memperoleh ijazah dan (4) tempat untuk belajar. Dari keempat tema ini kita para pendidik mungkin terkejut karena berbeda dengan pandangan umum selama ini yang mungkin menganggap sekolah hanya sebagai tempat belajar mengajar atau paling jauh untuk memperoleh ijazah. Ternyata bagi anak-anak terdapat makna yang jauh lebih dominan, yaitu tempat mereka mendapatkan banyak teman serta untuk menyenangkan orang tua.

Berdasarkan temuan tersebut alangkah baiknya penanganan anak-anak putus sekolah tidak hanya berorientasi pada pandangan kita sebagai pendidik atau pandangan diri para penentu kebijakan. Perspektif anak-anak putus sekolah itu sendiri sebaiknya mendapatkan perhatian untuk menghasilkan program atau kebijakan yang lebih efektif. Penelitian-penelitian lebih lanjut, baik kuantitatif, kualitatif ataupun pengembangan juga akan lebih memperkaya informasi yang dibutuhkan untuk keberhasilan program pengentasan serta pencegahan anak putus sekolah.

Referensi:

Habibi. Setiawan, Caly. (Mei, 2017). The Meaning of School from Dropout’s View Point (A Phenomenological Study). Makalah disajikan dalam International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI), di Universitas Negeri Yogyakarta.

Wednesday, 10 May 2017

Teori Kebutuhan Abraham Maslow

Abraham Maslow sering dianggap sebagai bapak psikologi humanis, dan teorinya menjadi salah satu landasan bagi gerakan pendidikan humanis. Yang sangat populer adalah teori kebutuhan maslow. Pada teori ini maslow melakukan penelitian besar dan mengkonstruksi hirarki atau tingkatan kebutuhan manusia secara umum. Teori kebutuhan maslow menjadi salah satu teori yang banyak digunakan untuk menganalisis bagaimana permasalahan pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara utuh.

Maslow membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi dua kelompok utama yaitu kebutuhan perkembangan (growth needs) dan kebutuhan defisiensi (deficiency needs). Apabila Kebutuhan-kebutuhan yang tergolong dalam kebutuhan defisiensi tidak terpenuhi maka akan memberi manusia energi untuk memenuhinya. Dimulai dari kebutuhan paling dasar (kebutuhan fisik) hingga kebutuhan lain di tingkatan atasnya. Jika kebutuhan bawah belum terpenuhi maka menurut maslow manusia tidak akan beranjak untuk memenuhi kebutuhan di atasnya.

Kelompok kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan perkembangan (growth needs). Kebutuhan untuk mengaktualisasi potensi diri secara utuh (karena itu disebut juga kebutuhan aktualisasi diri). Berbeda dengan kebutuhan defisiensi yang memiliki batas pemenuhan (jika batas tersebut telah dipenuhi maka energi untuk memenuhinya berkurang dan kita akan beralih ke level di atasnya), kebutuhan perkembangan tidak memiliki batas sepanjang hidup manusia.

Salah satu kritikan atas teori maslow adalah mengenai perpindahan dari kebutuhan defisiensi ke kebutuhan perkembangan. Menurut maslow manusia baru akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan perkembangan jika kebutuhan defiensinya telah terpenuhi. Namun banyak fakta yang menunjukkan adanya manusia-manusia yang telah mencapai aktivitas pemenuhan kebutuhan perkembangan walaupun kebutuhan defiensinya belum terpenuhi. Misalnya, banyak orang-orang miskin yang mencintai ilmu pengetahuan atau mencari jati diri melalui jalan spiritual.

Penerapan teori kebutuhan maslow dalam bidang pendidikan misalnya adalah dengan memperhatikan bagaimana pemenuhan kebutuhan para siswa secara utuh. Guru atau sekolah tidak hanya memperhatikan pelajar sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Bagaimana kondsi fisik kelas, fisik siswa, pertemanan di antara mereka, penghargaan yang tulus dari guru, merupakan faktor-faktor yang juga mendukung hasil belajar siswa.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Habibi dan Setiawan (2017) terdapat temuan bahwa makna sekolah bagi anak-anak ternyata lebih dominan sebagai tempat untuk mencari teman dan menyenangkan orang tua mereka, dari pada sebagai tempat belajar. Dari kenyataan ini seharusnya guru dan sekolah juga memperhatikan bagaimana kebutuhan-kebutuhan non akademis juga dapat didukung. Misalnya adalah dengan memberikan suatu kondisi pertemanan yang menyenangkan baik untuk bergaul maupun belajar. Juga saling mengintimidasi antar siswa harus dapat dicegah.

Referensi:
Eggen, Paul. Kauchak, Don. (2010). Educational Psychology: Windows on Classroom. Edisi 8. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Habibi. Setiawan, Caly. (Mei, 2017). The Meaning of School from Dropout’s View Point (A Phenomenological Study). Makalah disajikan dalam International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI), di Universitas negeri Yogyakarta.

Saturday, 6 May 2017

Validitas Asesmen

Satu aspek yang sangat menentukan kualitas dari asesmen yang digunakan oleh guru adalah validitasnya. Validitas dapat diartikan sebagai ketepatan asesmen untuk menilai kemampuan siswa. Atau dengan kata lain, apakah asesmen tersebut benar-benar menilai kemampuan yang memang hendak dinilai? Sebagai contoh, guru hendak menilai kemampuan siswa dalam memahami konsep dasar fotosintesis. Asesmen dikatakan tidak valid jika ternyata yang dinilai bukan pemahaman siswa melainkan daya hafal mereka akan fotosintesis atau lebih jauh mengenali berbagai organ yang terlibat dalam proses fotosintesis.


Validitas asesmen bersifat abstrak, artinya tidak terlihat secara langsung pada instrumen yang digunakan oleh guru untuk menilai. Untuk mengetahui apakah suatu asesmen valid atau tidak, kita membutuhkan bukti-bukti yang mengindikasikan validitas asesmen tersebut. Tiga katagori validitas yang dapat kita cari bukti-buktinya meliputi validitas konstruk, validitas isi dan validitas kriteria.

Validitas konstruk berkaitan dengan bukti-bukti apakah kemampuan siswa yang dinilai memang merepresentasikan indikator-indikator kemampuan atau konstruksi psikologis yang diharapkan oleh guru. Validitas isi menunjukkan seberapa baik konten dari pertanyaan, tugas, oservasi dan elemen lain dari asesmen berkaitan dengan kemampuan siswa yang hendak dinilai. Validitas kriteria mengindikasikan seberapa baik kemampuan siswa pada asesmen yang dilakukan berkorelasi dengan kemampuan mereka yang diukur berdasarkan kriteria eksternal tertentu, misalnya pemahaman guru akan kemampuan siswa sebelumnya.

Ketiga katagori validitas tersebut membutuhkan prosedur yang berbeda untuk mengumpulkan bukti-buktinya. Meskipun berbeda, namun ketiga katagori validitas tersebut berkaitan, sehingga asesmen yang berkualitas seharusnya memiliki validitas pada ketiga-tiganya.

Referensi:

Oosterhof, A. (2003). Developing and Using Classroom Assessmen. Edisi 3. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Wednesday, 3 May 2017

Laut dan Pesisir dalam Tinjauan Fisika

Ini merupakan judul buku yang membahas bagaimana jika laut dan pesisir dikaji dari sudut pandang fisika. Beberapa buku yang pernah anda baca mengenai laut dan pesisir mungkin lebih cenderung membahasnya dari sudut pandang ekologi (lingkungan) dan biologinya. Buku ini berbeda karena kajian fisika di dalamnya mengarahkan kita untuk memahami proses-proses fisik yang terjadi di laut dan pesisir secara lebih ilmiah.


Jangan bayangkan bahwa buku ini berisi rumus-rumus fisika yang rumit dan membuat pusing kepala. Tidak! Buku ini ditulis agar dapat dibaca oleh banyak pihak, bahkan termasuk mereka yang mungkin sangat sedikit kenal dengan fisika (misalnya hanya di bangku sekolah, itu pun dengan nilai fisika yang tidak meyakinkan hehe). Namun informasi-informasi yang disajikan cukup membuat kita mengerti bagaimana proses fisika yang berlangsung di laut serta pesisir, Misalnya tentang mengapa air laut itu asin, mengapa muncul ombak, dan bagaimana manusia memanfaatkan air laut. 

Buku laut dan pesisir dalam tinjauan fisika ini ditulis oleh tiga orang dosen. Yang pertama adalah Habibi yang merupakan dosen Universitas Wiraraja Sumenep. Lingkungan pesisir di Sumenep menginspirasinya untuk menulis buku ini. Yang kedua adalah Panji Hidayat dosen Universitas Ahmad Dahlan. Dan yang ketiga adalah Jumadi, guru besar pendidikan fisika di Universitas Negeri Yogyakarta. 

Buku ini sangat ringan (yaitu dengan jumlah halaman 150 halaman) membuatnya cukup enak dibaca, walaupun informasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Cocok bagi para siswa, mahasiswa di jurusan-jurusan IPA atau pendidikan IPA yang ingin menambah wawasan dan referensi.

Bagi yang berminat untuk membeli buku ini dapat melakukan pemesanan melalui sms atau whatsapp dengan nomor 08175063842.


Referensi:
Habibi. Hidayat, P. Jumadi. 2016. Laut dan Pesisir dalam Tinjauan Fisika. Yogyakarta: Bening Pustaka

Model Pembelajaran MOTORIC

Berbagai model pembelajaran untuk mengajarkan IPA telah dikembangkan. Dalam penggunaannya, kita harus mempertimbangkan tujuan, keunggulan serta keterbatasan yang dimiliki oleh suatu model. Penggunaan model pembelajaran secara sembarangan hanya akan berakhir dengan pembelajaran yang buruk. 

Model Pembelajaran Harus Disesuaikan dengan Tujuan dan Kondisi

Dalam artikel ini akan diulas mengenai satu model pembelajaran yang bernama model MOTORIC. Tujuan utama model ini adalah mengintegrasikan pendidikan lingkungan ke dalam pembelajaran IPA. Jadi, pembelajaran IPA tidak hanya akan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tetapi yang utama adalah kesadaran lingkungan bahwa kita sebagai manusia benar-benar membutuhkan alam untuk hidup, serta berbagai macam permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini dan bagaimana sebaiknya sikap dan langkah kita mengatasinya. 

Pendidikan lingkungan dapat diajarkan secara monolitik, artinya terdapat mata pelajaran khusus untuk mengajarkannya. Yang kedua adalah secara integratif, artinya pendidikan lingkungan diajarkan melalui mata pelajaran lain. Dalam model pembelajaran MOTORIC yang dilakukan oleh Sukarjita, dkk. (2014) pendidikan lingkungan diajarkan melalui mata pelajaran IPA SMP.

Model ini menggabungkan tiga pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan kontekstual, pendekatan karakter dan pendekatan multimedia. terdapat tujuh komponen pembelajaran dalam model ini sesuai dengan namanya. Ketujuh komponen tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Motivation, merupakan komponen apersepsi yang bertujuan untuk memotivasi siswa mengikuti pelajaran. Caranya dapat dilakukan dengan memberikan pernyataan atau pertanyaan yang dapat memprovokasi daya tarik siswa.
  2. Observation, siswa melakukan pengamatan baik secara langsung atau pun tidak langsung terkait dengan materi yang akan didiskusikan. Untuk pengamatan langsung siswa dapat melakukannya di luar kelas. Sedangkan pada pengamatan tak langsung dapat dilakukan melalui multimedia yang telah dipersiapkan oleh guru.
  3. Talking, kelompok-kelompok siswa melakukan diskusi terkait dengan pengamatan yang telah dilakukan. Guru menjadi fasilitator untuk membantu kelompok melakukan diskusi.
  4. Orientation, guru mengarahkan agar diskusi yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan materi pelajaran saat itu. Peran guru dalam tahapan ini cukup dominan.
  5. Reinforcement, Penguatan dilakukan oleh guru melalui pengetahuan dan sikap-sikap berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dapat dilakukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
  6. Implementation, Implementasi dari pengetahuan dan sikap-sikap terhadap lingkungan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahapan implementasi ini guru telah menyiapkan suatu Panduan implementasi sikap (attitude implementation guide) untuk membantu siswa. Implementasi dapat dimulai dari sekup kecil seperti ruang kelas, sekolah atau lapangan.
  7. Confirmation, di akhir aktivitas guru mengingatkan siswa untuk selalu melakukan upaya-upaya positif dalam rangka menjaga lingkungan.
Model pembelajaran ini sangat baik dalam mengajarkan pendidikan lingkungan karena secara kontekstual siswa dilatih untuk menjaga lingkungan sesuai dengan materi IPA yang telah mereka pelajari. Namun dari tahapan yang dijelaskan di atas nampak bahwa model ini cukup time consuming. Untuk lebih jelas mengenai model pembelajaran MOTORIC ini dipersilahkan untuk mencari dan membaca referensi seperti yang tertera di bagian bawah artikel.

Referensi:
Sukarjita, I. W., Ardi, M., Rachman, A., Supu, A., & Dirawan, G. D. (2014). The Integration of Environmental Education in Science Materials by Using MOTORIC Learning Model. International Education Studies8(1), 152.

Friday, 14 April 2017

Anak Putus Sekolah

Permasalahan anak putus sekolah tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. UNESCO mencatat bahwa sepanjang tahun  2013 terdapat 124,1 juta anak putus sekolah di dunia, baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama.  Putus sekolah yang parah terjadi di kawasan perang, seperti Siria yang pada tahun 2000 tercatat sebagai negara dengan level universal untuk sekolah dasar (artinya di atas 85% anak pada usia sekolah dasar telah bersekolah), namun sejak terjadinya perang maka pada tahun 2012 terdapat 0,3 anak sekolah dasar putus sekolah dan di akhir 2013 meningkat menjadi 1,8 juta.

Angka putus sekolah di Indonesia menurut data survey UNICEF masih cukup besar. Berdasarkan data survey tahun 2011 adalah 3,79 juta anak. Untuk kawasan asia tenggara angka putus sekolah ini adalah yang terbesar (hal ini berkorelasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan). 

Penyebab utama problem putus sekolah di Indonesia adalah ekonomi. Walaupun sekolah dasar dan menengah pertama di Indonesia telah gratis, namun orang tua masih harus mengeluarkan biaya seperti uang transport, seragam, kebutuhan baca tulis dan uang saku untuk anak. Apalagi pada pada usia-usia tersebut seringkali anak-anak telah membantu orang tua untuk bekerja. Jika mereka sekolah maka yang seharusnya memberi tambahan penghasilan untuk keluarga tapi justru menambah pengeluaran.

Hasil gambar untuk jalan ke sekolah sulit
(Sumber gambar: citizen6.liputan6.com)

Selain faktor ekonomi, beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab putus sekolah adalah kondisi geografi dan sosial budaya. Banyak kawasan di Indonesia yang masih sangat miskin prasarana sehingga anak-anak mengalami kesulitan untuk menjangkau sekolah. Untuk itu mengukur kesuksesan pendidikan di daerah yang telah maju (di kota-kota besar atau daerah dengan sarana yang bagus) tidaklah pantas jika disamakan dengan daerah yang akses pendidikannya masih sangat minim.


Referensi:

Utomo, Ariane, Dkk. 2014. What Happen after You Drop Out? Transition to Adulthood among Early School-leavers in Urban Indonesia. dalam Demographic Reasearch Vol. 30. Article 41. Page 1189-1218.

UIS. 2015. A Growing Number of Children and Adolescents Are Out of School as Ais Fails to Meet The Mark

UNICEF & UIS. 2011. Global Initiative on Out of School Children

Friday, 10 March 2017

Belajar dari Pendidikan Finlandia

Siapa praktisi pendidikan saat ini yang tidak mengenal Finlandia? Sebuah negara kecil pecahan Uni Soviet yang mencuri perhatian seluruh dunia, termasuk negara-negara besar dengan segudang teori pendidikan. Di awal tahun 2000 negeri ini menjadi contoh bagaimana kualitas pendidikan dapat dibangun secara sistemik melalui keseriusan dan kolektivitas seluruh elemen negara. Bukan hanya departemen pendidikan.

Pembangunan bukan sebuah proses instan yang dapat diwujudkan hanya dalam lima atau sepuluh tahun. Seorang presiden dalam periode kepemimpinannya masih sulit untuk membuat keajaiban pendidikan. Karena itu salah satu yang dapat kita pelajari dari kesuksesan Finlandia adalah keuletan dan komitmen utuh mereka untuk terus menjalankan program perbaikan sekolah di negeri tersebut selama 30 tahun.

(Sumber: https://www.goodfreephotos.com/albums/people/some-students-standing-on-as-street-corner.jpg)

Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Finlandia dapat menjadi model sistem pendidikan unggul antara lain:
  • Gap (kesenjangan) antara sekolah unggul dengan sekolah tidak unggul kecil, demikian pula gap antara siswa berkemampuan tinggi dan kemampuan bawah. Pemerataan kemampuan sekolah ataupun siswa dapat benar-benar merata.
  • Profesi guru merupakan profesi nomor satu yang menjadi tujuan generasi muda Finlandia karena penghargaan yang tinggi untuk profesi ini. Jurusan PGSD juga menjadi jurusan yang paling sulit untuk dimasuki. Hal ini menjadi sebuah sistem seleksi alami untuk memperoleh guru-guru perkualitas.
  • Para guru Finlandia rata-rata adalah para master (jenjang S2) yang telah terbiasa melakukan penelitian  dan benar-benar menguasai bidangnya.
  • Nilai pencapaian Finlandia pada asesmen internasional seperti PISA, TIMMS atau PIRLS selalu berada di level-level teratas dunia.
  • Perkembangan ekonomi kreatif Finlandia juga maju seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan mereka.
Kualitas pendidikan diwujudkan melalui proses panjang dan serius. Juga dibutuhkan komitmen seluruh elemen bangsa. Telah banyak negara lain yang melakukan studi banding ke Finlandia untuk mempelajari bagaimana mereka melakukan revolusi pendidikan. Dalam tulisan ini akan dipaparkan uraian seorang praktisi dan peneliti asal Finlandia, Pasi Sahlberg, mengenai faktor utama keberhasilan pendidikan di Findia. tiga faktor utama kesuksesan tersebut menurutnya adalah:
  1. Visi yang benar-benar kuat mengenai bagaimana seharusnya pendidikan berkualitas. Visi mengenai pembangunan pendidikan ini bukan hanya milik departemen pendidikan melainkan sebuah mimpi bersama seluruh bangsa yang terus akan diwujudkan, tidak peduli siapapun pemimpin yang sedang berkuasa. Visi ini berada di atas kekuatan politik dan bahkan pengendalikan politik.
  2. Cara belajar dan menerima masukan dari luar. Berbagai teori dan hasil-hasil penelitian mengenai pendidikan juga dipelajari dan diterapkan oleh Finlandia, namun dalam porsi yang tidak menghilangkan karakter utama pendidikan mereka. Secara sadar mereka melakukan seleksi tentang bagaimana masukan dari luar yang baik untuk diterapkan.
  3. Memberi penghargaan bagi setiap guru dan pemimpin sekolah. Pengahargaan ini tidak hanyaberupa penghargaan finansial ataupun prestis melainkan juga ruang kreativititas yang luas bagi setiap guru dan pemimpin sekolah untuk membangun kurikulum di sekolah mereka. Negara memberi mereka kepercayaan untuk melakukan hal tersebut. Seleksi untuk menjadi guru adalah seleksi kerja yang paling ketat sehingga benar-benar guru menjadi figur yang layak untuk memperoleh kepercayaan mendidik dan berkreasi di sekolah mereka.

Referensi:
Sahlberg, Pasi. (2014). Finnish Lessons; Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia. Penerjemah: Ahmad Muchlish. Bandung: Kaifa Learning