Thursday, 29 September 2016

Perbedaan Asesmen, Tes dan Evaluasi

Pada artikel sebelumnya mengenai asesmen formatif dan sumatif kita sempat menyebutkan istilah tes dan evaluasi selain asesmen itu sendiri. Ketiga istilah ini sering kali dicampur aduk dan disamakan. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, ketiganya memiliki arti yang berbeda sehingga pelaksanaannya pun berbeda. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai perbedaan ketiganya.

Asesmen adalah proses (berbagai prosedur) untuk memperoleh informasi mengenai kondisi atau hasil belajar belajar siswa. Hasil dari asesmen adalah nilai dan deskripsi mengenai hasil belajar siswa hingga suatu tahap tertentu. Untuk melakukan asesmen kita membutuhkan tes yaitu instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur perilaku/keterampilan/kognisi (sebagai sampel dari hasil belajar) dengan memberikan beberapa pertanyaan. Hasil dari tes adalah angka-angka mentah (skor) yang nantinya akan dikonversi menjadi nilai.

Asesmen dapat dilakukan dengan menggunakan tes, namun ada kalanya juga menggunakan prosedur atau instrumen non tes seperti observasi, wawancara atau lembar cheklist. Apakah menggunakan tes atau non tes, bergantung pada aspek apa yang akan diukur dan dinilai. Hal ini berkaitan dengan tujuan pembelajaran serta strategi yang digunakan.

Hasil dari asesmen pada akhirnya akan menjadi dasar dari suatu proses evaluasi yaitu suatu pengambilan keputusan mengenai ketercapaian tujuan-tujuan dari suatu program pembelajaran. Hasil dari evaluasi adalah keputusan apakah tujuan program sudah tercapai atau belum, dan juga rekomendasi terkait dengan kelanjutan program ke depan. Apakah program layak untuk dilanjutkan, diperbaiki atau bahkan dihentikan dengan berbagai pertimbangan yang jelas. 

Posisi tes, asesmen dan evaluasi berdasar keluasan hasilnya

Asesmen, tes dan evalusi memang memiliki keterkaitan dalam proses pelaksanaannya.  Namun ketiganya bukanlah hal yang sama. 


Referensi:
Miller, M. David., Linn, Robert L., Gronlund, Norman E. (2009) Measurement and Assessment in Teaching. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Tuesday, 27 September 2016

Mengajarkan Life Skill menurut UNICEF

Sebagai seorang pendidik atau yang sedang belajar untuk menjadi seorang guru tentu anda sudah sering mendengar istilah life skill. Arti sederhananya adalah keterampilan untuk hidup, atau keterampilan yang biasanya dibutuhkan dalam hidup sehari-hari. Life skill menjadi populer akhir-akhir ini karena tuntutan masyarakat akan lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang justru kurang dapat beradaptasi dengan kehidupan di masyarakat sehari-hari. Padahal tujuan sekolah adalah menyiapkan mereka untuk hidup dan berperan di masyarakat.

Sekolah harus menyiapkan siswa untuk dapat hidup dan berperan di masyarakat

UNICEF sebagai lembaga PBB yang berperan dalam pendidikan anak mendefinisikan life skill sebagai berikut,

"Life skills" are defined as psychosocial abilities for adaptive and positive behaviour that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life. They are loosely grouped into three  broad categories of skills: cognitive skills for analyzing and using information, personal skills for developing personal agency and managing oneself, and inter-personal skills for communicating and interacting effectively with others.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa life skill merupakan kemampuan psikososial dan perilaku positif yang membuat seseorang dapat menghadapi secara efektif kebutuhan dan tantangan hidup sehari-hari. Lebih lanjut UNICEF menguraikan life skill  menjadi tiga elemen yaitu:
  1. Keterampilan kognitif untuk menganalisis dan menggunakan informasi
  2. Keterampilan personal dalam rangka pengelolaan diri
  3. Keterampilan interpersonal untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
Keterampilan-keterampilan itulah yang harus diajarkan dalam dunia pendidikan untuk menumbuhkan life skill siswa. Lebih lanjut dijelaskan bahwasannya dalam pendidikan yang mengajarkan life skill sekolah dan pendidik tidak hanya berfokus pada proses belajar yang menghasilkan pengetahuan saja, melainkan terutama keterampilan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam perilaku sehari-hari. Pada akhirnya akan terbentuk individu yang tidak hanya terampil secara personal tetapi juga mampu hidup dengan baik secara kolektif di tengah masyarakat.


Referensi:
http://www.unicef.org/lifeskills/index_7308.html

Saturday, 24 September 2016

Berpikir Kritis

Saat ini banyak kita temui konflik antara beberapa orang atau kelompok orang disebabkan oleh sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya. Apalagi jika informasi tersebut menyangkut perbedaan agama, politik, kepentingan ekonomi atau adat budaya. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk berpikir kritis, sehingga kita tidak mudah terprovokasi dan melakukan tindakan-tindakan tidak perlu disebabkan oleh sebuah informasi yang belum benar-benar jelas.

Dalam bidang kehidupan yang lain kita juga sering dihadapkan pada masalah yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Jika anda seorang pedagang atau petani, maka barang apa yang hendak anda beli atau tanaman apa yang cocok untuk musim ke depan tentu membutuhkan kemampuan berpikir secara kritis. Jika tidak, tentu kerugian finansial atau gagal panen yang akan diperoleh.

Seseorang yang berkecimpung di dunia akademik juga tidak bisa tidak, membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Baik sebagai siswa ataupun guru, sama-sama membutuhkan kemampuan tersebut.


Apakah berpikir kritis itu? Mungkin banyak definisi yang disajikan oleh para ahli di buku-buku yang berbeda. Dalam artikel ini berpikir kritis diartikan sebagai suatu proses berpikir secara efektif untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen atau klaim tertentu sehingga menghasilkan kesimpulan untuk mendukung keputusan yang rasional dan tepat, terkait dengan keyakinan dan apa yang akan dilakukan (Bassham, dkk., 2011).

Beberapa standar dari berpikir kritis menurut Bassham, dkk. (2011) adalah jelas, teliti, tepat, relevan, konsistens, logis, lengkap dan jujur.

Ahli yang lain lebih menekankan berpikir kritis sebagai sebuah proses. Fisher (dalam McGregor, 2007) menyebutkan beberapa tahapan dari proses berpikir kritis sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi unsur-unsur dari sebuah kasus, argumen atau klaim.
  2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi-asumsi.
  3. Memperjelas dan menginterpretasi ide-ide atau ekspresi.
  4. Menetapkan akseptabilitas dan kredibitas dari klaim.
  5. Mengevalusi argumen dari sumber yang lain.
  6. Menganalisis, mengevaluasi dan mengambil keputusan.
  7. Menggambarkan inferensi.
  8. Membuat argumen.
Dalam pembelajaran, Fisher menggunakan strategi diskusi untuk mengambangkan kemampuan berpikir kritis pada diri siswa. Permasalahan disajikan dengan jelas dan memiliki beberapa sudut pandang sehingga siswa dapat melakukan analisis dan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Guru sesekali memberi arahan terutama dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang membuat siswa berpikir lebih jauh.

Pembelajaran untuk bidang sains dan matematika tentu saja memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Walaupun begitu, secara esensial tidak akan mengubah dasar-dasar seperti yang disebutkan di atas.


Referensi:
  1. Bassham, Gregory. Irwin, William. Nardone, Henry. Wallace, James M. (2011) Critical Thinking, a Student's Introduction. Edisi Keempat. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
  2. McGregor, Debra. (2007) Developing Thinking, Developing Learning. New York: Open University Press.

Friday, 23 September 2016

Tiga Pendekatan dalam Mengajar

Tugas utama guru adalah membuat siswa belajar dan mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Ilmu pendidikan dan keguruan telah demikian berkembang sehingga berbagai teori mengenai bagaimana cara mengajar yang baik telah bermunculan. Masing-masing metode mengajar yang diciptakan tersebut tentu memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Guru harus memiliki pemahaman dan penguasaan akan teori-teori pengajaran yang efektif. Kegagalan suatu metode seringkali bukan karena metode mengajar itu sendiri, melainkan karena kesalahan guru menyesuaikan metode yang dipilih dengan kondisi siswa dan materi pembelajaran. Atau dapat juga karena penguasaan guru terhadap metode tersebut masih belum benar-benar memadai.

Setiap pendekatan dan metode mengajar memiliki keunggulan dan kelemahan

Agar lebih sederhana dan mudah untuk dipahami, sebenarnya dari sekian banyak metode pembelajaran yang telah dikembangkan oleh ahli pendidikan dan pengajaran, Fenstermacher dan Soltis (2004) menggolongkannya menjadi tiga pendekatan. Ketiga pendekatan ini ditinjau dari peran guru dalam pembelajaran.
  1. Guru manajer/eksekutif. Dalam pendekatan ini guru telah merencanakan pembelajaran dengan menggunakan teknik-teknik dan keterampilan mengajar yang terbaik. Guru dituntut untuk menjadi seorang manajer yang dapat mengatur kelas secara efektif sehingga siswa dapat belajar dan mencapai tujuan pembelajaran. Materi dan media pembelajaran juga telah disiapkan dengan baik.
  2. Guru fasilitator. Dalam pendekatan ini guru lebih fokus pada kondisi awal siswa dan melakukan penyesuaian yang terbaik agar mereka dapat belajar. Guru pada pendekatan ini biasanya memiliki sikap empatik dan komunikatif secara personal dengan siswa. Ia dapat membangun rasa saling percaya dengan mereka. Selain itu siswa juga diberi kesempatan untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran.
  3. Guru liberasionis. Pada pendekatan ini seorang guru memiliki kemampuan yang tinggi untuk membuka pikiran siswa sehingga secara bertahap mereka akan menjadi pelajar mandiri. Proses pembelajaran pada pendekatan ini benar-benar diarahkan pada kondisi dan kebutuhan hidup siswa. Belajar diharapkan benar-benar lahir dari kesadaran dan kemerdekaan berpikir mereka.
Kelebihan buku pendekatan pembelajaran yang disajikan oleh Fenstermacher dan Soltis (2004) adalah pada kemauan mereka untuk tidak hanya fanatik pada satu pendekatan saja. Ketiganya memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga ketiganya dapat sama-sama digunakan dengan pengaturan yang baik. Bagi yang tertarik untuk mempelajari bagaimana pelaksanaan dan pemaduan ketiga pendekatan tersebut dalam pembelajaran dipersilahkan untuk membaca buku yang tertera pada referensi di akhir artikel ini.

Perkembangan ilmu di bidang pendidikan tampaknya semakin mengarah pada keterpaduan yang lebih fleksibel. Tujuannya adalah untuk menutupi celah-celah yang pasti dimiliki oleh setiap pendekatan, metode atau model pembelajaran yang ada.


Referensi:
Fenstermacher, Gary D., Soltis, Jonas S. (2004). Approaches to Teaching. Edisi Keempat. New York: Teachers College Press.

Tuesday, 20 September 2016

Asesmen Sumatif dan Formatif

Konsep mengenai asesmen sumatif dan formatif diperkenalkan kira-kira 40 tahun silam oleh Michael Scriven. Saat itu istilah yang ia gunakan adalah evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan pada saat program masih berjalan, sehingga konsekuensinya dapat meningkatkan kualitas program. Sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan di akhir program, yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas program dan kelayakan apakah program dilanjutkan atau tidak.

Konsep formatif dan sumatif tersebut ternyata benar-benar bermanfaat sehingga saat ini sudah sangat dikenal dan digunakan secara luas. Istilah evaluasi yang kecenderungannya dilakukan di akhir proses menjadi lebih digantikan oleh asesmen (Secara lebih jelas perbedaan evaluasi dan asesmen dapat anda baca di artikel lain yang kami posting).

Kemampuan asesmen formatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung membuat asesmen ini mendapatkan banyak perhatian dari para ahli dan praktisi pendidikan. Popham (2009) mendefinisikan asesmen formatif sebagai sebuah proses terencana dimana bukti-bukti mengenai kondisi belajar siswa digunakan oleh guru untuk melakukan penyesuaian pada pembelajaran yang sedang berlangsung atau juga digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan teknik belajar mereka.

Dalam pembelajaran sehari-hari kita mungkin mengenal asesmen formatif dalam bentuk ulangan harian, kuis, atau bahkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Pentingnya nilai-nilai dari ulangan harian, kuis atau tugas-tugas untuk segera diberikan kepada siswa adalah agar nilai-nilai tersebut dapat mengarahkan siswa untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam belajarnya. Sayangnya, masih banyak kita jumpai guru yang tidak menyelesaikan penilaian tepat waktu, bahkan hingga berlarut-larut di akhir semester.

Asesmen formatif dapat dilakukan dalam berbagai bentuk

Kita kini menjadi tahu bahwa fungsi asemen formatif tidak akan terwujud jika guru tidak menyelesaikan penilaian terhadap berbagai bentuk dari asemen yang diberikan dengan tepat waktu. 

Asesmen sumatif dilakukan di akhir program pembelajaran. Penentuan kualitas belajar siswa secara keseluruhan, apakah tujuan pembelajaran telah tercapai dan kelayakan mereka untuk naik ke kelas selanjutnya dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek, terutama nilai ujian akhir. Melalui asemen sumatif ini kita dapat mengetahui bagaimana gambaran kualitas pembelajaran secara utuh.


Buku Rujukan:
Popham, W James. 2009. Instruction That Measures Up. Alexandria: ASCD

Saturday, 17 September 2016

Hakekat Sains dan Pengajarannya

Sains begitu berpengaruh terhadap kehidupan manusia saat ini. Besarnya manfaat sains bagi kehidupan manusia membuatnya menjadi salah satu hal yang wajib diajarkan di sekolah, termasuk di negara kita. Kenyataannya banyak guru yang masih kurang tepat mengajarkan sains sehingga siswa tidak memperoleh manfaat yang semestinya. Untuk mengajarkan sains dengan tepat, kita harus memahami dahulu apa hakekat dari sains.

Banyak ahli yang mencoba mengartikan sains, dengan kalimat yang berbeda namun sebenarnya memiliki satu pemahaman. Salah satunya menurut Chiappetta dan Koballa (2010), sains adalah suatu studi mengenai alam dalam rangka memahaminya dan membangun pengetahuan terorganisir yang memiliki kekuatan prediktif serta dapat diaplikasikan di masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, seorang saintis atau orang yang mendalami sains memiliki tiga kewajiban dasar yaitu memahami, menjelaskan dan mengaplikasikan sains. Mengajarkan sains juga meliputi ketiga aspek tersebut yaitu mengajari siswa untuk mampu memahami konsep dalam sains, mampu menjelaskannya baik secara tertulis maupun oral serta mengaplikasikannya dalam laboratorium maupun kehidupan sehari-hari.

Lebih khusus, berdasarkan pengertian sains tersebut di atas, sains dapat diurai menjadi empat dimensi yang saling melengkapi:
  1. Sains sebagai cara berpikir. Hal utama dalam proses untuk menghasilkan pengetahuan dalam sains adalah sikap dan cara berpikir saintis. Beberapa karakter berpikir saintis antara lain keyakinan, ketertarikan pada fenomena alam, imajinatif, selalu menggunakan akal sehat (logis), skeptif yang sehat, obyektif dan terbuka. Beberapa karakter tersebut menunjukkan bahwa sains juga memiliki aspek sikap (attitude) yang lebih dikenal dengan istilah sikap ilmiah.
  2. Sains sebagai cara menyelidiki. Untuk menghasilkan pengetahuan yang valid secara ilmiah maka seorang saintis harus menguasai beberapa keterampilan seperti melakukan observasi, eksperimen, membuat hipotesis dan menguasai matematika. 
  3. Sains sebagai pengetahuan. Dimensi ini merupakan dimensi yang paling kita kenal dari sains. Berbagai jenis pengetahuan yang kita baca di buku-buku teks atau jurnal yang dapat membuat kita lebih memahami alam adalah produk dari sains. Tingkat kebenaran dan keluasan pengetahuan berbeda satu dengan yang lain. Untuk itu pengetahuan ilmiah terbagi menjadi fakta, konsep, prinsip, hukum, teori dan model.
  4. Sains berinteraksi dengan teknologi dan masyarakat. Selain pengetahuan, produk sains selanjutnya adalah teknologi yang dapat membantu kehidupan masyarakat. Karena itu perkembangan sains sangat berkaitan erat dengan teknologi dan masyarakat.

Keempat dimensi sains tersebut di atas merupakan kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sains tumbuh, berkembang dan mengalami proses selalu dengan melibatkan keempat-empatnya. Karena itu mengajarkan sains hanya pada dimensi pengetahuan, misalnya, hanya akan menghasilkan persepsi dan metode yang salah mengenai sains.


Buku Rujukan:
Chiappetta, Eugene L., Koballa, Thomas R. 2010. Science Instruction in The Middle and Secondary Schools. Edisi Ketujuh. Boston: Allyn and Bacon  

Wednesday, 14 September 2016

Fungsi Asesmen bagi Pembelajaran

Setiap guru pasti mengadakan ulangan atau ujian. Setelah ulangan atau ujian tersebut maka siswa akan memperoleh nilai berdasarkan kemampuan mereka menyelesaikan soal-soal (umumnya). Berdasarkan nilai itulah akan terlihat mana siswa yang belajarnya bagus dan mana yang tidak. Nilai ulangan atau nilai raport dikenal juga dengan nilai prestasi belajar. 


Mungkin masih banyak guru yang hanya menggunakan asesmen untuk menentukan prestasi belajar siswa saja (grading). Padahal jika kita mau mendalami lebih lanjut, asesmen sebagian besar digunakan untuk belajar itu sendiri. Yaitu melalui informasi yang diperoleh setelah asesmen guru dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya atau fungsi-fungsi yang lain. Asesmen sendiri dapat difenisikan sebagai proses untuk memperoleh informasi yang akan digunakan untuk mengambil keputusan mengenai siswa, kurikulum, program, sekolah atau bahkan kebijakan pendidikan.

Brookhart dan Nitko (2008) menjelaskan bahwa terdapat banyak fungsi asesmen. Berikut ini adalah fungsi-fungsi tersebut:
  1. Merancang target pembelajaran. Melalui soal atau kinerja yang disusun dalam asesmen saat merancang pembelajaran, guru dapat menentukan secara spesifik kemampuan seperti apa yang akan menjadi target pembelajaran. 
  2. Memotivasi siswa. Asesmen juga dapat digunakan untuk mendorong dan memotivasi siswa untuk terus belajar. Agar terpenuhi fungsi ini maka asesmen yang dibuat harus benar-benar sesuai level kesulitannya dengan kemampuan siswa (tidak terlalu sulit atau terlalu mudah).
  3. Memberi umpan balik pada siswa. Berdasarkan asesmen yang dilakukan, guru dapat memberikan umpan balik pada siswa tentang bagaimana kesalahan yang harus diperbaiki agar kemampuan belajarnya lebih meningkat lagi. Salah satu jenis asesmen yang berfungsi untuk ini adalah tes diagnostik, untuk lebih jelasnya silahkan baca atau download pada link ini http://metastead.com/3mCs
  4. Memberi umpan balik pada guru. Hasil asesmen juga akan memberikan informasi kepada guru tentang bagaimana kualitas mengajarnya. Jika siswa belum mencapai tujuan pembelajaran, maka guru dapat mengadakan remidi. Sebalinya, jika siswa telah menguasai tujuan pembelajaran di awal maka guru dapat memberikan materi pengayaan.
  5. Memperingkat atau memberi nilai prestasi belajar. Melalui asesmen guru dapat menentukan bagaimana prestasi belajar siswa. Nilai dapat berupa angka (misalnya 1-100) atau huruf (misalnya A-E).
  6. Menyeleksi atau menempatkan siswa. Asesmen seperti ini biasanya diberikan di awal masuk sekolah, untuk menentukan apakan seorang calon siswa diterima atau tidak, atau apakah akan ditempatkan di kelas atas atau bawah (jika sekolah tersebut membagi kelas berdasarkan level kemampuan).
  7. Bimbingan karir siswa. Melalui nilai-nilai mata pelajaran yang diperoleh siswa dapat dibimbing untuk secara rasional mengeksplorasi dan menentukan karir atau jenis pendidikan lanjut yang akan dipilihnya.
Dengan demikian, seorang guru dapat melakukan banyak hal dari informasi yang didapatkannya melalui asesmen. Tentu saja untuk dapat memperoleh fungsi-fungsi asesmen di atas, terdapat keterampilan-keterampilan khusus yang harus dikuasai.


Buku Rujukan:
Brookhart, Susan M. & Nitko, Anthony J. 2008. Assessment and Grading in Classroom. Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall

Thursday, 8 September 2016

Membimbing Siswa Belajar dengan Internet

Teknologi informasi telah demikian berkembang. Tidak hanya orang dewasa, teknologi internet telah merambah kehidupan anak-anak, bahkan anak kecil. Tanpa diminta oleh guru atau orang tua, anak-anak dengan cepat beradaptasi dan belajar menggunakan internet. Oleh karena itu tidak tepat rasanya apabila guru-guru masih berpandangan internet negatif dan harus dihindari dalam pembelajaran. Justru dengan bimbingan guru para siswa bisa memperoleh pengalaman positif dengan internet.


Bagaimana cara guru untuk menjaga agar siswa menggunakan internet dengan aman? Berikut ini adalah cara yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat belajar dengan bantuan internet secara aman.
  1. Guru terlibat ketika menggunakan internet. Misalnya guru membentuk grup facebook belajar dengan para siswa di mata pelajaran tertentu. Komunikasi yang lebih nyantai perlu dibangun agar komunikasi melalui grup tersebut berjalan lancar. 
  2. Cari sumber-sumber belajar di internet yang menyenangkan, baik berupa artikel ataupun video. Rasa bosan menjadi penyebab utama siswa tidak tertarik untuk mengikuti sajian belajar melalui internet oleh guru mereka. Sebenarnya di internet (misalnya YouTobe) banyak pihak yang secara kreatif menyediakan sumber belajar yang menyenangkan bagi anak. Guru harus berusaha untuk menemukan link-link tersebut. Bisa dengan mencari sendiri atau meminta bantuan guru lain yang lebih akrab dengan internet.
  3. Carilah ajang-ajang kompetisi yang dapat diikuti oleh siswa atau bersama guru di situs tertentu. Pengalaman positif seperti itu akan memberi pengalaman positif yang tak terlupakan bagi siswa.
  4. Guru memberi contoh bagaimana berkreasi dengan menggunakan internet. Misalnya dengan membuat blog atau web pembelajaran atau pengetahuan umum yang menarik. Anak-anak biasanya mudah merasa kagum pada guru yang kreatif menggunakan teknologi. Ketika mereka sudah memiliki perasaan seperti itu maka anda akan lebih mudah untuk mengarahkan bagaimana mengguanakn internet secara bijak.
Satu syarat yang harus dimiliki guru agar dapat menerapkan langkah-langkah di atas, yaitu kemampuan yang cukup dapat menggunakan atau berkreasi di ineternet. Kelemahan guru-guru yang sudah senior adalah banyak yang penguasaan internetnya justru jauh tertinggal dibandingkan siswa.


Referensi:
https://elearningindustry.com/the-teacher-guide-to-keeping-students-safe-online

Ilustrasi:
https://pixabay.com

Wednesday, 7 September 2016

Kesiapan Sekolah Menurut UNICEF

Kesuksesan siswa untuk belajar di sekolah salah satunya dipengaruhi oleh kesiapannya untuk belajar di sekolah. Pada dasarnya anak-anak selalu mengalami proses belajar, jauh sebelum mereka memasuki sekolah, bahkan sejak pertama dilahirkan. Namun belajar di sekolah memiliki karakter khusus yang berbeda dengan belajar di rumah. Oleh karena itu kesiapan sekolah (school readiness) sangat mempengaruhi keberhasilan mereka untuk "bersekolah."


Pada tahun 70-an kesiapan sekolah oleh para ahli lebih dipahami sebagai kesiapan diri siswa (baik secara fisik terutama mental) untuk belajar di sekolah. Dalam hal ini yang menjadi fokus dari kesiapan tersebut benar-benar adalah diri siswa saja. Dalam perkembangannya definisi kesiapan sekolah mengalami perkembangan, tidak hanya menyangkut diri siswa. Ada dimensi-dimensi tambahan yang berkaitan dengan kesiapan sekolah.

Menurut Unicef (2012) terdapat tiga dimensi kesiapan sekolah sebagai berikut:
  1. Kesiapan anak, yaitu kesiapan fisik dan mental siswa untuk belajar baik dari aspek kognitif, emosional ataupun sosial.
  2. Kesiapan institusi sekolah, yaitu kesiapan lingkungan sekolah dan berbagai perangkat praktis di dalamnya yang dapat mendukung anak untuk melewati masa transisi dari belajar di rumah ke belajar di sekolah secara bertahap dan halus. Lingkungan sekolah juga harus dapat mendukung semua anak untuk belajar (tidak hanya untuk golongan tertentu saja).
  3. Kesiapan keluarga, yaitu kesiapan sikap dan keterlibatan orang tua atau pengasuh anak dalam proses belajar yang dialami anak hingga benar-benar dapat belajar secara mandiri nantinya.
Dalam definisi di atas dapat kita pahami bahwa keberhasilan anak untuk belajar di sekolah terutama pada fase trasisi sifatnya adalah kompleks. Perhatian hanya pada satu dimensi saja menurut penelitian dapat menjadi penghambat serius bagi anak untuk beradaptasi dengan kondisi sekolah sehingga mereka tidak mampu belajar dengan baik.


Buku Rujukan:
UNICEF. 2012. School Readiness, a Conceptual Framework. New York: UNICEF

Monday, 5 September 2016

Perkembangan Fisik dan Pengalaman Belajar Anak

Lindon (2010) menyatakan bahwa anak-anak pada usia dua tahun berpikir dengan otot mereka, bukan dengan otak. Ungkapan ini tentu memunculkan tanda tanya bagi kita, tentunya ada karakter yang khusus pada diri anak-anak terkait dengan perkembangan mereka. Kata otot sebagai organ berpikir tentu memiliki makna bahwa organ tersebut berperan penting bagi anak pada usia dua tahun.

Anak-anak belajar terutama melalui interaksi mereka secara fisik dengan lingkungan. Lihatlah bagaimana senangnya mereka memainkan obyek-obyek baru seperti mainan atau bahkan alat-alat rumah tangga yang digunakan oleh orang tuanya. Ketika seorang anak memegang sebuah sapu, jangan bayangkan bahwa ia akan menggunakan sapu tersebut sebagaimana mestinya (membersihkan lantai). Tidak, lihatlah bagaimana mereka akan memanipulasi sapu itu untuk berbagai aksi, misalnya sebagai pedang, pemukul lantai, atau bahkan sebagai kuda-kudaan. Semua benda di tangan anak-anak akan berubah fungsi.

Sejak bayi, anak-anak telah tertarik dengan berbagai benda di sekitar mereka, terutama benda-benda yang baru dan aneh. Mereka ingin menyentuh, memegang dan bahkan merasakan semua benda yang mereka lihat. Mereka bereksperimen dengan dunia di sekitarnya. Menurut penelitian (Lindon, 2010) diketahui bahwa berbagai interaksi anak dengan benda-benda di sekitarnya akan menstimulasi koneksi antar neuron di otak. Ketika interaksi tersebut dilakukan berulang-ulang maka koneksi antar neuron akan menjadi semakin kuat.

Anak-anak juga tidak suka diam. Mereka akan selalu bergerak, selama tubuhnya masih memiliki energi. Gerakan fisik pada anak-anak akan memunculkan semangat pada diri mereka. Karena itu seorang guru atau orang tua ketika mengajari anak-anak prasekolah harus memperhatikan sifat ini. Sajikan belajar melalui permainan yang membuat mereka bergerak.

Mengajak anak ke alam terbuka yang penuh dengan obyek-obyek alami serta membiarkan mereka bermain dan bergerak bebas dengan demikian sangat baik untuk perkembangan fisik, emosional dan kognitifnya. Gerakan bebas mereka akan menguatkan dan meningkatkan kemampuan motorik, bersamaan dengan itu mereka akan mengalami emosi positif. Yang terakhir, interaksi semua obyek akan menginduksi koneksi antar neuron di otak.

Aktivitas outdoor sangat baik untuk fisik, emosi dan kognisi anak

Salah satu prinsip belajar yang diterapkan pada masa anak-anak disebut hands-on learning, yaitu belajar dimana anak-anak secara aktif melakukan aktivitas-aktivitas motorik yang bervariasi dan menyenangkan. Lebih lanjut Elinor Goldschmied, Anita Hughes dan Gwen Macmichael mengembangkan heuristictic play. Pada aktivitas tersebut anak-anak akan dihadapkan pada bahan-bahan recycle yang bida dimanfaatkan untuk bermain (namun bukan berupa mainan jadi yang biasa digunakan). Guru atau orang tua mengamati dan membantu jika dibutuhkan. Dengan aktivitas tersebut diharapkan daya imajinasi, kreativitas dan sekaligus kemampuan fisik anak berkembang dengan pesat.


Buku Rujukan:
Lindon, Jennie. 2010. Understanding Child Development, Linking Theory and Practice. Edisi Kedua. London: Hodder Education.

Sunday, 4 September 2016

Guru Harus Berusaha Tahu dan Memanfaatkan Nama Siswanya

Proses komunikasi, termasuk juga komunikasi dalam pembelajaran, membutuhkan kedekatan psikologis. Hal sederhana dan pertama yang harus guru usahakan agar proses komunikasinya dengan para siswa lancar adalah mengetahui dan menggunakan nama para siswanya. Meskipun nampak sederhana, namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Page (2008), penggunaan nama siswa oleh guru ketika mengajar dapat memberi dampak besar bagi keberhasilan pembelajaran.

Guru Menyapa Siswa Dalam Pembelajaran

Berbagai strategi dan pendekatan pembelajaran bisa dipilih oleh guru ketika hendak mengajar, bergantung pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Pertama kali yang harus diperhatikan oleh guru adalah memastikan bahwa situasi yang aman untuk belajar telah tercipta. Selain itu juga siswa merasa diperhatikan/dipedulikan sehingga mereka merasa benar-benar menjadi bagian dari kelas (proses pembelajaran). Umumnya siswa tidak akan mempedulikan pelajaran di sekolah sebelum mereka merasa dipedulikan atau diperhatikan di sekolah.

Seperti yang telah disebutkan di awal, salah satu cara guru untuk menciptakan suasana yang aman dan penuh perhatian adalah dengan mengetahui nama para siswanya. Untuk kemudian mau menggunakan nama-nama tersebut dalam berinteraksi dengan mereka, baik di dalam kelas saat pembelajaran maupun di luar kelas.

Guru yang mengetahui dan mau menggunakan nama para siswanya mengindikasikan bahwa ia:
  1. Cukup peduli atau perhatian pada siswa.
  2. Mau menjalin hubungan secara individual dengan para siswa. Hal ini memunculkan rasa nyaman pada diri mereka.
  3. Menunjukkan sikap percaya diri (tidak ragu menyebut nama siswa untuk keperluan-keperluan tertentu dalam pembeajaran).
  4. Menganggap bahwa para siswa bukanlah sosok-sosok yang asing.
  5. Menunjukkan penguasaan guru terhadap siswa dengan cara yang baik.
Mungkin masih banyak kita temui para guru yang tidak menggunakan nama siswanya ketika berinteraksi atau berkomunikasi di dalam kelas. Dampaknya tentu saja adalah terciptanya jarak psikologis antara guru dan siswa.

Mengenali sekian banyak siswa bagi beberapa guru mungkin terasa sangat menyulitkan. Untuk itu tidak perlu harus hafal keseluruhan nama siswa dalam satu waktu sekaligus. Proses mengenali mereka dapat dilakukan secara bertahap, yang penting anda telah menunjukkan suatu usaha yang cukup untuk mengenali mereka dari waktu ke waktu. 


Buku Rujukan:
Page, Marilyn L. 2008. You Can't Teach until Everyone is Listening. Thousands Oaks: Corwin Press

Friday, 2 September 2016

Interaksi Sosial yang Positif antara Guru dan Siswa

Guru sebagai pembimbing dan pengajar bukanlah sosok yang benar-benar terpisah dari para siswa. Dalam falsafat pendidikan nasional kita kenal satu prinsip ing madyo mangun karso yang berarti di tengah-tengah para siswa seorang guru dapat membangun dan menguatkan kemauan siswa untuk belajar. Dalam prinsip ini seorang guru harus bisa berada di antara siswa, dalam arti menjalin suatu hubungan dan interaksi sosial yang positif dengan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian, interaksi sosial yang positif tidak hanya memberi mereka semangat untuk belajar. Melalui interaksi tersebut akan terbangun suatu rasa percaya diri, serta rasa ikut memiliki terhadap kelas dan proses pembelajaran yang dilakukan (Stronge, 2007).

Relasi positif antara guru dan siswa dapat meningkatkan semangat dan percaya diri siswa

Bagaimana cara agar guru dapat menjalin suatu interaksi sosial yang positif dengan siswa? Sehingga melalui interaksi tersebut akhirnya siswa akan lebih bersemangat dan memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. Dan berproses menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan masyarakat. Dalam artikel ini akan diketengahkan beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh guru untuk menjalin interaksi sosial yang positif dengan siswa. 

Berdasarkan beberapa penelitian (dalam Stronge, 2007) berikut ini beberapa langkah yang dapat dilakukan guru untuk menjalin interaksi sosial yang positif dengan siswa:
  1. Berupaya untuk bersikap bersahabat dengan siswa secara konstan (artinya tidak hanya sewaktu-waktu).
  2. Dalam pembelajaran, seringkali guru bekerja bersama siswa, tentu saja dengan pembagian peran yang tepat.
  3. Memberi siswa tanggung jawab dan juga rasa hormat sebagaimana layaknya seorang dewasa (terutama bagi mereka yang mulai menginjak masa remaja).
  4. Melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Misalnya pada penentuan tema aktivitas atau beberapa hal yang akan dilakukan sepanjang proses pembelajaran yang akan berpengaruh pada kesuksesan proses tersebut. Contoh lain adalah adanya sesi penyampaian pendapat dan kritikan mengenai proses belajar yang telah dilalui.
  5. Guru yang efektif memiliki (dan berusaha meluangkan) waktu untuk berinteraksi dengan siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. 
  6. Belajar untuk menggunakan humor dalam interaksi dengan siswa. Tentu saja humor yang digunakan memperhatikan aspek kepantasan (etika) dan tidak mengganggu tujuan utama pembelajaran.
Langkah-langkah di atas tentu dapat mengalami variasi dalam penerapannya. Guru memiliki karakter khusus yang membutuhkan penyesuaian dengan diri siswa atau kondisi sekolah. Dalam proses adaptasi tersebut butuhkan ketelitian, perenungan dan kesabaran.


Buku Rujukan:
Stronge, James H. 2007. Qualities of Effective Teachers. Edisi Kedua. Alexandria: ASCD