Friday, 16 December 2016

Inkulturasi dalam Pembelajaran IPA

IPA adalah bidang ilmu yang mengkaji alam secara sistematis melalui metode-metode ilmiah, bertujuan memberikan pemahaman kepada manusia mengenai bagaimana alam eksis dan bekerja (termasuk dirinya sendiri sebagai bagian dari alam). Melalui pemahaman tersebut manusia dapat melakukan prediksi dan manipulasi sehingga bermanfaat bagi kehidupan mereka. Mengajarkan IPA di sekolah berkaitan erat dengan bagaimana cara kerja dan cara berpikir para saintis. Tanpa hal tersebut, maka yang didapatkan siswa bukan IPA secara utuh sebagai ilmu melainkan hanya pengetahuan saja.

IPA dan juga ilmu-ilmu yang lain selama ini dianggap sebagai sesuatu yang dapat dipelajari dimanapun dengan cara yang sama dan menghasilkan cara berpikir, bersikap dan dampak yang juga sama dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidaklah demikian, berdasarkan kajian para ahli, IPA merupakan produk kultur (budaya) masyarakat tertentu sehingga memiliki karakter atau nilai-nilai budaya tersebut. Dengan demikian jika diajarkan secara langsung tanpa proses penyesuaian maka akan memunculkan dampak-dampak negatif.

Cobern dan Aikenhead (1997) menjelaskan bahwa IPA dalam perjalanan sejarahnya sangat dominan Barat sehingga dapat dianggap sebagai subkultur dari kultur barat. Kita di kawasan dunia timur memiliki kultur yang berbeda. Jika IPA diajarkan secara langsung tanpa adaptasi dengan kultur masyarakat setempat akan terjadi proses asimilasi yaitu pebentukan kultur baru pada diri siswa. Secara sederhana pikiran dan sikap mereka menjadi cenderung terbaratkan dan kurang menghargai kultur mereka sendiri. Selain itu siswa juga akan lebih mengenal fenomena alam negara-negara barat daripada fenomena alam sendiri. Sebagai contoh, sering kita melihat bagaimana buku teks dalam IPA menyajikan contoh-contoh ekosistem atau keanekaragaman makhluk hidup yang dihasilkan dari penelitian di Eropa sehingga siswa mengenal betul bagaimana hidup dari beruang kutub, ikan salmon atau pinguin. Tapi mereka tidak mengenali bagaimana kehidupan mahkluk-makhluk hidup di daerahnya sendiri.

Belajar IPA dengan cara seperti itu tentu tidak akan menghasilkan perkembangan bagi masyarakat dan lingkungan dimana siswa berada. Siswa akan terasingkan dari masyarakatnya sendiri. Itulah tampaknya yang menjadi salah satu penyebab mengapa ilmu pengetahuan kurang dapat mendongkrak kualitas hidup bermasyarakat kita.

Cobern dan Aikenhead (1997) menyarankan agar pembelajaran IPA seharusnya diberikan melalui penyesuaian dengan kultur masyarakat dimana siswa berada. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan baik melalui penyesuaian materi, membandingkan konsep asal dengan konteks kultur siswa, memberi peluang kepada siswa untuk memikirkan atau menghaji fenomena alam dari perspektif yang berbeda, mengikutsertakan nilai-nilai kultural yang dimiliki siswa ke dalam pembelajaran dan lain sebagainya. Proses seperti ini disebut dengan proses inkulturasi, dimana kultur asal dari IPA tidak akan menghilangkan kultur yang dimiliki oleh para siswa, tetapi terjadi proses penyesuaian. 


Hal ini masih jarang dilakukan oleh guru-guru ataupun para pengembang pendidikan IPA di negara kita. Karena itu menjadi tantangan bagi para praktisi pendidikan IPA untuk melakukannya.  


Referensi:
Cobern, W.W., Aikenhead, G., & Cobern, B. (1997). Cultural Aspects of Learning Science. In Scientific Literacy and Cultural Studies Project. Paper 13.

Tuesday, 11 October 2016

Metakognisi

Kesadaran kita untuk tahu bahwa kita belum benar-benar memahami dan menguasai suatu materi akan mempengaruhi bagaimana perilaku belajar. Hal tersebut berbeda dengan mereka yang tidak menyadari akan kemampuan atau kelemahannya. Kemampuan seperti ini disebut dengan metakognisi. Secara sederhana dapat dideskripsikan sebagai pengetahuan akan pengetahuan yang kita miliki sendiri. Atau lebih jelasnya adalah kemampuan untuk mengetahui dan mengontrol upaya atau proses kognitif yang kita alami.

Sebagai contoh proses metakognisi, seorang siswa yang mendengarkan penjelasan dari ahli yang diwawancarainya mencatat secara cepat semua penjelasan sang ahli. Hal tersebut dilakukan karena ia sadar bahwa tanpa catatan tersebut maka semua wawancara itu akan banyak terlupakan. Contoh lain adalah siswa yang mendengarkan penjelasan guru tanpa mencatat, padahal teman-temannya mencatat. Ternyata itu dilakukannya karena kesadarannya bahwa ia tidak mampu memahami sambil mencatat. Akibatnya ia memilih mendengarkan saja, untuk kemudian setelah pelajaran selesai ia meminjam buku catatan dari temannya.

Banyak temuan penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan metakognitif yang tinggi ternyata cenderung memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang kemampuan metakognitifnya rendah. 


Eggen dan Kauchak (2010) menjelaskan bahwa ada empat alasan ilmiah mengapa metakognisi dapat mempengaruhi keberhasilan belajar.
  1. Anak-anak yang menyadari pentingnya perhatian (atensi) dalam belajar akan menyeting lingkungan belajarnya agar lebih efektif.
  2. Anak-anak yang menyadari bahwa ada kemungkinan untuk terjadinya miskonsepsi akan melakukan tanya jawab dengan orang-orang yang lebih paham untuk mengecek pemahamannya.
  3. Metakognisi membantu untuk mengatur laju informasi yang memasuki memori kerja.
  4. Metakognisi dapat meningkatkan kebermaknaan belajar. Biasanya anak-anak yang kemampuan metakognitifnya tinggi akan selalu mencari keterkaitan antara yang dipelajarinya dengan pelajaran lain dan juga kehidupan sehari-harinya. Seperti untuk apa saya belajar ini?
Metakognisi menjadi salah satu aspek penting dalam keberhasilan belajar. Guru dapat melakukan berbagai tindakan dan strategi untuk memunculkan dan meningkatkan kemampuan metakognitif siswa. namun sayangnya masih banyak guru yang belum menyadari dan melakukannya.


Referensi:
Eggen, Paul. Kauchak, Don. 2010. Educational Psychology, Windows on Classroom. Edisi ke-8, Upper Saddle River: Merrill

Monday, 3 October 2016

"Mozart Effect" dan Peningkatan Intelegensi Anak

Musik atau suara dengan irama yang teratur dan menenangkan diyakini banyak orang dapat meningkatkan konsentrasi belajar. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan intelegensi anak. Dalam psikologi fenomena ini dikenal dengan istilah mozart effect. Istilah tersebut berkaitan dengan penelitian pertama terkait pengaruh musik (dalam penelitian tersebut digunakan musik Mozart) terhadap intelegensi anak.


Publikasi hasil penelitian pertama terkait mozart effect adalah di majalah Nature pada tahun 1993. Gordon Shaw, Frances Rauscher dan Katherine Ky, melakukan eksperimen pada tiga kelompok mahasiswa di University of California at Irvine. Sebelumnya ketiga kelompok tersebut diberi pretest untuk menguji IQ spasial. Setelah itu ketiganya diberi perlakuan berbeda, kelompok pertama diperdengarkan musik Mozart (Sonata in D major for Two Pianos, K488), kelompok kedua diperdengarkan musik relaksasi dan kelompok ketiga diberi perlakuan 10 menit hening. Setelah itu ketiga kelas tersebut diuji kembali. hasilnya ternyata menunjukkan bahwa rata-rata IQ mahasiswa kelas dengan perlakuan musik Mozart mengalami peningkatan dibandingkan kedua kelas yang lain. Peningkatan tersebut hanya terjadi selama 10-15 menit sesudahnya.

Penelitian tersebut membuat banyak muncul penelitian-penelitian lain yang serupa untuk membuktikan bagaimana kebenaran efek musik Mozart terhadap IQ. Hasilnya beberapa mendukung mozart effect namun beberapa penelitian lain tidak berpengaruh. Hal tersebut membuat semakin banyak yang tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa dengan alat yang berbeda (misalnya menggunakan EEG) dan musik yang berbeda (walaupun sifatnya serupa dengan mozart).

Penelitian paling akhir yang dilakukan oleh Kenneth Steele dari Appalachian State University pada tahun 1999. Hasilnya ternyata menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara musik mozart dengan perlakuan lainnya. Walaupun demikian masih banyak pihak yang tetap tertarik dan bahkan meyakini beradaan efek tersebut. Terutama pihak-pihak komersil yang secara sepihak memanfaatkan hasil peneletian awal yang menunjukkan adanya mozart effect tersebut.

Efek musik atau suara-suara tertentu terhadap konsentrasi atau peluang belajar seseorang, pada situasi tertentu, sebenarnya merupakan suatu fenomena yang dapat diterima secara umum. Namun apakah musik (terutama dalam hal ini musik mozart) atau suara-suara yang sejenis dapat meningkatkan intelegensi, adalah suatu hal besar yang membutuhkan pembuktian yang luas. 

Pada akhirnya, hasil-hasil penelitian selalu memberi peluang besar bagi penelitian-penelitian selanjutnya untuk mencari dan menemukan fenomena dan teori baru. Atau bahkan merombak hasil penemuan sebelumnya.


Referensi:
http://lrs.ed.uiuc.edu/students/lerch1/edpsy/mozart_effect.html

Thursday, 29 September 2016

Perbedaan Asesmen, Tes dan Evaluasi

Pada artikel sebelumnya mengenai asesmen formatif dan sumatif kita sempat menyebutkan istilah tes dan evaluasi selain asesmen itu sendiri. Ketiga istilah ini sering kali dicampur aduk dan disamakan. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, ketiganya memiliki arti yang berbeda sehingga pelaksanaannya pun berbeda. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai perbedaan ketiganya.

Asesmen adalah proses (berbagai prosedur) untuk memperoleh informasi mengenai kondisi atau hasil belajar belajar siswa. Hasil dari asesmen adalah nilai dan deskripsi mengenai hasil belajar siswa hingga suatu tahap tertentu. Untuk melakukan asesmen kita membutuhkan tes yaitu instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur perilaku/keterampilan/kognisi (sebagai sampel dari hasil belajar) dengan memberikan beberapa pertanyaan. Hasil dari tes adalah angka-angka mentah (skor) yang nantinya akan dikonversi menjadi nilai.

Asesmen dapat dilakukan dengan menggunakan tes, namun ada kalanya juga menggunakan prosedur atau instrumen non tes seperti observasi, wawancara atau lembar cheklist. Apakah menggunakan tes atau non tes, bergantung pada aspek apa yang akan diukur dan dinilai. Hal ini berkaitan dengan tujuan pembelajaran serta strategi yang digunakan.

Hasil dari asesmen pada akhirnya akan menjadi dasar dari suatu proses evaluasi yaitu suatu pengambilan keputusan mengenai ketercapaian tujuan-tujuan dari suatu program pembelajaran. Hasil dari evaluasi adalah keputusan apakah tujuan program sudah tercapai atau belum, dan juga rekomendasi terkait dengan kelanjutan program ke depan. Apakah program layak untuk dilanjutkan, diperbaiki atau bahkan dihentikan dengan berbagai pertimbangan yang jelas. 

Posisi tes, asesmen dan evaluasi berdasar keluasan hasilnya

Asesmen, tes dan evalusi memang memiliki keterkaitan dalam proses pelaksanaannya.  Namun ketiganya bukanlah hal yang sama. 


Referensi:
Miller, M. David., Linn, Robert L., Gronlund, Norman E. (2009) Measurement and Assessment in Teaching. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Tuesday, 27 September 2016

Mengajarkan Life Skill menurut UNICEF

Sebagai seorang pendidik atau yang sedang belajar untuk menjadi seorang guru tentu anda sudah sering mendengar istilah life skill. Arti sederhananya adalah keterampilan untuk hidup, atau keterampilan yang biasanya dibutuhkan dalam hidup sehari-hari. Life skill menjadi populer akhir-akhir ini karena tuntutan masyarakat akan lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang justru kurang dapat beradaptasi dengan kehidupan di masyarakat sehari-hari. Padahal tujuan sekolah adalah menyiapkan mereka untuk hidup dan berperan di masyarakat.

Sekolah harus menyiapkan siswa untuk dapat hidup dan berperan di masyarakat

UNICEF sebagai lembaga PBB yang berperan dalam pendidikan anak mendefinisikan life skill sebagai berikut,

"Life skills" are defined as psychosocial abilities for adaptive and positive behaviour that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life. They are loosely grouped into three  broad categories of skills: cognitive skills for analyzing and using information, personal skills for developing personal agency and managing oneself, and inter-personal skills for communicating and interacting effectively with others.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa life skill merupakan kemampuan psikososial dan perilaku positif yang membuat seseorang dapat menghadapi secara efektif kebutuhan dan tantangan hidup sehari-hari. Lebih lanjut UNICEF menguraikan life skill  menjadi tiga elemen yaitu:
  1. Keterampilan kognitif untuk menganalisis dan menggunakan informasi
  2. Keterampilan personal dalam rangka pengelolaan diri
  3. Keterampilan interpersonal untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
Keterampilan-keterampilan itulah yang harus diajarkan dalam dunia pendidikan untuk menumbuhkan life skill siswa. Lebih lanjut dijelaskan bahwasannya dalam pendidikan yang mengajarkan life skill sekolah dan pendidik tidak hanya berfokus pada proses belajar yang menghasilkan pengetahuan saja, melainkan terutama keterampilan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam perilaku sehari-hari. Pada akhirnya akan terbentuk individu yang tidak hanya terampil secara personal tetapi juga mampu hidup dengan baik secara kolektif di tengah masyarakat.


Referensi:
http://www.unicef.org/lifeskills/index_7308.html

Saturday, 24 September 2016

Berpikir Kritis

Saat ini banyak kita temui konflik antara beberapa orang atau kelompok orang disebabkan oleh sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya. Apalagi jika informasi tersebut menyangkut perbedaan agama, politik, kepentingan ekonomi atau adat budaya. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk berpikir kritis, sehingga kita tidak mudah terprovokasi dan melakukan tindakan-tindakan tidak perlu disebabkan oleh sebuah informasi yang belum benar-benar jelas.

Dalam bidang kehidupan yang lain kita juga sering dihadapkan pada masalah yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Jika anda seorang pedagang atau petani, maka barang apa yang hendak anda beli atau tanaman apa yang cocok untuk musim ke depan tentu membutuhkan kemampuan berpikir secara kritis. Jika tidak, tentu kerugian finansial atau gagal panen yang akan diperoleh.

Seseorang yang berkecimpung di dunia akademik juga tidak bisa tidak, membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Baik sebagai siswa ataupun guru, sama-sama membutuhkan kemampuan tersebut.


Apakah berpikir kritis itu? Mungkin banyak definisi yang disajikan oleh para ahli di buku-buku yang berbeda. Dalam artikel ini berpikir kritis diartikan sebagai suatu proses berpikir secara efektif untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen atau klaim tertentu sehingga menghasilkan kesimpulan untuk mendukung keputusan yang rasional dan tepat, terkait dengan keyakinan dan apa yang akan dilakukan (Bassham, dkk., 2011).

Beberapa standar dari berpikir kritis menurut Bassham, dkk. (2011) adalah jelas, teliti, tepat, relevan, konsistens, logis, lengkap dan jujur.

Ahli yang lain lebih menekankan berpikir kritis sebagai sebuah proses. Fisher (dalam McGregor, 2007) menyebutkan beberapa tahapan dari proses berpikir kritis sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi unsur-unsur dari sebuah kasus, argumen atau klaim.
  2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi-asumsi.
  3. Memperjelas dan menginterpretasi ide-ide atau ekspresi.
  4. Menetapkan akseptabilitas dan kredibitas dari klaim.
  5. Mengevalusi argumen dari sumber yang lain.
  6. Menganalisis, mengevaluasi dan mengambil keputusan.
  7. Menggambarkan inferensi.
  8. Membuat argumen.
Dalam pembelajaran, Fisher menggunakan strategi diskusi untuk mengambangkan kemampuan berpikir kritis pada diri siswa. Permasalahan disajikan dengan jelas dan memiliki beberapa sudut pandang sehingga siswa dapat melakukan analisis dan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Guru sesekali memberi arahan terutama dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang membuat siswa berpikir lebih jauh.

Pembelajaran untuk bidang sains dan matematika tentu saja memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Walaupun begitu, secara esensial tidak akan mengubah dasar-dasar seperti yang disebutkan di atas.


Referensi:
  1. Bassham, Gregory. Irwin, William. Nardone, Henry. Wallace, James M. (2011) Critical Thinking, a Student's Introduction. Edisi Keempat. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
  2. McGregor, Debra. (2007) Developing Thinking, Developing Learning. New York: Open University Press.

Friday, 23 September 2016

Tiga Pendekatan dalam Mengajar

Tugas utama guru adalah membuat siswa belajar dan mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Ilmu pendidikan dan keguruan telah demikian berkembang sehingga berbagai teori mengenai bagaimana cara mengajar yang baik telah bermunculan. Masing-masing metode mengajar yang diciptakan tersebut tentu memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Guru harus memiliki pemahaman dan penguasaan akan teori-teori pengajaran yang efektif. Kegagalan suatu metode seringkali bukan karena metode mengajar itu sendiri, melainkan karena kesalahan guru menyesuaikan metode yang dipilih dengan kondisi siswa dan materi pembelajaran. Atau dapat juga karena penguasaan guru terhadap metode tersebut masih belum benar-benar memadai.

Setiap pendekatan dan metode mengajar memiliki keunggulan dan kelemahan

Agar lebih sederhana dan mudah untuk dipahami, sebenarnya dari sekian banyak metode pembelajaran yang telah dikembangkan oleh ahli pendidikan dan pengajaran, Fenstermacher dan Soltis (2004) menggolongkannya menjadi tiga pendekatan. Ketiga pendekatan ini ditinjau dari peran guru dalam pembelajaran.
  1. Guru manajer/eksekutif. Dalam pendekatan ini guru telah merencanakan pembelajaran dengan menggunakan teknik-teknik dan keterampilan mengajar yang terbaik. Guru dituntut untuk menjadi seorang manajer yang dapat mengatur kelas secara efektif sehingga siswa dapat belajar dan mencapai tujuan pembelajaran. Materi dan media pembelajaran juga telah disiapkan dengan baik.
  2. Guru fasilitator. Dalam pendekatan ini guru lebih fokus pada kondisi awal siswa dan melakukan penyesuaian yang terbaik agar mereka dapat belajar. Guru pada pendekatan ini biasanya memiliki sikap empatik dan komunikatif secara personal dengan siswa. Ia dapat membangun rasa saling percaya dengan mereka. Selain itu siswa juga diberi kesempatan untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran.
  3. Guru liberasionis. Pada pendekatan ini seorang guru memiliki kemampuan yang tinggi untuk membuka pikiran siswa sehingga secara bertahap mereka akan menjadi pelajar mandiri. Proses pembelajaran pada pendekatan ini benar-benar diarahkan pada kondisi dan kebutuhan hidup siswa. Belajar diharapkan benar-benar lahir dari kesadaran dan kemerdekaan berpikir mereka.
Kelebihan buku pendekatan pembelajaran yang disajikan oleh Fenstermacher dan Soltis (2004) adalah pada kemauan mereka untuk tidak hanya fanatik pada satu pendekatan saja. Ketiganya memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga ketiganya dapat sama-sama digunakan dengan pengaturan yang baik. Bagi yang tertarik untuk mempelajari bagaimana pelaksanaan dan pemaduan ketiga pendekatan tersebut dalam pembelajaran dipersilahkan untuk membaca buku yang tertera pada referensi di akhir artikel ini.

Perkembangan ilmu di bidang pendidikan tampaknya semakin mengarah pada keterpaduan yang lebih fleksibel. Tujuannya adalah untuk menutupi celah-celah yang pasti dimiliki oleh setiap pendekatan, metode atau model pembelajaran yang ada.


Referensi:
Fenstermacher, Gary D., Soltis, Jonas S. (2004). Approaches to Teaching. Edisi Keempat. New York: Teachers College Press.

Tuesday, 20 September 2016

Asesmen Sumatif dan Formatif

Konsep mengenai asesmen sumatif dan formatif diperkenalkan kira-kira 40 tahun silam oleh Michael Scriven. Saat itu istilah yang ia gunakan adalah evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan pada saat program masih berjalan, sehingga konsekuensinya dapat meningkatkan kualitas program. Sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan di akhir program, yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas program dan kelayakan apakah program dilanjutkan atau tidak.

Konsep formatif dan sumatif tersebut ternyata benar-benar bermanfaat sehingga saat ini sudah sangat dikenal dan digunakan secara luas. Istilah evaluasi yang kecenderungannya dilakukan di akhir proses menjadi lebih digantikan oleh asesmen (Secara lebih jelas perbedaan evaluasi dan asesmen dapat anda baca di artikel lain yang kami posting).

Kemampuan asesmen formatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung membuat asesmen ini mendapatkan banyak perhatian dari para ahli dan praktisi pendidikan. Popham (2009) mendefinisikan asesmen formatif sebagai sebuah proses terencana dimana bukti-bukti mengenai kondisi belajar siswa digunakan oleh guru untuk melakukan penyesuaian pada pembelajaran yang sedang berlangsung atau juga digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan teknik belajar mereka.

Dalam pembelajaran sehari-hari kita mungkin mengenal asesmen formatif dalam bentuk ulangan harian, kuis, atau bahkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Pentingnya nilai-nilai dari ulangan harian, kuis atau tugas-tugas untuk segera diberikan kepada siswa adalah agar nilai-nilai tersebut dapat mengarahkan siswa untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam belajarnya. Sayangnya, masih banyak kita jumpai guru yang tidak menyelesaikan penilaian tepat waktu, bahkan hingga berlarut-larut di akhir semester.

Asesmen formatif dapat dilakukan dalam berbagai bentuk

Kita kini menjadi tahu bahwa fungsi asemen formatif tidak akan terwujud jika guru tidak menyelesaikan penilaian terhadap berbagai bentuk dari asemen yang diberikan dengan tepat waktu. 

Asesmen sumatif dilakukan di akhir program pembelajaran. Penentuan kualitas belajar siswa secara keseluruhan, apakah tujuan pembelajaran telah tercapai dan kelayakan mereka untuk naik ke kelas selanjutnya dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek, terutama nilai ujian akhir. Melalui asemen sumatif ini kita dapat mengetahui bagaimana gambaran kualitas pembelajaran secara utuh.


Buku Rujukan:
Popham, W James. 2009. Instruction That Measures Up. Alexandria: ASCD

Saturday, 17 September 2016

Hakekat Sains dan Pengajarannya

Sains begitu berpengaruh terhadap kehidupan manusia saat ini. Besarnya manfaat sains bagi kehidupan manusia membuatnya menjadi salah satu hal yang wajib diajarkan di sekolah, termasuk di negara kita. Kenyataannya banyak guru yang masih kurang tepat mengajarkan sains sehingga siswa tidak memperoleh manfaat yang semestinya. Untuk mengajarkan sains dengan tepat, kita harus memahami dahulu apa hakekat dari sains.

Banyak ahli yang mencoba mengartikan sains, dengan kalimat yang berbeda namun sebenarnya memiliki satu pemahaman. Salah satunya menurut Chiappetta dan Koballa (2010), sains adalah suatu studi mengenai alam dalam rangka memahaminya dan membangun pengetahuan terorganisir yang memiliki kekuatan prediktif serta dapat diaplikasikan di masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, seorang saintis atau orang yang mendalami sains memiliki tiga kewajiban dasar yaitu memahami, menjelaskan dan mengaplikasikan sains. Mengajarkan sains juga meliputi ketiga aspek tersebut yaitu mengajari siswa untuk mampu memahami konsep dalam sains, mampu menjelaskannya baik secara tertulis maupun oral serta mengaplikasikannya dalam laboratorium maupun kehidupan sehari-hari.

Lebih khusus, berdasarkan pengertian sains tersebut di atas, sains dapat diurai menjadi empat dimensi yang saling melengkapi:
  1. Sains sebagai cara berpikir. Hal utama dalam proses untuk menghasilkan pengetahuan dalam sains adalah sikap dan cara berpikir saintis. Beberapa karakter berpikir saintis antara lain keyakinan, ketertarikan pada fenomena alam, imajinatif, selalu menggunakan akal sehat (logis), skeptif yang sehat, obyektif dan terbuka. Beberapa karakter tersebut menunjukkan bahwa sains juga memiliki aspek sikap (attitude) yang lebih dikenal dengan istilah sikap ilmiah.
  2. Sains sebagai cara menyelidiki. Untuk menghasilkan pengetahuan yang valid secara ilmiah maka seorang saintis harus menguasai beberapa keterampilan seperti melakukan observasi, eksperimen, membuat hipotesis dan menguasai matematika. 
  3. Sains sebagai pengetahuan. Dimensi ini merupakan dimensi yang paling kita kenal dari sains. Berbagai jenis pengetahuan yang kita baca di buku-buku teks atau jurnal yang dapat membuat kita lebih memahami alam adalah produk dari sains. Tingkat kebenaran dan keluasan pengetahuan berbeda satu dengan yang lain. Untuk itu pengetahuan ilmiah terbagi menjadi fakta, konsep, prinsip, hukum, teori dan model.
  4. Sains berinteraksi dengan teknologi dan masyarakat. Selain pengetahuan, produk sains selanjutnya adalah teknologi yang dapat membantu kehidupan masyarakat. Karena itu perkembangan sains sangat berkaitan erat dengan teknologi dan masyarakat.

Keempat dimensi sains tersebut di atas merupakan kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sains tumbuh, berkembang dan mengalami proses selalu dengan melibatkan keempat-empatnya. Karena itu mengajarkan sains hanya pada dimensi pengetahuan, misalnya, hanya akan menghasilkan persepsi dan metode yang salah mengenai sains.


Buku Rujukan:
Chiappetta, Eugene L., Koballa, Thomas R. 2010. Science Instruction in The Middle and Secondary Schools. Edisi Ketujuh. Boston: Allyn and Bacon  

Wednesday, 14 September 2016

Fungsi Asesmen bagi Pembelajaran

Setiap guru pasti mengadakan ulangan atau ujian. Setelah ulangan atau ujian tersebut maka siswa akan memperoleh nilai berdasarkan kemampuan mereka menyelesaikan soal-soal (umumnya). Berdasarkan nilai itulah akan terlihat mana siswa yang belajarnya bagus dan mana yang tidak. Nilai ulangan atau nilai raport dikenal juga dengan nilai prestasi belajar. 


Mungkin masih banyak guru yang hanya menggunakan asesmen untuk menentukan prestasi belajar siswa saja (grading). Padahal jika kita mau mendalami lebih lanjut, asesmen sebagian besar digunakan untuk belajar itu sendiri. Yaitu melalui informasi yang diperoleh setelah asesmen guru dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya atau fungsi-fungsi yang lain. Asesmen sendiri dapat difenisikan sebagai proses untuk memperoleh informasi yang akan digunakan untuk mengambil keputusan mengenai siswa, kurikulum, program, sekolah atau bahkan kebijakan pendidikan.

Brookhart dan Nitko (2008) menjelaskan bahwa terdapat banyak fungsi asesmen. Berikut ini adalah fungsi-fungsi tersebut:
  1. Merancang target pembelajaran. Melalui soal atau kinerja yang disusun dalam asesmen saat merancang pembelajaran, guru dapat menentukan secara spesifik kemampuan seperti apa yang akan menjadi target pembelajaran. 
  2. Memotivasi siswa. Asesmen juga dapat digunakan untuk mendorong dan memotivasi siswa untuk terus belajar. Agar terpenuhi fungsi ini maka asesmen yang dibuat harus benar-benar sesuai level kesulitannya dengan kemampuan siswa (tidak terlalu sulit atau terlalu mudah).
  3. Memberi umpan balik pada siswa. Berdasarkan asesmen yang dilakukan, guru dapat memberikan umpan balik pada siswa tentang bagaimana kesalahan yang harus diperbaiki agar kemampuan belajarnya lebih meningkat lagi. Salah satu jenis asesmen yang berfungsi untuk ini adalah tes diagnostik, untuk lebih jelasnya silahkan baca atau download pada link ini http://metastead.com/3mCs
  4. Memberi umpan balik pada guru. Hasil asesmen juga akan memberikan informasi kepada guru tentang bagaimana kualitas mengajarnya. Jika siswa belum mencapai tujuan pembelajaran, maka guru dapat mengadakan remidi. Sebalinya, jika siswa telah menguasai tujuan pembelajaran di awal maka guru dapat memberikan materi pengayaan.
  5. Memperingkat atau memberi nilai prestasi belajar. Melalui asesmen guru dapat menentukan bagaimana prestasi belajar siswa. Nilai dapat berupa angka (misalnya 1-100) atau huruf (misalnya A-E).
  6. Menyeleksi atau menempatkan siswa. Asesmen seperti ini biasanya diberikan di awal masuk sekolah, untuk menentukan apakan seorang calon siswa diterima atau tidak, atau apakah akan ditempatkan di kelas atas atau bawah (jika sekolah tersebut membagi kelas berdasarkan level kemampuan).
  7. Bimbingan karir siswa. Melalui nilai-nilai mata pelajaran yang diperoleh siswa dapat dibimbing untuk secara rasional mengeksplorasi dan menentukan karir atau jenis pendidikan lanjut yang akan dipilihnya.
Dengan demikian, seorang guru dapat melakukan banyak hal dari informasi yang didapatkannya melalui asesmen. Tentu saja untuk dapat memperoleh fungsi-fungsi asesmen di atas, terdapat keterampilan-keterampilan khusus yang harus dikuasai.


Buku Rujukan:
Brookhart, Susan M. & Nitko, Anthony J. 2008. Assessment and Grading in Classroom. Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall

Thursday, 8 September 2016

Membimbing Siswa Belajar dengan Internet

Teknologi informasi telah demikian berkembang. Tidak hanya orang dewasa, teknologi internet telah merambah kehidupan anak-anak, bahkan anak kecil. Tanpa diminta oleh guru atau orang tua, anak-anak dengan cepat beradaptasi dan belajar menggunakan internet. Oleh karena itu tidak tepat rasanya apabila guru-guru masih berpandangan internet negatif dan harus dihindari dalam pembelajaran. Justru dengan bimbingan guru para siswa bisa memperoleh pengalaman positif dengan internet.


Bagaimana cara guru untuk menjaga agar siswa menggunakan internet dengan aman? Berikut ini adalah cara yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat belajar dengan bantuan internet secara aman.
  1. Guru terlibat ketika menggunakan internet. Misalnya guru membentuk grup facebook belajar dengan para siswa di mata pelajaran tertentu. Komunikasi yang lebih nyantai perlu dibangun agar komunikasi melalui grup tersebut berjalan lancar. 
  2. Cari sumber-sumber belajar di internet yang menyenangkan, baik berupa artikel ataupun video. Rasa bosan menjadi penyebab utama siswa tidak tertarik untuk mengikuti sajian belajar melalui internet oleh guru mereka. Sebenarnya di internet (misalnya YouTobe) banyak pihak yang secara kreatif menyediakan sumber belajar yang menyenangkan bagi anak. Guru harus berusaha untuk menemukan link-link tersebut. Bisa dengan mencari sendiri atau meminta bantuan guru lain yang lebih akrab dengan internet.
  3. Carilah ajang-ajang kompetisi yang dapat diikuti oleh siswa atau bersama guru di situs tertentu. Pengalaman positif seperti itu akan memberi pengalaman positif yang tak terlupakan bagi siswa.
  4. Guru memberi contoh bagaimana berkreasi dengan menggunakan internet. Misalnya dengan membuat blog atau web pembelajaran atau pengetahuan umum yang menarik. Anak-anak biasanya mudah merasa kagum pada guru yang kreatif menggunakan teknologi. Ketika mereka sudah memiliki perasaan seperti itu maka anda akan lebih mudah untuk mengarahkan bagaimana mengguanakn internet secara bijak.
Satu syarat yang harus dimiliki guru agar dapat menerapkan langkah-langkah di atas, yaitu kemampuan yang cukup dapat menggunakan atau berkreasi di ineternet. Kelemahan guru-guru yang sudah senior adalah banyak yang penguasaan internetnya justru jauh tertinggal dibandingkan siswa.


Referensi:
https://elearningindustry.com/the-teacher-guide-to-keeping-students-safe-online

Ilustrasi:
https://pixabay.com

Wednesday, 7 September 2016

Kesiapan Sekolah Menurut UNICEF

Kesuksesan siswa untuk belajar di sekolah salah satunya dipengaruhi oleh kesiapannya untuk belajar di sekolah. Pada dasarnya anak-anak selalu mengalami proses belajar, jauh sebelum mereka memasuki sekolah, bahkan sejak pertama dilahirkan. Namun belajar di sekolah memiliki karakter khusus yang berbeda dengan belajar di rumah. Oleh karena itu kesiapan sekolah (school readiness) sangat mempengaruhi keberhasilan mereka untuk "bersekolah."


Pada tahun 70-an kesiapan sekolah oleh para ahli lebih dipahami sebagai kesiapan diri siswa (baik secara fisik terutama mental) untuk belajar di sekolah. Dalam hal ini yang menjadi fokus dari kesiapan tersebut benar-benar adalah diri siswa saja. Dalam perkembangannya definisi kesiapan sekolah mengalami perkembangan, tidak hanya menyangkut diri siswa. Ada dimensi-dimensi tambahan yang berkaitan dengan kesiapan sekolah.

Menurut Unicef (2012) terdapat tiga dimensi kesiapan sekolah sebagai berikut:
  1. Kesiapan anak, yaitu kesiapan fisik dan mental siswa untuk belajar baik dari aspek kognitif, emosional ataupun sosial.
  2. Kesiapan institusi sekolah, yaitu kesiapan lingkungan sekolah dan berbagai perangkat praktis di dalamnya yang dapat mendukung anak untuk melewati masa transisi dari belajar di rumah ke belajar di sekolah secara bertahap dan halus. Lingkungan sekolah juga harus dapat mendukung semua anak untuk belajar (tidak hanya untuk golongan tertentu saja).
  3. Kesiapan keluarga, yaitu kesiapan sikap dan keterlibatan orang tua atau pengasuh anak dalam proses belajar yang dialami anak hingga benar-benar dapat belajar secara mandiri nantinya.
Dalam definisi di atas dapat kita pahami bahwa keberhasilan anak untuk belajar di sekolah terutama pada fase trasisi sifatnya adalah kompleks. Perhatian hanya pada satu dimensi saja menurut penelitian dapat menjadi penghambat serius bagi anak untuk beradaptasi dengan kondisi sekolah sehingga mereka tidak mampu belajar dengan baik.


Buku Rujukan:
UNICEF. 2012. School Readiness, a Conceptual Framework. New York: UNICEF

Monday, 5 September 2016

Perkembangan Fisik dan Pengalaman Belajar Anak

Lindon (2010) menyatakan bahwa anak-anak pada usia dua tahun berpikir dengan otot mereka, bukan dengan otak. Ungkapan ini tentu memunculkan tanda tanya bagi kita, tentunya ada karakter yang khusus pada diri anak-anak terkait dengan perkembangan mereka. Kata otot sebagai organ berpikir tentu memiliki makna bahwa organ tersebut berperan penting bagi anak pada usia dua tahun.

Anak-anak belajar terutama melalui interaksi mereka secara fisik dengan lingkungan. Lihatlah bagaimana senangnya mereka memainkan obyek-obyek baru seperti mainan atau bahkan alat-alat rumah tangga yang digunakan oleh orang tuanya. Ketika seorang anak memegang sebuah sapu, jangan bayangkan bahwa ia akan menggunakan sapu tersebut sebagaimana mestinya (membersihkan lantai). Tidak, lihatlah bagaimana mereka akan memanipulasi sapu itu untuk berbagai aksi, misalnya sebagai pedang, pemukul lantai, atau bahkan sebagai kuda-kudaan. Semua benda di tangan anak-anak akan berubah fungsi.

Sejak bayi, anak-anak telah tertarik dengan berbagai benda di sekitar mereka, terutama benda-benda yang baru dan aneh. Mereka ingin menyentuh, memegang dan bahkan merasakan semua benda yang mereka lihat. Mereka bereksperimen dengan dunia di sekitarnya. Menurut penelitian (Lindon, 2010) diketahui bahwa berbagai interaksi anak dengan benda-benda di sekitarnya akan menstimulasi koneksi antar neuron di otak. Ketika interaksi tersebut dilakukan berulang-ulang maka koneksi antar neuron akan menjadi semakin kuat.

Anak-anak juga tidak suka diam. Mereka akan selalu bergerak, selama tubuhnya masih memiliki energi. Gerakan fisik pada anak-anak akan memunculkan semangat pada diri mereka. Karena itu seorang guru atau orang tua ketika mengajari anak-anak prasekolah harus memperhatikan sifat ini. Sajikan belajar melalui permainan yang membuat mereka bergerak.

Mengajak anak ke alam terbuka yang penuh dengan obyek-obyek alami serta membiarkan mereka bermain dan bergerak bebas dengan demikian sangat baik untuk perkembangan fisik, emosional dan kognitifnya. Gerakan bebas mereka akan menguatkan dan meningkatkan kemampuan motorik, bersamaan dengan itu mereka akan mengalami emosi positif. Yang terakhir, interaksi semua obyek akan menginduksi koneksi antar neuron di otak.

Aktivitas outdoor sangat baik untuk fisik, emosi dan kognisi anak

Salah satu prinsip belajar yang diterapkan pada masa anak-anak disebut hands-on learning, yaitu belajar dimana anak-anak secara aktif melakukan aktivitas-aktivitas motorik yang bervariasi dan menyenangkan. Lebih lanjut Elinor Goldschmied, Anita Hughes dan Gwen Macmichael mengembangkan heuristictic play. Pada aktivitas tersebut anak-anak akan dihadapkan pada bahan-bahan recycle yang bida dimanfaatkan untuk bermain (namun bukan berupa mainan jadi yang biasa digunakan). Guru atau orang tua mengamati dan membantu jika dibutuhkan. Dengan aktivitas tersebut diharapkan daya imajinasi, kreativitas dan sekaligus kemampuan fisik anak berkembang dengan pesat.


Buku Rujukan:
Lindon, Jennie. 2010. Understanding Child Development, Linking Theory and Practice. Edisi Kedua. London: Hodder Education.

Sunday, 4 September 2016

Guru Harus Berusaha Tahu dan Memanfaatkan Nama Siswanya

Proses komunikasi, termasuk juga komunikasi dalam pembelajaran, membutuhkan kedekatan psikologis. Hal sederhana dan pertama yang harus guru usahakan agar proses komunikasinya dengan para siswa lancar adalah mengetahui dan menggunakan nama para siswanya. Meskipun nampak sederhana, namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Page (2008), penggunaan nama siswa oleh guru ketika mengajar dapat memberi dampak besar bagi keberhasilan pembelajaran.

Guru Menyapa Siswa Dalam Pembelajaran

Berbagai strategi dan pendekatan pembelajaran bisa dipilih oleh guru ketika hendak mengajar, bergantung pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Pertama kali yang harus diperhatikan oleh guru adalah memastikan bahwa situasi yang aman untuk belajar telah tercipta. Selain itu juga siswa merasa diperhatikan/dipedulikan sehingga mereka merasa benar-benar menjadi bagian dari kelas (proses pembelajaran). Umumnya siswa tidak akan mempedulikan pelajaran di sekolah sebelum mereka merasa dipedulikan atau diperhatikan di sekolah.

Seperti yang telah disebutkan di awal, salah satu cara guru untuk menciptakan suasana yang aman dan penuh perhatian adalah dengan mengetahui nama para siswanya. Untuk kemudian mau menggunakan nama-nama tersebut dalam berinteraksi dengan mereka, baik di dalam kelas saat pembelajaran maupun di luar kelas.

Guru yang mengetahui dan mau menggunakan nama para siswanya mengindikasikan bahwa ia:
  1. Cukup peduli atau perhatian pada siswa.
  2. Mau menjalin hubungan secara individual dengan para siswa. Hal ini memunculkan rasa nyaman pada diri mereka.
  3. Menunjukkan sikap percaya diri (tidak ragu menyebut nama siswa untuk keperluan-keperluan tertentu dalam pembeajaran).
  4. Menganggap bahwa para siswa bukanlah sosok-sosok yang asing.
  5. Menunjukkan penguasaan guru terhadap siswa dengan cara yang baik.
Mungkin masih banyak kita temui para guru yang tidak menggunakan nama siswanya ketika berinteraksi atau berkomunikasi di dalam kelas. Dampaknya tentu saja adalah terciptanya jarak psikologis antara guru dan siswa.

Mengenali sekian banyak siswa bagi beberapa guru mungkin terasa sangat menyulitkan. Untuk itu tidak perlu harus hafal keseluruhan nama siswa dalam satu waktu sekaligus. Proses mengenali mereka dapat dilakukan secara bertahap, yang penting anda telah menunjukkan suatu usaha yang cukup untuk mengenali mereka dari waktu ke waktu. 


Buku Rujukan:
Page, Marilyn L. 2008. You Can't Teach until Everyone is Listening. Thousands Oaks: Corwin Press

Friday, 2 September 2016

Interaksi Sosial yang Positif antara Guru dan Siswa

Guru sebagai pembimbing dan pengajar bukanlah sosok yang benar-benar terpisah dari para siswa. Dalam falsafat pendidikan nasional kita kenal satu prinsip ing madyo mangun karso yang berarti di tengah-tengah para siswa seorang guru dapat membangun dan menguatkan kemauan siswa untuk belajar. Dalam prinsip ini seorang guru harus bisa berada di antara siswa, dalam arti menjalin suatu hubungan dan interaksi sosial yang positif dengan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian, interaksi sosial yang positif tidak hanya memberi mereka semangat untuk belajar. Melalui interaksi tersebut akan terbangun suatu rasa percaya diri, serta rasa ikut memiliki terhadap kelas dan proses pembelajaran yang dilakukan (Stronge, 2007).

Relasi positif antara guru dan siswa dapat meningkatkan semangat dan percaya diri siswa

Bagaimana cara agar guru dapat menjalin suatu interaksi sosial yang positif dengan siswa? Sehingga melalui interaksi tersebut akhirnya siswa akan lebih bersemangat dan memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. Dan berproses menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan masyarakat. Dalam artikel ini akan diketengahkan beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh guru untuk menjalin interaksi sosial yang positif dengan siswa. 

Berdasarkan beberapa penelitian (dalam Stronge, 2007) berikut ini beberapa langkah yang dapat dilakukan guru untuk menjalin interaksi sosial yang positif dengan siswa:
  1. Berupaya untuk bersikap bersahabat dengan siswa secara konstan (artinya tidak hanya sewaktu-waktu).
  2. Dalam pembelajaran, seringkali guru bekerja bersama siswa, tentu saja dengan pembagian peran yang tepat.
  3. Memberi siswa tanggung jawab dan juga rasa hormat sebagaimana layaknya seorang dewasa (terutama bagi mereka yang mulai menginjak masa remaja).
  4. Melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Misalnya pada penentuan tema aktivitas atau beberapa hal yang akan dilakukan sepanjang proses pembelajaran yang akan berpengaruh pada kesuksesan proses tersebut. Contoh lain adalah adanya sesi penyampaian pendapat dan kritikan mengenai proses belajar yang telah dilalui.
  5. Guru yang efektif memiliki (dan berusaha meluangkan) waktu untuk berinteraksi dengan siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. 
  6. Belajar untuk menggunakan humor dalam interaksi dengan siswa. Tentu saja humor yang digunakan memperhatikan aspek kepantasan (etika) dan tidak mengganggu tujuan utama pembelajaran.
Langkah-langkah di atas tentu dapat mengalami variasi dalam penerapannya. Guru memiliki karakter khusus yang membutuhkan penyesuaian dengan diri siswa atau kondisi sekolah. Dalam proses adaptasi tersebut butuhkan ketelitian, perenungan dan kesabaran.


Buku Rujukan:
Stronge, James H. 2007. Qualities of Effective Teachers. Edisi Kedua. Alexandria: ASCD

Wednesday, 17 August 2016

Pembelajaran Kooperatif dan Persaingan Global

Zaman ini disebut sebagai zaman global, dimana sekat geografis antar negara sudah semakin tidak menjadi hambatan. Selain memiliki banyak keuntungan, globalisasi juga menuntut kita dan generasi mendatang untuk menyiapkan diri agar bisa bersaing dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi ataupun teknologi. Jika anda hidup di kota besar maka nuansa persaingan itu sangat terasa. Mereka yang tidak memiliki kompetensi akhirnya akan kalah saing dan banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya.

Terkait dengan kehidupan yang semakin menuntut persaingan, yang menjadi pertanyaan bagi para guru adalah masih layakkah pendekatan pembelajaran kooperatif digunakan. Dalam pembelajaran kooperatif anak-anak diajarkan untuk saling bekerja sama dan saling bergantung satu dengan yang lain. Bukankah hal tersebut akan membuat mereka kelak tidak sanggup bersaing?

Salah satu jawaban untuk pertanyaan krusial ini diberikan oleh Kagan dan Kagan (2009) yang merupakan ahli pembelajaran kooperatif. Keduanya menjawab bahwa di dunia yang semakin penuh persaingan ini justru kerja sama tim sangat dibutuhkan oleh semua bidang pekerjaan. Persaingan terjadi tidak secara individual tetapi dalam kerja tim dan organisasi yang besar. Jika kita tidak memiliki kemampuan kerja tim yang baik maka biasanya kita akan sulit bersaing di dunia global.

Kita hdup di dunia yang semakin tergantung satu dengan yang lain. Kagan dan Kagan (2009) memberi contoh komputer sebagai produk teknologi yang paling berkembang di zaman ini. Jika kita analisis sebuah komputer yang siap pakai, maka berbagai komponen komputer tersebut tidak mungkin dibuat oleh satu perusahaan saja. Berbagai pihak turut andil dalam mewujudkan satu komputer yang kita pakai sehari-hari. Benda-benda atau produk teknologi yang lain juga demikian.

Lihat saja bagaimana rumah dibangun. Semen, kayu, keramik, pasir, batu, cat, genting dan lain sebagainya adalah bahan-bahan yang dibuat atau disediakan oleh pihak-pihak yang berbeda. Itulah contoh bahwa kita tetap saling bergantung satu dengan yang lain di dunia yang semakin penuh persaingan ini. Melatih anak-anak untuk memiliki peran dalam suatu tim akan membuat mereka memiliki keterampilan sosial terutama untuk mencari peran-peran yang dibutuhkan masyarakat kelak ketika dewasa.

Dalam Pembelajaran Kooperatif Diajarkan Kerjasama 


Buku Rujukan:
Kagan, Spencer. Kagan, Miguel. 2009. Kagan Cooperative Learning. San Clemente: Kagan Publishing.

Friday, 12 August 2016

Keindahan Manusia

Oleh: Ki Hadjar Dewantara

Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukkan keadaan yang tegas dengan jiwa yang dipunyai hewan. Jiwa hewan yang berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tak cukup berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sangat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.

Sebaliknya jiwa manusia merupakan diferensiasi dari kekuatan-kekuatan, yang terkenal dengan sebutan 'trisakti.' Ketiga kekuatan yang dimaksud adalah pikiran, rasa dan kemauan, atau cipta-rasa-karsa. Tri sakti itulah yang disebut budi.

Budi manusia tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luar dirinya ke dalam jiwa dengan perantaraan panca indera. Namun, budi manusia juga berkuasa untuk 'mengolah' atau 'memasak' segala isi alam yang memasuki jiwanya sehingga menjadi buah. Sementara buah budi manusia itu disebut kebudayaan.

Pikiran mempunyai tugas memisah-misahkan bagian-bagian suatu hal, barang atau keadaan, serta membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain (menganalisis) dan akhirnya menetapkan benar atau tidak benarnya sesuatu. Rasa adalah gerak-gerik jiwa yang biasanya timbul karena kekuatannya sendiri dan berlaku sebelum orang menghendakinya dengan sengaja. Adapun tugasnya ialah menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Kemauan yaitu keinginan yang sudah tetap dan pasti, sudah dipikir-pikirkan hanya tinggal melaksanakannya saja.

Tiap-tiap manusia mempunyai sifat budi masing-masing, sifat yang tetap dan pasti, dan disebut watak (cap atau cliche). Dalam bahasa kita dipakai perbuatan budi pekerti dan ini lebih tegas karena pekerti berarti tenaga. Jadi, budi pekerti berarti sifat dari budinya (batin) sampai pekertinya (lahir).

Sifat jiwa manusia itu berisikan beberapa corak warna yang menurut penelitian filsafat dapat digolongkan menjadi dua pokok, yaitu sifat etika dan sifat estetika, yang masing-masing berarti baik dan indah. Dalam bahasa kita, biasanya digunakan kata luhur dan halus, dengan maksud sama, yaitu menjelaskan bahwa budi pekerti manusia itu mengingini serta menghendaki segala apa yang baik atau luhur dan yang indah atau halus.

Terjemaham kata baik dan indah yang berganti menjadi luhur dan halus, menunjukkan corak yang khusus dalam jiwa bangsa kita dan merupakan hasil perbandingan antara jiwa manusia dan jiwa hewan sehingga pengertian ini menjadi lebih jelas. Etika atau etik dapat berarti pula ilmu pengetahuan tentang kebaikan (dan segala kebalikannya) dalam hidup manusia secara umum, terutama yang berhubungan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan.

Begitu pula estetika yang dapat berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mengajarkan segala keindahan. Pada mulanya estetika itu berarti pengetahuan tentang memasukkan pandangan luar ke dalam jiwa. Oleh Kant, estetika dijelaskan sebagai ilmu yang menertibkan bekerjanya panca indera dalam hubungannya dengan alam dan zaman (transzendentale aesthetik), sedangkan etik disebut transzendentale logik. Oleh karena itu Baumgarten menggunakan penjelasa: Ilmu tentang kesempurnaan pandangan panca indera untuk estetika. Dengan demikian disini terbukti adanya hubungan antara logika dengan etika dan estetika.

Jonas Cohn, Lipps dan Schiller mengartikan estetika sebagai ilmu keindahan dan kesenian. Dengan demikian, pengertian estetika menjadi luas, sebab kesenian hanya keindahan yang dibuat oleh manusia sedangkan keindahan itu terdapat di seluruh alam.

Apakah gerangan yang menyebabkan adanya hubungan yang erat antara etik dan estetik itu, atau dalam hal apakah adanya kesamaan dan perbedaan antara keduanya? Ternyata ketertiban (orde) itulah yang menjadi dasar bagi kedua sifat tersebut. Ketertiban lahir mengenai etik terpandang dengan pikirsara (logika), sedangkan mengenai estetik terpandang dengan panca indera.

Sifat budi manusia, baik dalam pandangannya terhadap soal-soal etik maupun estetik, biasanya menunjukkan kesamaan atau yang paling sedikit kesesuaian antara keduanya dalam cara menghargai (normatif).

Di dalam usaha pendidikan, dibenarkan hasil penelitian Maria Montessori dengan segala eksperimennya, yangmenetapkan saling berpengaruhnya latihan-latihan jasmanindan perkembangan pikiran, rasa dan kemauan, termasuk latihan-latihan olahraga. Rudolf Steiner dengan latihan-latihan keseniannya dan eksperimennya, juga mempunyai pendapat yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada lapangan kajiannya: Montessori pada fisio-psikologi sedangkan Steiner pada aestetik-etik.

Ketertiban lahir yang disebut estetik mempunyai tiga syarat, yaitu harmoni, beraneka dan lengkap. Dalam usahanya, maka estetik itu bertujuan untuk mendekatkan manusia, baik kepada segala sifat keindahan yang berupa usaha kesenian dalam arti yang seluas-luasnya, maupun mendekatkan hidup manusia dengan dengan segala sifat indah, yang tampak di alam semesta, manuju kepada perkembangan budi pekerti menurut syarat-syarat etik dari kodrat ke adab.

Perkembangan budi pekerti yang berlaku dari kodrat ke adab menuntut adanya hubungan rapat antara individu dengan lingkungan kodrat alam serta masyarakatnya. Hal ini seperti yang dimaksudkan oleh teori modern yang disebut heimat-prinsip. Perkembangan itu harus berlaku secara terus-meneris dengan alamnya sendiri, konvergen dengan lam luarnya, untuk menuju ke arah persatuan konsentris yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, namun tetap memiliki kepribadian sendiri.

Untuk pembangunan pada kajian keindahan harus diusahakan adanya pembangunan kebudayaan pada umumnya, terutama dalam arti pembaruan kebudayaan dengan mengingat tuntutan alam dan zaman baru. Oleh karenanya, hendaknya kebudayaan lama disaring seperlunya. Kebudayaan yang bertentangan dengan zaman dan atau tidak bermanfaat lagi harus dihapuskan, diberhentikan atau dibekukan, sedangkan yang masih berguna diperbaiki. Jangan lupa memasukkan bahan baru, baik dari dunia luar maupun hidup baru sendiri, asalkan dapat memperkayanya.

Agar pembaharuan tersebut benar-benar menguntungkan, maka pemeliharaan kebudayaan itu tidak saja dilakukan di dalam kalangan masyarakat, tetapi juga di lingkungan pendidikan dan pengajaran. Artinya, mulai pada alam anak-anak sampai alam para pelajar dan sekolah-sekolah yang tertinggi. Barang tentu dengan cara-cara yang sesuai dengan segala keadaan dan kenyataan yang ada dalam lingkungan masing-masing tersebut.

Dalam menyesuaikan alam dan zaman baru tersebut harus juga diingat adanya hasrat atau semangat dari keturunan atau angkatan baru kita untuk meniru pelbagai tradisi-tradisi baru yang berasal dari kehidupan bangsa-bangsa barat. Di antara tradisi-tradisi tersebut tentunya ada yang tidak sesuai atau bertentangan dengan rasa etik. Perlu diselidiki pula apa yang menyebabkan adanya keinginan meniru itu. Lalu dapatkan kita, bila perlu, menciptakan tradisi-tradisi baru yang dapat memenuhi keinginan-keinginan tadi, dan dalam bentuknya sesuai dengan kebudayaan kita sendiri. Jadi, perlu mengganti apa yang dibuang. Dengan begitu maka tidak usah kita meniru, tetapi kita mencipta adat baru, dari ciptaan sendiri secara itu pasti akan lebih bermanfaat dari pada adat tiruan.



Sumber Tulisan:
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika

Tuesday, 9 August 2016

Arti Pendidikan Bagi Ki Hadjar Dewantara

Oleh: Ki Hadjar Dewantara

Kata pendidikan dan pengajaran itu seringkali dipakai bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan pengajaran (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan pada umumnya, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini saya akan menerangkannya secara lebih luas.

Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.

Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai 'tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.' Maksudnya, pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia atau sebagai anggota masyarakat.

Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.

Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan yang ada di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.




Sumber Tulisan:
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika

Monday, 25 July 2016

Strategi Pembelajaran Think, Pair, Share (TPS)

Strategi TPS merupakan salah satu bagian dari model pembelajaran kooperatif. Strategi ini dikembangkan pertama kali oleh Frank Lyman dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Salah satu tujuan utamanya adalah mengubah pola diskusi di dalam kelas, dimana prinsip utamanya adalah mewujudkan diskusi dan resitasi materi untuk keseluruhan anggota kelas. Selain itu juga diberikan kesempatan bagi siswa untuk saling membantu satu sama lain.

Seringkali, ketika guru selesai memberikan materi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab resitasi antara guru dan siswa, yang berpartisipasi hanya beberapa orang saja. Hal tersebut dapat mengakibatkan sebagian yang lain belum benar-benar memahami materi yang disajikan. Strategi TPS ini dapat membantu guru agar semua siswa dapat terlibat dalam diskusi resitasi antar sesama siswa.

Resitasi dilakukan guru setelah penjelasan materi untuk mengecek pemahaman siswa


Tiga tahapan strategi TPS adalah sebagai berikut:

  1. Thinking (berpikir). Guru memberikan suatu pertanyaan terkait dengan materi pelajaran yang telah dijelaskan. Masing-masing siswa diperintahkan untuk memikirkan jawaban pertanyaan tersebut secara individual. Pada tahapan ini dilarang untuk berbicara satu sama lain.
  2. Pairing (berpasangan). Guru memerintahkan siswa untuk berpasangan (misalnya dengan teman sebangku) untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkan. Pada tahapan ini mereka diharapkan untuk dapat saling berbagi pikiran dan menyempurnakan jawaban yang dimiliki secara individual. Diskusi ini biasanya diberi waktu kira-kira lima menit. 
  3. Sharing (berbagi). Tahap akhir. Guru mengarahkan semua pasangan untuk berbagi hasil diskusi (jawaban) mereka kepada seluruh anggota kelas. 
Berdasarkan tahapan pelaksanaan strategi TPS tersebut di atas, dapat dipahami bahwa diskusi antara pasangan ataupun saling berbagi dengan seluruh anggota kelas adalah suatu proses resitasi yang menyeluruh. Dengan strategi ini pemahaman seluruh siswa terhadap materi yang telah dijelaskan guru dapat dicapai lebih maksimal. Selain itu juga siswa diajari keterampilan sosial, baik dalam berdiskusi dengan pasangan atau mempresentasikan jawaban ke seluruh kelas.


Buku Rujukan:
Arends, Richard I. 2009. Learning to Teach. Edisi Sembilan. New York: McGraw-Hill Companie, Inc.

Saturday, 23 April 2016

Jenis-jenis Pengetahuan

Pengetahuan adalah kumpulan informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, sebagai hasil dari proses belajar. Karena itulah istilah orang terpelajar hampir sama dengan orang berpengetahuan, karena hasil paling tampak dari proses belajar adalah pengetahuan. Mungkin anda menganggap bahwa pengetahuan hanya meliputi informasi mengenai benda, kejadian atau pola-pola tertentu saja. Namun sebenarnya tidaklah demikian.

Pengetahuan apa yang kira-kira dihasilkan dari aktivitas ini?

Para ahli psikologi menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya meliputi informasi akan obyek atau peristiwa saja. Pengetahuan juga meliputi bagaimana kita melakukan suatu pekerjaan atau tugas. Dalam artikel ini kita akan membahas mengenai jenis-jenis pengetahuan.

Pengetahuan Deklaratif

Adalah pengetahan mengenai obyek benda atau peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Siapa saja teman-teman kita, dimana alamat rumah mereka dan kapan kita akan berkumpul adalah contoh-contoh dari pengetahuan deklaratif. Pengetahuan ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu memori episodik  yang berupa semua pengetahuan deklaratif terkait dengan pengalaman kita dan memori semantik  yaitu pengetahuan tentang benda dan peristiwa yang tidak berkaitan dengan pengalaman pribadi kita. Disebutkan bahwa memori episodik lebih disukai dan bertahan lama di memori jangka panjang daripada memori semantik.

Pengetahuan Prosedural

Adalah pengetahuan mengenai bagaimana cara melakukan berbagai tugas, aktivitas atau keterampilan tertentu. Misalnya pada aktivitas mengendarai sepeda kita harus mengetahui bagaimana menyeimbangkan diri di atas sepada, mengayuh pedal, mengerem yang efektif, menghindari jalan-jalan berlubang, berbelok arah dan lain sebagainya. Dalam pengetahuan prosedural lebih khusus terdapat juga pengetahuan kondisional yang artinya pengetahuan untuk mengenali berbagai kondisi sehingga kita dapat mengeluarkan respon yang tepat. Misalnya berkendara di jalan pegunungan dan jalan raya yang ramai tentu membutuhkan respon yang berbeda.

Pengetahuan Konseptual

Adalah pengetahuan yang kompleks, berupa gabungan antara pengetahuan deklaratif dan prosedural. Misalnya konsep bersepeda yang taat aturan adalah pengetahuan yang kompleks, terdiri atas pengetahuan akan apa saja aturan dalam bersepeda (deklaratif) dan bagaimana kita menerapkan aturan-aturan tersebut saat menggunakan sepeda di jalan raya (prosedural). Pengetahuan konseptual juga meliputi pemahaman mengenai mengapa sesuatu terjadi. Sebagai contoh adalah tentang bagaimana peristiwa pembentukan energi dari makanan yang kita makan atau pembentukan energi oleh tumbuhan hijau yang disebut fotosintesis.

Perbedaan karakter dari ketiga jenis pengetahuan di atas membuat cara untuk mendapatkannya (mempelajarinya) juga berbeda. Para ahli psikologi kognitif mengenal beberapa istilah seperti pengulangan, belajar bermakna, organisasi materi, elaborasi, imajinasi visual dan praktek (latihan). Namun cara-cara tersebut akan dibahas dalam artikel yang berbeda.

Kita kembali pada gambar mahasiswa yang mengamati tumbuhan di atas. Dari aktivitas tersebut, berdasarkan penjelasan dari artikel ini, kira-kira pengetahuan jenis apa yang akan mereka peroleh?


Buku Rujukan:
Ormrod, Jeanne Ellis. 2012. Human Learning. Edisi Enam. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Sunday, 3 April 2016

Tipe Siswa Berdasarkan Keaktifannya

Siswa yang aktif merupakan dambaan setiap guru. Tidak hanya dengan mudah diarahkan untuk belajar, siswa aktif dapat membantu guru untuk juga belajar lebih memperdalam kemampuan keilmuannya. Partanyaan dan pendapat siswa-siswa yang aktif adalah bahan dasar bagi guru untuk meningkatkan profesionalisme. 

Kenyataannya tidak semua siswa kita adalah siswa yang aktif. Beberapa siswa bahkan mungkin sangat terpaksa dan tersiksa ketika mengikuti pelajaran anda. Dengan memahami ciri-ciri siswa aktif atau tidak, kita para guru dapat lebih hati-hati menyelenggarakan pembelajaran. Meskipun kita berharap semua siswa aktif, namun kenyataannya tidak mungkin seratus persen mereka demikian. Bahkan jika anda tidak hati-hati mungkin anda sama sekali tidak menemukan siswa aktif di kelas anda.

Harmin dan Toth (2006) membagi siswa menjadi beberapa tipe berdasarkan keaktifannya. Berikut ini akan dijelaskan tipe-tipe siswa tersebut:
  1. Siswa aktif. Mereka adalah yang benar-benar memiliki kemauan sendiri (motivasi instrinsik) untuk belajar. Jika kita memberi mereka tugas, maka mereka akan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik mungkin. Kadang-kadang kreativitas nampak dalam hasil pekerjaannya, misalnya mengenai sampul tugas yang lebih indah atau terkesan profesional. Mereka tidak hanya termasuk ke dalam golongan yang bernilai bagus, tetapi juga memiliki keinginan untuk mempelajari lebih lanjut apa yang disajikan oleh guru. Kelompok ini sangat menyenangkan untuk diajar.
  2. Siswa bertanggung jawab. Mereka adalah para siswa yang menuruti semua tugas atau aktivitas yang diminta oleh guru. Namun tidak lebih dari itu. Belajar bagi mereka adalah suatu tugas atau tanggung jawab yang harus diselesaikan. Namun keinginan mereka sendiri tidak tercurah untuk proses belajar itu. Kelompok ini mudah untuk diajar.
  3. Siswa separuh hati. Mereka yang semangat belajarnya hanya setengah-setengah. Akibatnya seringkali tugas yang diberikan tidak terselesaikan. Kalaupun selesai, memakan waktu yang lama. Kadang-kadang siswa yang cerdas tergolong dalam kelompok ini, karena motivasi belajarnya yang kecil. Karakter lain adalah mudah menyerah dan banyak melakukan kesalahan. Kelompok ini cukup membuat guru frustasi.
  4. Siswa pemalas. Mereka adalah para siswa yang hanya sedikit beraktivitas atau tidak sama sekali. Jika belajar dalam kelompok maka mereka akan menjadi sangat pasif, alias menjadi pendompleng saja. Seringkali tidak mengerjakan tugas-tugas rumah yang diberikan, kalaupun mengerjakan biasanya hanya menyontek. Umumnya kelompok ini menyebabkan berbagai masalah di kelas.

Siswa aktif disebabkan oleh keinginan (motivasi instrinsik) yang kuat untuk belajar

Guru terbaik adalah yang berupaya untuk mengarahkan para siswa menjadi aktif, semaksimal mungkin. Guru yang kurang baik mungkin hanya terfokus pada golongan pertama dan kedua. Sedangkan guru yang buruk adalah mereka yang tidak peduli dan bahkan tidak tahu karakter atau tipe siswanya.


Buku Rujukan:
Harmin, Merrill. Toth, Melanie. 2006. Inspiring Active Learning, A Complete Handbook for Today'a Teachers. Danvers: ASCD

Sunday, 27 March 2016

Teori Pembelajaran Bermakna David Ausubel

Para siswa atau mahasiswa seringkali belajar dengan menggunakan metode hafalan. Teori atau konsep yang mereka pelajari disimpan dalam memori jangka panjang secara langsung, biasanya dengan mengulang-ulang kalimat, tanpa memahaminya terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan banyak informasi di dalam memori jangka panjang yang akhirnya tidak berguna. Orang-orang yang belajar dengan cara demikian biasanya tidak akan nampak mengalami perubahan walaupun telah lama belajar.

Teori belajar yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan belajar dengan hafalan adalah teori belajar bermakna. Teori ini disusun oleh David Ausubel, yang merupakan salah seorang ahli psikologi kognitif.

Pembelajaran bermakna menurut Ausubel akan berlangsung jika siswa dihadapkan pada materi yang jelas, terorganisasi dengan baik dan secara sadar menghubungkan materi tersebut dengan pengalaman atau informasi yang telah mereka miliki sebelumnya. Sebagai contohnya ketika anda belajar tentang teori belajar, anda mencoba menghubungkannya dengan berbagai pengalaman belajar atau mengajar yang anda miliki.

Ketika para siswa belajar IPA, misalnya tentang ekosistem, guru mengajarkankannya dengan menggunakan contoh-contoh yang setiap hari ditemui siswa. Jika anak-anak tersebut hidup di daerah pesisir maka guru dapat menggunakan ekosistem mangrove atau ekosistem pantai sebagai contoh untuk menjelaskan teori ekosistem. Selain itu materi disajikan secara jelas (menggunakan bahasa yang dimengerti siswa) dan terorganisasi dengan baik (misalnya guru membuat file ppt yang tersusun secara logis dan rapi).

Mahasiswa Sumenep Mempelajari Kehidupan Pesisir Sumenep Secara Nyata

Ausubel, untuk menggambarkan tentang pentingnya prinsip belajar bermakna menuliskan dalam bukunya Educational Psychology: A Cognitive View: 

If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I would say this: the most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him [or her] accordingly” (Ausubel, Novak, & Hanesian, 1978)

Secara singkat tulisan tersebut dapat diartikan  "Jika saya hendak merangkap seluruh psikologi pendidikan ke dalam satu prinsip saja maka saya akan menyatakan: satu faktor yang paling mempengaruhi proses belajar adalah apa yang telah diketahui oleh para pelajar. Cari tahulah dan ajari mereka melaluinya."


Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick. Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Tiga Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Saturday, 12 March 2016

Makanan dan Kultur Masyarakat

Makanan, sepintas lalu, dianggap sebagai obyek pemenuhan kebutuhan energi untuk hidup setiap manusia. Namun tidak demikian bagi para ahli sosiologi. Makanan memiliki peran yang besar dalam membentuk kebiasaan dan bahkan pola pikir masyarakat. Oleh karena itu makanan dapat menjadi salah satu kajian utama ketika kita membahas kultur suatu masyarakat.

Jenis dan Pola Makan Masyarakat menjadi Salah Satu Bentuk Budayanya

Makanan Utama dan Pendukung

Setiap masyarakat umumnya memiliki makanan utama yang berupa makanan kaya akan karbohidrat sebagai sumber energi. Misalnya untuk kawasan Jawa dan Madura makanan utamanya adalah nasi, berbeda dengan kawasan eropa yang berupa gandum (biasanya diolah menjadi roti). Ciri makanan utama adalah sebagai sumber pokok energi setiap hari masyarakat. Bahkan di daerah kita sering terdapat ungkapan, "meskipun sudah makan banyak tapi kalau belum makan nasi, itu namanya belum makan."

Kebiasaan makan masyarakat mempengaruhi kinerja tubuhnya. Oleh karena itulah makanan-makanan yang telah terbiasa dikonsumsi setiap hari menjadi cepat diserap dan menjadi bagian dari metabolisme tubuh. Sedangkan makanan-makanan yang tidak terbiasa kemungkinan lebih sulit dicerna sehingga kita merasa "belum kenyang."

Makanan-makanan yang banyak dikonsumsi namun tidak harus ada setiap hari disebut dengan makanan sekunder. Misalnya daging, sayur, tahu-tempe, ikan, susu dan buah. Dalam budaya kita di Indonesia, makan nasi biasanya disertai dengan beberapa makanan sekunder tersebut di atas, namun tidak selalu sama setiap harinya. 

Makanan lain yang bersifat insidental dan tergantung pada selera individual disebut dengan makanan perifer (sampingan). Contoh makanan perifer ini adalah jenis kue atau manisan tertentu yang dimakan hanya ketika ingin atau acara tertentu.

Ketersediaan makanan pokok di suatu negara turut menentukan situasi dan keamanan negara tersebut. Masyarakat yang telah terbiasa makan nasi misalnya, tentu akan menjadi risau ketika ketersediaan beras langka dan menjadi mahal. Hal tersebut akan berakibat pada kestabilan ekonomi dan keamanan sosial. Meskipun ketersediaan makanan lain yang sejenis seperti jagung atau ketela melimpah namun biasanya masyarakat sangat sulit mengubah pola makannya seketika.

Cita Rasa Makanan

Ciri khas suatu daerah berkaitan dengan makanan, selain pada jenis makanan pokok dan pendukungnya, juga adalah pada cita rasa. Seperti di Indonesia, berbagai daerah dengan jenis makanan yang sama namun memiliki resep dan menu masakan yang berbeda. Kecenderungan makanan dengan rasa manis, asin, pedas atau hambar umumnya telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. 

Pernahkah anda berkunjung ke suatu daerah dan mencicipi makanan pokok di tempat itu? Meskipun dengan bahan dasar yang sama, namun bisa jadi terasa aneh di lidah, padahal bagi masyarakat setempat makanan tersebut adalah yang terlezat. Itulah contoh bagaimana kebiasaan membentuk cita rasa masyarakat akan makanan. Indonesia merupakan negara dengan aneka masakan yang sangat bervariasi. Oleh karena itu wisata kuliner menjadi salah satu bidang yang berkembang di negara ini.

Pola Makan

Bagaimana masyarakat makan setiap harinya, biasanya membentuk pola-pola tertentu. Misalnya di kawasan elit perkotaan sarapan umumnya berupa makanan cepat saji seperti roti dan susu, berbeda dengan kawasan lain (apalagi kawasan pertanian) yang sudah mengkonsumsi "makanan berat." Demikian pula dengan penyediaan buah, yang di suatu daerah wajib ada setiap makanan namun di kawasan lain tidak perlu.

Pola makan juga mengiringi aktvitivas-aktivitas tertentu, seperti ketika kedatangan tamu. Di kota biasanya tamu hanya dihidangkan makanan kecil dan minuman seperti teh. Namun di desa kawasan pertanian atau nelayan, tamu biasanya dihidangkan "makanan berat" yang lengkap. Tamu dianggap tidak menghargai tuan rumah jika menolak untuk makan.

Ritua-ritual sakral masyarakat juga ditandai dengan adanya makanan-makanan tertentu. Makanan tidak hanya menjadi pelengkap atau pemenuhan gizi tetapi memiliki simbol-simbol yang bermakna dalam. Indonesia kaya akan ritual dengan jenis-jenis makanan tertentu sebagai simbol pelaksanaan ritual tersebut.


Buku Rujukan:
Kittler, P.G. Sucher K.P. 2008. Food and Culture. Edisi Lima. Belmont: Thomson Higher Education