Thursday, 4 February 2016

Pandemi Pendidikan : Menyontek

Menyontek adalah satu istilah yang begitu terkenal dalam dunia pendidikan zaman sekarang. Mulai dari Anak Sekolah dasar hingga mahasiswa pascasarjana banyak yang terjerat dalam penyakit yang mematikan intelektualitas dan karakter ini. Untuk Indonesia, kecilnya angka kejujuran di UNAS seolah menjadi tanda-tanda bahwa menyontek adalah bencana nasional. Darurat nasional sepertinya harus segera diberlakukan.

Menyontek bukan hanya bencana nasional, namun telah menjadi pandemi atau bencana internasional. Seperti misalnya di Amerika Serikat, berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan Profesor Donald McCabe dari Rutgers University pada tahun 2005, ditemukan bahwa 70% dari siswa SMA sampel penelitiannya ternyata sering melakukan menyontek dalam ujian. Kemudian 60% menyatakan sering mengopi (plagiasi) tugas-tugas artikel atau makalah. 

Kasus di Inggris yang menghebohkan adalah laporan mengenai 50.000 mahasiswa (dalam tiga tahun) tertangkap menyontek. Adapun angka menyontek tertinggi terdapat pada University of Kent. Disusul kemudian oleh University of Westmenster.

Peristiwa menyontek di ujian dan plagiasi menjadi semakin parah dengan semakin canggihnya teknologi informasi. Internet dan smartphone, dengan ukuran mini dapat menjangkau berbagai macam informasi dari seluruh dunia dengan cepat. Hal ini diperparah, terutama di daerah pinggiran, oleh kemampuan guru untuk beradaptasi dengan teknologi masih kalah dari siswa.

Mengapa ketidakjujuran akademik alias menyontek dilakukan? Sebuah penelitian psikologi yang dilakukan oleh Charles Drake pada tahun 1941 dan 1969 menyebutkan bahwa sebab utama aktivitas menyontek adalah tekanan dan rasa takut untuk gagal. Tekanan dan rasa takut pada anak-anak sekolah biasanya didapatkan dari orang tua yang kurang mengerti kondisi anak dan memberi mereka target yang tidak sesuai.

Tuntutan yang tidak realistis dari orang tua dapat menyebabkan anak menyontek

Bagi orang yang sudah lebih dewasa, kemungkinan menyontek bukan lagi berasal dari tekanan orang tua. Bisa jadi karena menyontek telah menjadi kebiasaan, pengaruh teman-teman sesama mahasiswa, keinginan berprestasi namun tidak mampu-malas dan juga peluang besar untuk melakukannya. Tentu saja sebab-sebab dari dalam diri sendiri lebih besar pengaruhnya daripada sebab-sebab eksternal seperti teman dan kesempatan.



Rujukan:
https://en.wikipedia.org/wiki/Cheating
http://www.independent.co.uk/student/news/uk-universities-in-plagiarism-epidemic-as-almost-50000-students-caught-cheating-over-last-3-years-a6796021.html

Monday, 1 February 2016

Literasi Visual

Gambar (visualisasi obyek) di kehidupan modern tidak hanya berperan sebagai media hiburan. Komunikasi di berbagai bidang kehidupan telah banyak yang menggunakan visual. Jika anda berjalan maka di sepanjang jalan akan anda temui gambar-gambar penuh makna. Demikian pula dengan berbagai produk barang, makanan dan obat-obatan, satu atau dua gambar tertentu dapat mewakili informasi penting yang cukup banyak.

Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan berbagai gambar tersebut di atas sangatlah penting. Untuk itu literasi visual menjadi salah satu kompetensi yang juga harus diajarkan di sekolah, meskipun tidak benar-benar disebutkan secara tertulis dalam kurikulum. Guru dapat menyisipkan kemampuan tersebut melalui berbagai materi pelajaran, metode dan media yang digunakan.

Literasi visual atau melek gambar adalah suatu kemampuan yang terdiri atas dua subkemampuan utama, yaitu:
  1. Kemampuan mengurai makna (menafsirkan) visual. Makna dari gambar-gambar yang ada di sekitar kita tidak dapat kita pahami betul jika tidak dipelajari. Untuk mengajarkan kemampuan memahami dan menafsirkan gambar perlu diketahui beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu usia, budaya dan preferensi (kesukaan) anak.  
  2. Kemampuan menyandikan (membuat) visual. Membuat gambar-gambar dengan makna tertentu merupakan kemampuan lebih lanjut dari literasi visual. Untuk memproduksi gambar tentu saja seseorang akan dituntut untuk mengaktifkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Di era teknologi telah banyak program berbasis kumputer yang bisa digunakan untuk membuat gambar-gambar dengan berbagai tujuan.
Selain membuat siswa dapat mengembangkan literasi visual, penggunaan metode atau bahan visual dalam pembelajaran dapat mengarahkan perhatian, meningkatkan motivasi belajar dan mengulangi informasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.

Smaldino, Lowther dan Russel (2011) menyebutkan dua strategi pengajaran di kelas yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan kemampuan literasi visual.
  1. Strategi input. Yaitu suatu strategi untuk mengajarkan kemampuan menguraikan makna atau memahami visual. Misalnya dengan meminta mereka menganilis sebuah gambar, atau mendiskusikan suatu tayangan video tertentu.
  2. Strategi output. Yaitu suatu strategi untuk mengajarkan kemampuan menyandikan atau membuat visual. Misalnya dengan cara mengadakan presentasi dan diskusi kelompok dengan meminta presentasi yang menyertakan aspek visual di dalamnya (bisa berupa gambar obyek, bagan atau grafik).

Contoh strategi output: visualisasi alam

Literasi visual merupakan bagian dari literasi informasi secara umum. Untuk lebih memahami bagaimana keterkaitan dan dampaknya terhadap pendidikan, anda dapat membaca atau mendownload artikel jurnalnya dalam link berikut http://metastead.com/7Xr5

Buku Rujukan:
Smaldino, Sharon E. Lowther, Deborah L. Russel, james D. 2011. Instructional Technology & Media for Learning. Edisi Sembilan. Terj. Arif Rahman. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group