Sunday, 31 January 2016

Teknologi dan Media dalam Pembelajaran

Istilah teknologi dan media sudah tidak asing bagi guru atau praktisi pendidikan. Walaupun begitu kadang masing kita temui kesalahan pemahaman mengenai teknologi dan media. Misalnya teknologi dianggap hanya berupa alat-alat canggih seperti televisi, hp atau internet. Untuk itu artikel ini akan mengulas secara singkat pengertian teknologi dan media dalam pembelajaran.

Teknologi berasal dari kata Yunani techne yang artinya kemampuan dan logia yang dapat diartikan sebagai ungkapan. Secara ringkas teknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan pengetahuan dalam bentuk perkakas (alat) dan keterampilan (metode). Berdasarkan pengertian ini dapat dipahami bahwa teknologi tidak hanya alat-alat terbaru seperti internet melainkan semua alat atau keterampilan sebagai bentuk penerapan pengetahuan tertentu. 

Teknologi pembelajaran tidak harus berupa alat canggih

Adapun media berasal dari bahasa latin medium yang berarti antara atau perantara. Media dalam hal ini umumnya didefinisikan sebagai perantara dalam proses komunikasi. Media berperan sebagai pembawa informasi dari sumber menuju penerima informasi dalam peristiwa komunikasi.

Smaldino, Lowther dan Russel (2011) menyebutkan ada enam jenis media yaitu sebagai berikut:
  1. Teks, yaitu karakter alfanumerik yang digunakan untuk menyimbolkan suatu informasi tertentu dan ditampilkan dalam berbagai bentuk seperti buku, poster, papan tulis, layar komputer dan lain sebagainya.
  2. Audio, adalah media yang berbasis pendengaran (suara). Suara tersebut bisa langsung diperdengarkan atau dengan direkam terlebih dahulu misalnya melaui radio dan MP3 player.
  3. Visual, adalah media melalui diagram atau gambar. Bentuk-bentuk perangkat yang tergolong ke dalam media visual antara lain poster, foto, gambar di papan tulis dan lain sebagainya.
  4. Video, adalah media yang menggunakan gambar bergerak sebagai pembawa informasi. Contoh media video adalah VCD, DVD, televisi, animasi komputer dan lain sebagainya.
  5. Perekayasa, adalah benda-benda tiga dimensi yang dapat disentuh digunakan untuk menyampaikan informasi biasanya berupa model atau benda nyata.
  6. Orang, dalam hal ini adalah orang yang memiliki informasi penting terkait subyek yang dibahas. Misalnya adalah guru dan ahli.
Teknologi dan media memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Bahkan dapat dikatakan pembelajaran mustahil berlangsung tanpa adanya teknologi dan media. Yang perlu diperhatikan guru dengan seksama adalah memastikan kesesuai tujuan dan materi pembelajaran dengan teknologi dan media yang dipilih.  Dalam teori di atas, guru juga dimasukkan ke dalam salah satu bentuk media.


Buku Rujukan:
Smaldino, Sharon E. Lowther, Deborah L. Russel, james D. 2011. Instructional Technology & Media for Learning. Edisi Sembilan. Terj. Arif Rahman. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Friday, 29 January 2016

Ciri-ciri Sekolah yang Baik menurut William Glasser

"Anak-anak bermasalah kedisiplinan tidak akan muncul di sekolah atau kelas yang dapat memenuhi kebutuhan mereka" (Gough, 1987).

Ketika sebuah sekolah telah menyediakan sebagian besar kebutuhan psikologis siswa maka kecil kemungkinan bagi mereka untuk secara sengaja melakukan pelanggaran-pelanggaran kedisiplinan. Demikian pula akhirnya guru menjadi tidak terlalu stres oleh permasalahan manajemen kelas. 

Kita bayangkan saja sebuah tembat berbelanja yang telah mencukupi berbagai kebutuhan para konsumennya, maka kondisi tempat tersebut akan relatif tenang dan tanpa kegaduhan. Namun jika kebutuhan-kebutuhan tertentu tinggal sedikit sementara pembelinya banyak maka kegaduhan bahkan konflik akan muncul. 

Bagaimana sekolah yang bagus itu? Glasser menyatakan dengan ringkas bahwa sekolah yang bagus adalah tempat dimana hampir semua siswa yakin jika mereka mengerjakan tugas-tugas dan aktivitas yang diberikan maka itu akan memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka, sehingga perasaan itu akan terus mempertahankan mereka untuk beraktivitas.

Selanjutnya Glasser juga memaparkan beberapa ciri penting dari sekolah yang bagus seperti pada definisinya di atas.
  1. Hampir semua anggota sekolah, terutama orang-orang dewasa, bersikap sopan. Semakin dewasa semakin menunjukkan kesopanan.
  2. Sering terdengar suara tawa yang muncul karena keasyikan dalam aktivitas-aktivitas belajar atau mengajar mereka (jadi yang menikmati bukan hanya siswa namun juga para guru).
  3. Pengajaran dipraktikkan, tidak hanya disampaikan atau dinasehatkan. Pengajaran pada aspek akademik atau moral tidak hanya bersifat teoretis tetapi langsung diterapkan dalam kenyataan. Aturan di sekolah dibentuk bersama, bukan bersifat pemaksaan sepihak.
  4. Struktur sekolah secara aktif mendukung dan berpartisipasi dalam upaya-upaya untuk menumbuhkan kedisplinan dan tanggung jawab.
Keceriaan guru dan siswa dalam aktivitas belajar-mengajar adalah salah satu ciri sekolah yang baik


Buku Rujukan:
Tauber, Robert T. 2007. Classroom Management, Sound Theory and Effective Practice. Westport: PRAEGER

Penerapan Teori Tujuan Martin Ford untuk Memotivasi Siswa

Manusia adalah makhluk dengan akal dan keinginan-keinginan. Ada perilaku yang sifatnya responsif, artinya hanya menyesuaikan dengan tuntutan sekitar. Namun perbedaan makhluk berakal adalah terutama pada tujuan yang dibuatnya. Jika hewan mencari makan atau berkelahi karena tuntutan biologisnya saat itu, maka manusia yang lapar justru dapat berperilaku tidak mencari makan karena memiliki tujuan yang lain.

Berdasarkan contoh di atas, kita menyadari bahwa tujuan memegang peranan penting dalam memotivasi perilaku manusia. Dengan mengetahui tujuan-tujuan dan kemudian mengarahkan tujuan tersebut, kita sebagai guru kemungkinan besar dapat memotivasi siswa dengan lebih permanen. Jika kita dapat membuat siswa membangun tujuan belajarnya sendiri, maka tanpa adanya tekanan dari siapapun mereka akan terus belajar. Sungguh sangat berharga suatu tujuan bagi hidup manusia.

Belajar karena tujuan internal, bukan karena paksaan, akan lebih tahan lama

Tujuan adalah sebuah komitmen yang dibuat oleh seseorang terhadap dirinya sendiri untuk mencapai hasil tertentu. Tujuan-tujuan tertentu bersifat jangka pendek, misalnya seseorang melakukan permainan tertentu untuk mencapai kesenangan sedangkan orang yang lain melakukan permainan tersebut untuk dapat menerima gaji (karena permainan itu sebagai pekerjaannya). Pada situasi yang lain tujuan dapat bersifat jangka panjang, misalnya seorang anak SD memiliki tujuan untuk bekerja di bidang seni kelak ketika sudah dewasa.

Martin Ford tahun 1992 mengklasifikasikan tujuan-tujuan manusia menjadi 24 tujuan yang kemudian dikelompokkan menjadi enam katagori.
  1. Tujuan afektif: hiburan, ketenangan, kebahagiaan, kesenangan inderawi dan kesejahteraan fisik.
  2. Tujuan kognitif: memuaskan rasa ingin tahu, mencapai pemahaman, tertarik dalam kreativitas intelektual, mempertahankan penilaian diri yang positif.
  3. Tujuan subyektif: penyatuan (pengalaman spiritual akan harmoni dengan orang, alam atau kekuatan yang lebih tinggi), transendensi (pengalaman yang luar biasa tentang keberfungsian diri yang melebihi pengalaman sehari-hari).
  4. Tujuan penegasan diri secara sosial: pengalaman individualitas, kebebasan diri, superioritas dan kepemilikan.
  5. Tujuan hubungan sosial: rasa saling terikat, tanggung jawab sosial, keadilan dan kedermawanan.
  6. Tujuan penyelesaian tugas: penguasaan, kreativitas, manajemen, perolehan meterial dan keamanan.
Jumlah tujuan yang sangat banyak tersebut membuat teori Ford memang terkesan tidak praktis. Terutama karena masing-masing tujuan tersebut memiliki penjelasan yang berbeda secara detail dan mendalam. Namun kelebihannya bagi guru adalah kemampuan teori tersebut untuk melihat tujuan-tujuan mana yang lebih sesuai diarahkan pada siswa. Semakin banyak alternatif tujuan, guru dapat mengarahkan siswa pada tujuan yang lain ketika suatu tujuan yang biasa terasa sulit untuk dicapai dan membuat stres.

Aplikasi teori tujuan dalam pembelajaran di kelas antara lain:
  1. Memberi penekanan kepada siswa untuk lebih terarah pada tujuan-tujuan yang bersifat penguasaan suatu kemampuan daripada penegasan ego di antara teman-temannya.
  2. Guru dapat meminimalisir stres yang dialami siswa karena adanya tuntutan eksternal, yaitu dengan menanamkan tujuan-tujuan belajar yang lebih realistis.
  3. Mencegah siswa untuk membentuk tujuan sekedar mencari aman dalam mengerjakan tugas atau aktivitas belajar.

Buku Rujukan:
Brophy, Jere. 2010. Motivating Students to Learn. Edisi Tiga. New York: Routledge

Thursday, 28 January 2016

Kesalahan Fungsi Teori Belajar bagi Guru

Kata belajar sangat penting artinya bagi seorang guru. Karena tugas guru yang utama adalah membimbing dan mengarahkan para siswa untuk belajar. Selain itu guru juga dituntut untuk senantiasa belajar. Untuk itu hal pertama yang harus dikuasai adalah mengenai proses belajar itu sendiri. Apa yang dinamakan belajar, bagaimana belajar yang baik serta apa pula hambatan-hambatan yang biasanya dihadapi oleh seorang yang belajar. Semua informasi itu dapat diperoleh dalam bidang kajian yang umumnya disebut teori belajar.

Teori belajar berguna bagi guru untuk mengajar atau belajar

Teori adalah seperangkat prinsip-prinsip yang dapat diterima secara ilmiah untuk menjelaskan suatu fenomena. Jika kita berbicara tentang teori belajar maka prinsip-prinsip yang diperoleh secara ilmiah tersebut digunakan untuk menjelaskan secara mendalam mengenai fenomena belajar. Perlu diingat kembali konsep ilmiah menunjukkan bahwa prinsip yang didapatkan harus bersifat logis, sistematis dan empiris (telah teruji biasanya melalui riset).

Teori umumnya tidak hanya berasal dari satu riset, melainkan kumpulan temuan banyak sekali riset. Oleh karena itu di setiap waktu tertentu biasanya terjadi perubahan pada sebuah teori, salah satunya disebabkan oleh riset terakhir yang dilakukan menghasilkan temuan baru.

Teori belajar dapat memandu guru ketika mengarahkan atau membimbing siswa belajar. Dapat juga memandunya ketika juga belajar untuk mengembangkan diri sebagai seorang guru yang berhasil. Perlu diketahui bahwa fungsi teori belajar untuk memandu guru melakukan aktivitas mengajar atau belajar, kadang kurang berjalan karena kesalahan persepsi guru akan teori belajar. Berikut ini beberapa kesalahan persepsi akan teori belajar yang dapat menghambat fungsinya ketika diterapkan.
  1. Anggapan bahwa teori bersifat tetap (tidak berkembang). Mungkin semasa kuliah seorang guru telah memahami secara mendalam mengenai teori belajar. Namun anggapan bahwa teori tersebut tidak berubah membuatnya tidak mengikuti perubahan yang ada. Perlu diketahui bahwa perubahan kondisi zaman membuat cara belajar terbaik juga berkembang sesuai kehidupan manusia.
  2. Yakin pada satu teori saja. Suatu teori meskipun diperoleh melalui proses ilmiah namun tetap memiliki sudut pandang manusia yang terbatas. Fenomena belajar manusia dalam kajian teori belajar banyak sekali diteliti dan menghasilkan juga banyak teori. Meyakini hanya satu atau sedikit teori secara membuta tentu bukanlah sikap yang tepat. 
  3. Tidak menyesuaikan teori dengan kondisi di lapangan. Teori masih merupakan penjelasan pokok (prinsip-prinsip saja), oleh karena itu guru masih perlu menganalisis permasalahan yang dihadapinya secara hati-hati menggunakan kerangka teori yang digunakan. Bisa jadi teori harus dipadukan, atau diadaptasi dengan kondisi nyata sebelum diterapkan. 
  4. Pemahaman yang kurang tepat akan suatu teori yang dipelajari. Kesalahan fungsi suatu teori ketika diterapkan dapat berawal dari kurangnya pemahaman guru akan teori yang digunakan. Untuk itu mengkaji dan mengkaji lagi suatu teori belajar meskipun merasa telah memahami dan menguasai, akan lebih baik. Apalagi jika guru dapat mendiskusikannya dengan rekan-rekan sesama guru atau orang yang lebih menguasai teori tersebut. Kemungkinan ide-ide yang lebih sesuai dengan kenyataan akan muncul.
  5. Kesalahan di suatu waktu yang membuat teori dianggap tidak bermanfaat. Beberapa kesalahan di atas menyebabkan kurang berfungsinya teori ketika diterapkan saat mengajar. Sayangnya kegagalan tidak disikapi dengan mencoba untuk mempelajari lebih baik atau mencari literatur yang lebih baru, tapi malah menyalahkan teori secara mutlak. Teori dianggap tidak berguna sehingga akhirnya hanya mengajar dengan menggunakan kebiasaan tanpa ada kemauan untuk berubah menjadi lebih baik.
Salah satu yang menghambat siswa untuk belajar adalah ketika mereka melihat guru-gurunya yang justru malas belajar. Di situlah letak tanggung jawab guru untuk terus belajar memperbaiki diri mereka ketika mengajar, salah satunya dengan mengkaji teori belajar secara lebih baik. Kemalasan belajar guru tidak hanya berakibat negatif bagi dirinya, tapi yang lebih besar adalah menjadi contoh buruk bagi para siswa.


Buku Rujukan:
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories, an Educational Perspective. Edisi Enam. Boston: Pearson Education, Inc.

Wednesday, 27 January 2016

Maria Montessori dan Pendidikan untuk Periode Sensitif

Maria Montessori yang lahir di Italia pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1952 merupakan salah satu tokoh pendidikan yang paling berpengaruh di seluruh dunia. Ia tidak hanya meneliti dan mengembangkan teori mengenai pendidikan bagi anak, namun sekaligus sebagai praktisi yang mendirikan sekolah berdasarkan teori yang dikembangkannya. Sekolah Montessori begitu terkenal dan berpengaruh kepada banyak praktisi pendidikan di seluruh dunia, termasuk bapak pendidikan kita yaitu Ki Hadjar Dewantara.

Dalam teorinya mengenai perkembangan anak, Montessori sangat memperhatikan pada periode sensitif yaitu dari masa lahir hingga usia enam tahun. Pada periode ini secara genetis anak akan mengalami berbagai perubahan biologis yang mendukung mereka untuk secara sungguh-sungguh menguasai berbagai keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam hidup seperti berjalan, menggunakan tangan, dan berbicara. Karena usia sensitif berlangsung sejak kelahiran, Montessori menyarankan walaupun anak-anak belum masuk sekolah para orang tua sebaiknya berperan sebagai guru awal. Sebaiknya sejak awal berbagai ketertarikan, ataupun emosi anak telah diamati oleh orang tua secara teliti hingga pada usia 2,5 tahun mereka telah siap untuk masuk sekolah (sekolah Montessori untuk usia sensitif berlangsung dari usia 2,5 hingga 6 tahun).

Aspek pertama yang ditanamkan di sekolah Montessori adalah kebebasan dan kemandirian. Berbeda dengan sekolah dasar umum, dimana anak-anak dilatih untuk mengikuti aturan-aturan yang secara ketat diberlakukan serta mengikuti materi tertentu, di sekolah Montessori anak-anak disediakan materi-materi yang sesuai dengan kecenderungan mereka. Tugas guru adalah mengamati secara teliti pada aktivitas dan materi apa seorang anak benar-benar tertarik dan bertahan lama untuk melakukannya. Menurut Montessori, materi dan aktivitas yang sesuai dengan kecenderungan alami anak akan mendukung vitalitas periode sensitif anak. 

Montessori mengembangkan banyak sekali materi dan aktivitas (tercatat terdapat 400 aktivitas berbeda) untuk mendukung lingkungan yang sesuai dengan pilihan anak. Berdasarkan kondisi belajar seperti itu, maka penghargaan dan hukuman tidak digunakan lagi, Berbagai aktivitas yang disiapkan oleh sekolah Montessori juga kebanyakan akan mengarahkan mereka untuk melakukan berbagai tugas-tugas harian dalam kehidupan sehari-hari.

Sekolah Montessori juga menyiapkan anak-anak pada bidang membaca, menulis, menghitung dan mengukur. Menurut Montessori, masa paling pas untuk menyiapkan (mengenalkan) anak untuk bidang-bidang tersebut adalah antara 4 atau 4,5 tahun. Jika baru dikenalkan pada usia 6 atau 7 tahun akan lebih sulit nantinya.

Karakter utama anak yang juga diperhatikan Montessori adalah ketertarikan yang kuat terhadap alam. Aktivitas-aktivitas diluar ruangan (alam bebas) akan menyediakan kondisi yang sangat menyenangkan anak-anak. Oleh karena itulah banyak di antara aktivitas di sekolah Montessori yang dilakukan di alam bebas.

Anak-anak sangat menyukai belajar di alam bebas

Montessori juga menulis mengenai prinsip dan metode pendidikan untuk anak sekolah dasar (yaitu usia enam hingga 12 tahun). Fokusnya untuk anak usia sekolah dasar adalah pada pengembangan kemampuan intelektual. Ia menyarankan kepada guru sekolah dasar untuk lebih mengarahkan anak-anak pada aktivitas bertanya dan mencari jawaban pertanyaan melalui aktivitas penemuan.


Buku Rujukan:
Farengan, Stephen J. Ness, Daniel. 2005. Maria Montessori. Dalam Encyclopedia of Education and Human Development . Volume Tiga. New York: M.E. Sharpe

Kesalahan Persepsi mengenai Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gardner

Setiap orang tua yang menyekolahkan anaknya pasti berharap agar anak mereka menjadi pintar dan sukses di kehidupannya kelak. Kata pintar dalam persepsi lama adalah suatu kemampuan berpikir, terutama di bidang matematis logis serta kebahasaan. Sedangkan kemampuan lain seperti di bidang seni, musik dan kepekaan pada arah tidak dianggap sebagai suatu kepintaran atau kecerdasan. Alat ukurnya biasanya adalah tes IQ atau ujian tulis di sekolah. 

Persepsi lama akan kepintaran dan kecerdasan membuat banyak anak yang tidak beruntung karena memang lebih cenderung pada kemampuan musik, olah tubuh atau bergaul dengan orang lain. Mereka dianggap sebagai anak bodoh yang hidupnya bakalan susah.

Setiap anak memiliki kemungkinan untuk berbeda kecerdasan

Paradigma baru mengenai kecerdasan dipaparkan oleh seorang ahli psikologi bernama Howard Gardner. Menurutnya terdapat banyak jenis kecerdasan pada manusia yang membantu mereka dalam berbagai aktivitas hidup. Gardner membagi kecerdasan menjadi delapan jenis, semua manusia memilikinya namun ada satu atau beberapa jenis yang lebih menonjol dari yang lain pada masing-masing individu.

Delapan jenis kecerdasan menurut Howard Gardner adalah sebagai berikut:
  1. Kecerdasan matematis-logis. Kemampuan untuk memahami informasi dalam bentuk logika atau numerik. Juga memiliki penalaran yang panjang.
  2. Kecerdasan linguistik (bahasa). Sensitivitas terhadap suara, irama dan makna kata-kata. Juga sensitif terhadap fungsi-fungsi yang berbeda dari bahasa.
  3. Kecerdasan musik. Kemampuan untuk menikmati dan memproduksi irama dan nada. Serta kemampuan untuk menghayati ekspresi musik.
  4. Kecerdasan spasial (ruang).  Kemampuan untuk mempersepsi visual-ruang dengan akurat dan juga mentransformasikannya.
  5. Kecerdasan kinestetik. Kemampuan untuk mengontrol pergerakan anggota tubuh serta menangani benda-benda secara terampil.
  6. Kecerdasan interpersonal. Kapasitas untuk memahami dan merespon secara tepat mood, temperamen, motivasi dan keinginan orang lain.
  7. Kecerdasan intrapersonal. Kemampuan untuk menggali dan memilah perasaan-perasaan yang dimiliki diri serta menggunakannya dalam perilaku. Juga memiliki kemampuan untuk memahami kelemahan, kekuatan serta keinginan-keinginan diri dengan lebih tepat. 
  8. Kecerdasan natural. Kemampuan untuk mengenali dan mengklasifikasi tumbuhan dan hewan yang ditemui di lingkungan sekitar. Juga memiliki keterampilan dalam berinteraksi dan merawat mahkluk-makhluk hidup tersebut.
Teori kecerdasan majemuk begitu populer di kalangan pendidik. Teori ini digunakan secara luas dan bervariasi sesuai kebutuhan di lapangan. Namun seringkali muncul kesalahan persepsi yang akhirnya berakibat pada aplikasi yang kurang tepat. Snowman, McCown & Biehler (2012) menyebutkan tiga salah persepsi terhadap teori kecerdasan majemuk.
  1. Seseorang yang memiliki kekuatan pada salah satu kecerdasan akan dapat menghadapi berbagai tugas terkait kecerdasan tersebut dengan baik. Tidaklah demikian. Seorang siswa yang mampu membaca dan menulis artikel dengan baik (karena memiliki kekuatan pada kecerdasan linguistik) belum tentu dapat membuat puisi yang indah pula. 
  2. Kemampuan sudah ditakdirkan. Kecerdasan dapat juga mengalami perubahan (apalagi kemampuan) sesuai dengan bagaimana penggunaan kecerdasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat banyak faktor yang menentukan kemampuan seseorang selain kecerdasannya, seperti motivasi atau pengalaman traumatis tertentu.
  3. Setiap anak harus diajar semua pelajaran dengan delapan cara yang berbeda agar semua kecerdasan tersebut dapat berkembang. Hal tersebut sangat tidak praktis dan efisien, hasilnya pun belum tentu sesuai harapan. 

Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick, Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Dua Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Tuesday, 26 January 2016

Teori Modeling Albert Bandura

Perilaku anak sebagian besar mirip dengan ayah dan ibu mereka. Misalnya bagaimana cara berbicara, menggunakan alat-alat makan, berpakaian dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Selain karena penurunan sifat (genetis), peniruan adalah suatu karakter umum pada diri manusia. Secara alami, perilaku orang-orang di sekitar kita (terutama yang kita kagumi) akan kita tiru. Banyak keterampilan yang juga kita miliki melalui peniruan.

Banyak aktivitas dan keterampilan yang dipelajari melalui peniruan (imitasi)

Peniruan tidak hanya berlaku pada orang-orang yang langsung berinteraksi dengan kita. Tokoh-tokoh di televisi atau media massa yang lain juga dapat menjadi pusat peniruan, bahkan sangat luas. Kita dapat menyaksikan bagaimana tren gaya rambut, pakaian dan gaya bicara seringkali dipengaruhi oleh artis-artis bintang film atau musik. 

Dalam dunia pendidikan dikenal istilah guru dan orang tua sebagai contoh atau teladan. Sebagai pendidik kita dituntut untuk menunjukkan sikap-sikap yang layak dicontoh, hal tersebut dikarenakan orang tua dan guru termasuk figur contoh bagi anak-anak. Seringkali anak-anak sulit melakukan apa yang diperintahkan atau dinasehatkan, namun secara alami mereka berperilaku seperti apa yang dicontohkan. 

Seorang ahli psikologi Amerika Serikat (Stanford University), Albert Bandura, meneliti dengan seksama peristiwa peniruan yang dilakukan oleh manusia. Meniru (imitasi) adalah salah satu cara belajar yang menurut Bandura adalah  yang paling banyak terjadi dalam hidup manusia. Kita menguasai berbagai keterampilan kebanyakan karena peniruan atau mencontoh orang lain, bukan karena mencipta sendiri.

Figur yang menjadi subyek peniruan disebut model, oleh karena itu teori mengenai belajar melalui peniruan disebut juga teori modeling. Bandura melalui penelitian-penelitiannya menyatakan bahwa proses terjadinya modeling berlangsung dalam empat tahap. Keberhasilan keempat tahapan tersebut akan menentukan kualitas dari modeling.
  1. Atensi atau perhatian. Hal pertama yang terjadi dalam modeling adalah seseorang harus memiliki informasi mengenai model yang akan dicontohnya. Informasi yang akan dicontoh baru akan diperoleh jika terdapat perhatian yang cukup (baca juga teori pemrosesan informasi). Misalnya seorang artis dengan gaya rambut baru harus mendapat perhatian dari masyarakat jika ingin gaya rambut tersebut ditiru.
  2. Retensi atau mengingat. Proses kedua dalam peristiwa modeling adalah mengingat informasi-informasi yang akan dicontoh. Sebaliknya, jika informasi yang diperhatikan pada tahap awal kemudian dilupakan maka tidak akan terjadi peristiwa peniruan. Dalam teori pemrosesan informasi, suatu informasi dapat bertahan dalam memori jangka panjang (ingatan) jika diulangi terus-menerus atau digunakan dalam suatu aktivitas. Pada contoh gaya rambut artis di atas, jika artis tersebut cukup populer sehingga sering tampil di acara televisi atau media massa sehingga masyarakat sering melihatnya maka gaya rambut tersebut akan diingat dengan kuat.
  3. Produksi atau dilakukan. Informasi yang telah diingat selanjutnya akan diwujudkan dalam perilaku. Bergantung pada sesuatu yang ditiru, semakin rumit yang ditiru maka proses produksi akan berjalan semakin lama karena lebih sulit. Pada contoh gaya rambut di atas, karena tidak rumit maka peniruan dapat langsung dilakukan dengan baik (tinggal pergi ke tukang potong rambut). Namun jika yang ditiru adalah suatu keterampilan yang rumit, misalnya keterampilan bernyanyi atau menulis, maka peniruan dapat berjalan sangat lama. Bahkan diperlukan bimbingan agar berlangsung baik.
  4. Motivasi atau semangat. Tahapan yang terakhir adalah mempertahankan motivasi agar peniruan dapat berlangsung hingga sempurna. Seperti yang dijelaskan pada tahap produksi, terutama pada keterampilan yang rumit proses peniruan berlangsung lama. Untuk itu dibutuhkan motivasi agar si peniru tetap mau meneruskan belajarnya untuk menirukan perilaku atau keterampilan dari model. Jika keterampilan tersebut sudah dikuasai tetap dibutuhkan motivasi untuk menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari.
Model yang ditiru oleh anak tidak hanya berupa orang yang lebih tua atau teman yang dikagumi, tetapi juga misalnya berbagai peristiwa yang mengagumkan di alam. Berikut ini adalah sebuah model pembelajaran yang memanfaatkan fenomena alam sebagai model moral bagi siswa (lihat atau download di sini)

Pertanyaan terakhir yang mungkin muncul adalah darimana sebenarnya kecenderungan untuk meniru (bahkan sejak manusia dilahirkan) itu berasal? jawabannya silahkan klik disini.

Buku Rujukan:
Moreno, Roxana. 2010. Educational Psychology. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Monday, 25 January 2016

Cara Guru Memahami Diri Sendiri (Self Understanding)

Tugas-tugas penting guru antara lain menyajikan pengalaman yang bermakna untuk siswa, mendidik karakter atau mengajarkan anak-anak bagaimana cara untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut guru diharapkan mengenali para siswa terlebih dahulu. Anak-anak adalah individu dengan berbagai karakter dan lingkungan yang membentuk kepribadian mereka. Anak-anak dari suatu lingkungan memiliki banyak kesamaan karakter, namun juga memiliki perbedaan individual. Guru yang dapat memahami kondisi siswanya dengan baik adalah awal dari terwujudnya peran sebagai guru bagi mereka.

Keberhasilan Guru Mendidik Siswa Diawali dari Mengenali Siswa

Artikel ini tidak membahas mengenai bagaimana guru memahami siswa-siswanya. Sebaliknya, di sini akan dibahas mengenai sesuatu yang lebih awal dari tugas tersebut. Yaitu bagaimana guru dapat memahami dirinya sendiri. 

Banyak penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa orang yang tidak dapat mengenali dan menguasai emosi diri mereka umumnya tidak akan mampu menghargai dan berhubungan dengan emosi orang lain. Termasuk dalam hal ini adalah para guru yang harus berinteraksi dengan berbagai jenis emosi para siswa. Sebagai contoh, sebelum guru dapat menyadari perasaan tertekan yang dialaminya, maka dia akan sulit untuk menyadari dan bersimpati akan perasaan tertekan yang dialami oleh para siswa. 

Bagaimana cara guru dapat dapat memahami diri sendiri dengan baik? Artikel ini akan memaparkan dua cara yang diadopsi dari tulisan Ryan dan Cooper (2010). 

Cara yang pertama adalah dengan menggunakan sumber-sumber tertulis dari para praktisi pendidikan (terutama guru) mengenai bagaimana cara mereka untuk memahami diri sendiri. Sumber-sumber tertulis tersebut dapat berupa buku, artikel di majalah, atau internet. Tulisan di buku lebih baik karena biasanya bersifat lebih mendalam dan mengulas tentang para guru yang telah berhasil. Namun sumber di majalah dan internet jumlahnya lebih banyak dan mudah diperoleh. Sebagai tambahan, kita juga dapat menggali informasi dari pengalaman guru-guru senior yang berada di sekitar kita. Kelebihan dari metode ini adalah kesesuaiannya dengan permasalahan yang mungkin juga kita hadapi karena faktor kesamaan lingkungan sosial yang ditempati. Kekurangannya adalah pada waktu atau kesediaan guru-guru senior tersebut untuk dapat berbagi pengalaman dengan kita.

Cara yang kedua adalah dengan menggunakan observasi berperan serta (participant observation). Yaitu aktivitas mengamati kelas dan mencatat apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh kita sebagai pengamat. Pengamatan yang biasa dilakukan guru adalah pengamatan untuk tujuan penilaian siswa. Namun pengamatan di sini berbeda, pengamatan dan pencatatan dilakukan secara mendalam dan hati-hati dalam rangka untuk benar-benar mengetahui bagaimana hasil pengajaran yang telah kita lakukan terhadap kondisi kelas dan sikap siswa. Dengan menyadari bagaimana dampak dari perlakuan kita terhadap siswa, diharapkan kita akan lebih mengenali dan memahami "diri kita" sebagai guru lebih baik lagi. Hasil pengamatan tersebut dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh guru-guru lain, sehingga kita dapat membuat korelasi yang lebih spesifik mengenai bagaimana kondisi dan perilaku siswa ketika menghadapi guru yang berbeda. Umumnya guru akan lebih sadar akan dirinya ketika dihadapkan pada fakta-fakta seperti itu (diperolehnya sendiri). 

Memahami diri adalah suatu proses yang tidak instan. Perlu kemauan, keseriusan dan kesabaran untuk membuka siapa diri kita di hadapan para siswa. Banyak guru terlalu memandang diri positif sehingga kurang peka terhadap keluhan siswa mengenai sikap mereka yang kurang mendukung anak untuk belajar. Jadi, cara-cara di atas adalah sekedar perangkat teknis, namun untuk benar-benar memahami diri anda kekuatan utamanya terletak pada kemauan untuk belajar dan menjadi lebih baik.


Buku Rujukan:
Ryan, Kevin. Cooper, James M. 2010. Those Who Can, Teach. Edisi Dua Belas. Boston: Wadsworth Cengage Learning

Friday, 22 January 2016

Pandangan Ki Hadjar mengenai Karakter Bangsa

Ki Hadjar Dewantara, atau yang di masa mudanya bernama Suwardi Suryaningrat adalah contoh atau teladan seorang manusia Indonesia yang berbudi luhur dan terus belajar. Terlahir sebagai seorang bangsawan tidak membuat beliau merasa berbeda dengan orang kebanyakan. Justru sebaliknya, Suwardi muda telah menunjukkan kedekatannya dengan rakyat terutama melalui tulisan-tulisannya mengenai nasionalisme di bawah penjajahan Belanda.

Tulisan yang menggugah nasionalisme, khususnya yang berjudul "Andai Aku Seorang Belanda," juga akhirnya yang membuat Suwardi dihukum buang oleh pemerintah kolonial. Dalam gaya tulisan yang lembut, etis dan terhormat beliau menggambarkan bahwa semua orang di dunia ini sama seperti orang-orang Belanda, pasti merasa senang dan bangga akan negara dan bangsanya yang merdeka dan berdaulat. Serta tidak pantas bagi bangsa manapun untuk menjajah bangsa lain.

Suwardi memilih hukum buang ke negeri Belanda, tepatnya pada tanggal 6 September 1913 dan kembali ke tanah air pada tahun 1919. Kehidupan yang serba sederhana dan kekurangan dilewatinya bersama keluarga di negeri kincir angin yang dingin. Di negeri itu beliau banyak belajar dan semakin menyadari bagaimana substansi dari eksistensi seorang manusia dan sebuah bangsa. 

Perbedaan utama bangsa Eropa dan Asia dalam pandangan Suwardi adalah pada karakter individualistik dan gotong-royong. Orang-orang eropa memiliki prinsip hidup bahwa kemuliaan manusia terletak pada kemandiriannya. Mereka disebut terhormat apabila kesuksesannya benar-benar adalah hasil jerih payahnya sendiri, tidak atas bantuan atau warisan. Prinsip tersebut membuat masyarakat cenderung hidup sendiri-sendiri. Kalaupun berinteraksi tentu atas kesepakatan-kesepakatan tertentu yang saling menguntungkan.

Bangsa Asia, dan Indonesia tentunya, lebih mengedepankan gotong-royong sebagai prinsip hidup mereka. Seseorang dianggap mulia apabila dapat bermanfaat atau berguna bagi orang lain. Saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengharapkan keuntungan meteri adalah hal yang biasa kita temui. Individualisme masih dapat kita temui juga, namun tidak dominan (di zaman itu tentunya).

Suwardi bukan seorang nasionalis yang buta. Dalam jiwa dan semangatnya yang memang senang belajar, Suwardi menganggap bahwa setiap bangsa memiliki kelebihan masing-masing. Oleh karena itu kita sebagai bangsa harus memperkuat karakter yang kita miliki. Namun di sisi lain, nilai-nilai positif dari bangsa lain dapat kita pelajari juga untuk diadaptasi dengan nilai-nilai kita sendiri. Tentu saja tidak dengan menyalin secara langsung (copy-paste). Suwardi mengatakan bahwa kita harus memasaknya terlebih dahulu agar sesuai dengan "lidah dan perut kita." Ibaratnya nasi goreng sebagai karakter bangsa, kita dapat menggunakan bahan-bahan tambahan dari luar untuk meningkatkan kualitas nasi goreng tersebut. Selama hidup di pengasingan Suwardi menjadi teryakinkan bahwa pengambilan unsur-unsur asing yang positif akan memperkaya budaya sendiri tanpa melepaskan kepribadian sebagai bangsa.

Pandangan Ki Hadjar di atas terasa semakin signifikan di zaman globalisasi saat ini. Kita tidak dapat mengisolasi diri dari budaya bangsa lain. Pertukaran budaya terjadi setiap saat dengan mudahnya. Yang perlu dilakukan adalah memahami dengan sebenar-benarnya siapa diri kita dan bagaimana budaya kita. Ibaratnya memasak nasi goreng dengan bahan tambahan dari luar seperti contoh Ki Hadjar di atas, sebelumnya kita sudah harus tahu bagaimana memasak nasi goreng. Maka bahan tambahan tidak akan merusak nasi goreng yang kita masak. Dan di situlah peran pendidikan serta para guru.

Guru Berperan Penting Menyiapkan Karakter Siswa sebelum Berinteraksi dengan Dunia Luar

Buku Rujukan:
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Thursday, 21 January 2016

Teori Erikson tentang Rasa Percaya dalam Jiwa Anak

Jiwa manusia mengalami perkembangan sesuai dengan berbagai pengalaman sosial yang dialaminya. Erik Erikson, salah seorang ahli psikologi perkembangan, menyatakan bahwa perkembangan kejiwaan manusia pada dasarnya adalah proses adaptasi antara seorang manusia dengan kondisi sosial di sekitarnya. Tuntutan masyarakat bagi seseorang untuk mengembangkan suatu karakter kejiwaan yang positif (sesuai dengan kebutuhan masyarakat) pada akhirnya akan melahirkan individu-individu yang berhasil atau gagal.

Perkembangan kejiwaan (psikis) yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial membuat teori Erikson disebut dengan teori perkembangan psikososial. Menurutnya manusia sepanjang hidup harus menghadapi konflik-konflik kejiwaan dalam menghadapi tuntutan peran di masyarakat. 

Perkembangan kejiwaan yang paling penting adalah pada fase paling awal dalam kehidupan manusia yaitu saat masih bayi (kira-kira hingga usia satu tahun) . Pada fase awal ini menurut Erikson seorang bayi akan mengalami konflik kejiwaan antara rasa percaya (trust) dengan rasa tidak percaya (mistrust). Karakter manakah yang akan berkembang pada jiwa anak sangat dipengaruhi oleh perlakuan pengasuh (terutama ibu atau pengganti ibu) terhadap anak tersebut.

Kasih Sayang Pengasuh (Orang Tua) di Awal Kehidupan Anak Sangat Mempenagaruhi Perkembangan Kejiwaannya di Masa Depan

Jika pengasuh memperlakukan sang anak dengan penuh kasih sayang, memenuhi kebutuhan fisik, selalu mengajak anak berkomunikasi, tersenyum dan memberi perlakuan hangat, maka pada diri anak akan tumbuh rasa percaya yang kuat. Perhatian non fisik jauh lebih penting daripada perhatian fisik seperti memberi makan, minum dan pakaian. Sebaliknya, jika pengasuh bersikap tidak peduli, menolak, dan hanya sesekali memperlakukan secara hangat (tidak konsisten) maka pada diri anak akan tumbuh rasa tidak percaya.

Berdasarkan penelitian Erikson dan para ahli sesudahnya, anak-anak yang pada masa awal hidupnya lebih didominasi rasa tidak percaya, maka kecenderungannya ia akan menjadi tertutup dan sulit untuk menjalin hubungan, baik dengan keluarga, teman-teman ataupun orang lain. Di dalam dirinya seperti telah tertanam bibit untuk tidak percaya, curiga dan menganggap dunia di sekitarnya adalah berbahaya. Karakter ini dapat bertahan sepanjang hidup, hingga ia menjadi pribadi yang tertutup, selalu curiga dan berprasangka buruk terhadap orang lain. Kita sering melihat bagaimana dalam sebuah keluarga yang tidak harmonis atau juga lembaga sosial yang lain, salah satu indikatornya adalah sulitnya untuk percaya antara satu dengan yang lain.

Kebutuhan kasih sayang di masa awal kehidupan seorang anak sangat penting. Rasa percaya dan keberanian mereka untuk berinteraksi dan melakukan banyak hal di kemudian hari ternyata banyak dipengaruhi oleh periode awal tersebut. Sedangkan cukupnya kasih sayang orang tua dipengaruhi oleh kedewasaan dan keharmonisan pada keluarga tersebut.


Buku Rujukan:
Shaffer, David R. 2009. Social and Personality Development. Edisi Enam. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Tuesday, 19 January 2016

Belajar Mandiri (Self Directed Learning) di Era Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi informasi pada dua dekade terakhir benar-benar luar biasa, bahkan dikatakan telah merubah cara hidup manusia dengan drastis. Dunia seperti kampung kecil, dimana berbagai peristiwa di manapun dengan cepat menyebar. Batas-batas negara tidak lagi sanggup mencegah terjadinya pertukaran informasi hingga akhirnya perubahan paradigma dan budaya masyarakat.

Dunia pendidikan juga banyak berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Hal ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, karena tower-tower pemancar sinyal internet telah merambah pulau-pulau kecil sekalipun. Hidup siswa dan guru demikian penuh sesak oleh informasi. Menguntungkan, namun sekaligus juga merugikan. Kecepatan dan kemudahan akses informasi membuat kita memiliki peluang yang luas untuk memahami dan mempelajari apapun, namun sekaligus juga membingungkan karena demikian banyaknya informasi.


Laptop dan smartphone telah menjadi bagian dari budaya

Salah satu keterampilan yang dapat diajarkan oleh para guru untuk mengatasi permasalahan sekaligus potensi teknologi informasi adalah keterampilan untuk belajar secara mandiri. Dengan keterampilan ini siswa dapat memaksimalkan potensi teknologi informasi untuk belajar dan sekaligus menghilangkan kekhawatiran kita akan dampak negatif teknologi informasi di tangan mereka. Namun tentu saja guru harus menguasai dan menerapkan belajar mandiri dalam kehidupannya sendiri sebelum dapat mengajarkannya kepada siswa.

Belajar mandiri atau self directed learning menurut Gibbon (dalam Cennamo, Ross & Ertmer, 2009) adalah semua peningkatan dalam pengetahuan, keterampilan dan perkembangan individu yang diperoleh dan dipilih oleh individu tersebut melalui usahanya sendiri dengan berbagai cara, dimanapun dan kapanpun. Tidak hanya siswa yang membutuhkan keterampilan ini, para guru sangat tergantung pada belajar secara mandiri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sebagai guru.

Cennamo, Ross dan Ertmer (2009) mengajukan empat tahap belajar mandiri yang efektif yaitu:
  1. Menentukan tujuan. Yaitu langkah dimana kita menentukan apa yang ingin diketahui atau dikuasi. Selain itu juga dilakukan analisis mengenai apa yang telah kita ketahui atau kuasai terkait pengetahuan atau keterampilan yang dituju tersebut.
  2. Melaksanakan aksi. Pada langkah ini kita menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, bagaimana cara dan bahan atau alat yang dibutuhkan. Setelah itu belajar pun dilaksanakan.
  3. Memantau pencapaian tujuan. Pada langkah ini kita melihat apakah informasi yang kita butuhkan telah kita peroleh, bagaimana keberhasilan proses belajar yang kita lakukan? Jika perlu, kita dapat mengubah cara atau bahan-bahan yang ternyata tidak berfungsi sesuai yang diharapkan.
  4. Mengevaluasi pencapaian tujuan dan memperluas belajar. Pada langkah terakhir ini kembali kita melihat pencapaian tujuan belajar yang telah kita buat di awal. Jika tidak tercapai, kemungkinan diperlukan perubahan pada cara atau bahkan tujuan itu sendiri. Jika berhasil, sebaiknya berlanjut pada apa lagi yang akan kita pelajari.
Waktu siswa di sekolah bersama guru lebih sedikit dibandingkan dengan waktu-waktu mereka di rumah atau di luar bersama teman-teman. Tanpa kemauan dan keterampilan untuk belajar mandiri, maka interaksi mereka dengan teknologi informasi kemungkinan besar akan mengarah pada hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan negatif.


Buku Rujukan:
Cennamo, Katherine S. Ross, John D. Ertmer, Peggy A. 2009. Technology Integration for Meaningful Classroom Use. Belmont: Wadsworth Cengage Learning  

Friday, 15 January 2016

Hak Dasar Anak yang Perlu Dipahami Guru

Anak merupakan individu yang masih belia dan belum dapat melindungi diri sendiri. Sebagai calon pengganti generasi saat ini, anak-anak setiap bangsa memiliki makna penting bagi keberlanjutan bangsa tersebut di masa depan. Guru sebagai agen untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas harus memahami bahwa anak-anak bukan komoditas yang dapat dibentuk sesuai selera orang dewasa. Mereka juga adalah manusia yang secara fitrah memiliki hak-hak manusia, khususnya hak anak.

Setiap anak memiliki hak dasar yang wajib dipenuhi baik oleh orang tua mapun negara

Kesepakatan internasional pertama yang meliputi hak-hak anak secara lengkap dan detail adalah The International Convention on the rights of the child atau yang disingkat CRC pada tanggal 20 November 1989 oleh PBB. Konvensi tersebut berisi 54 artikel yang membahas tentang hak-hak dasar anak dalam aspek ekonomi, sosial dan kultural. Diberlakukan untuk dunia internasional pada tanggal 2 September 1990 setelah diratifikasi (diterima atau disahkan) oleh 20 negara.

Secara garis besar, terdapat delapan hak dasar anak yaitu:
  1. Hak hidup, yang artinya hak untuk tetap hidup, tidak dibunuh dan berkembang dalam kondisi yang layak.
  2. Hak mendapatkan pendidikan, yang artinya hak untuk mendapatkan pengajaran (pendidikan) dan membangun masa depannya.
  3. Hak untuk mendapatkan makanan, yaitu hak anak untuk makan dan tidak menderita kelaparan atau malnutrisi (gizi buruk).
  4. Hak kesehatan, yaitu hak anak untuk mendapat perawatan dan pencegahan dari penyakit. Mereka harus diusahakan agar dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat.
  5. Hak untuk mendapatkan air, yaitu hak anak untuk memperoleh air minum dan sanitasi yang bersih (aman). Seperti diketahui, air merupakan aspek terpenting dari kesehatan dan pertumbuhan.
  6. Hak identitas, yaitu hak anak untuk memiliki nama dan juga hak untuk mengenali keluarganya. Hak ini juga berarti bahwa identitas anak harus tercatat secara administratif.
  7. Hak bebas, yaitu hak anak untuk mengekspresikan diri, hak untuk beropini dan mendapat akses informasi serta berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Anak juga memiliki hak religius.
  8. Hak dilindungi, yaitu hak anak untuk dilindungi dan berada di lingkungan yang aman. Mereka memiliki hak untuk dilindungi dari perlakuan buruk, diskriminasi dan eksploitasi.
Hak-hak dasar anak secara logis merupakan kewajiban dari setiap orang tua dan negara untuk memenuhinya. Anak-anak yang terpenuhi hak-hak dasarnya pada gilirannya akan menghasilkan eksistensi manusia secara universal.


Referensi:
http://www.humanium.org/en/childrens-rights/

Tuesday, 12 January 2016

Memahami Kurikulum

Setiap sekolah pasti memiliki kurikulum untuk mencapai tujuan-tujuannya. Di Indonesia kurikulum sekolah disusun oleh pemerintah pusat, namun sekolah (guru) masih diberi peluang untuk mengembangkannya ketika menyusun perencanaan pembelajaran dan menerapkan di kelas. Guru adalah pelaksana kurikulum yang paling intensif. Oleh karena itu setiap guru menjadi sangat akrab dengan istilah kurikulum.

Ebert dan Culyer (2011) mengartikan kurikulum sebagai cara dan materi yang akan diperoleh (dialami) siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, menjadi penting untuk dipahami bahwa aspek tujuan menjadi pemandu yang mengarahkan materi dan cara yang akan diterapkan dalam pembelajaran untuk siswa. Dalam hal ini tujuan terbagi menjadi tujuan pendidikan secara umum (yang termaktub dalam undang-undang atau peraturan pemerintah), tujuan tingkat institusi dan tujuan spesifik yang dirancang oleh guru ketika menyusun perencanaan pembelajaran.

Beberapa ahli menyatakan bahwa kurikulum meliputi semua pengalaman yang telah dirancang oleh sekolah dan guru sebagai wujud tanggung jawab pendidikan. Namun beberapa ahli yang lain menyatakan bahwa kurikulum juga meliputi pengalaman siswa yang tidak dirancang (tidak termaktub dalam dokumen kurikulum dan rencana pembelajaran) oleh sekolah dan guru. Biasanya pengalaman belajar yang berada di luar rancangan kurikulum disebut dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), termasuk di dalamnya bagaimana mengajarkan kedisiplinan dan sopan santun melalui contoh-contoh atau keteladanan. Kurikulum tersembunyi ini juga sangat penting bagi perkembangan siswa sebagai pribadi yang utuh.

Interaksi antar siswa, meskipun tidak termuat dalam kurikulum namun harus diperhatikan 
oleh guru dan sekolah

Kurikulum adalah seperangkat perencanaan yang masih bersifat umum (terutama kurikulum dari pemerintah). Perlu diperhatikan bahwa kurikulum yang tertulis tersebut sebenarnya tidak menggambarkan secara keseluruhan bagaimana proses belajar siswa, terutama jika ditinjau dari perspektif semua siswa bersifat unik. Dalam hal ini guru menjadi aktor yang sangat penting untuk menerjemahkan kurikulum dari pemerintah atau bahkan yang direncanakannya sendiri saat diterapkan di kelas atau di luar kelas. Berbagai improvisasi dan kreativitas dibutuhkan ketika menghadapi beraneka ragam karakter siswa atau kondisi kelas yang seringkali di luar dugaan.


Buku Rujukan:
Ebert, Edward S. Culyer, Ricard C. 2011. School, an Introduction to Education. Edisi Dua. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Teori Kecerdasan Emosional Daniel Goleman

Sejak tahun 1990, dua orang ahli psikologi yaitu John Mayer dan Peter Salovey, telah memperkenalkan konsep mengenai kecerdasan emosional. Sejak itu aspek emosional sebagai salah satu kecerdasan pada diri manusia banyak diteliti, baik di bidang psikologi, neurosains dan berbagai bidang terapan. 

Kecerdasan emosional dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali dan mengendalikan perasaan-perasaan atau emosi baik untuk diri sendiri atau ketika berinteraksi dengan orang lain. Salah satu teori kecerdasan emosional yang populer adalah teori seorang ahli psikologi bernama Daniel Goleman melalui tulisan-tulisannya di The New York Times pada tahun 1995.  Ia menyatakan bahwa pandai dan ahli dalam suatu bidang ternyata bukan faktor yang paling menentukan kesuksesan seseorang. Yang lebih menentukan justru adalah kecerdasan emosional.

Menurut Goleman, kecerdasan emosional terdiri atas lima komponen yaitu pengaturan diri, motivasi, keterampilan sosial, empati, dan mawas diri. 

Mawas Diri (self awareness)
Adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami mood, emosi dan dorongan-dorongan pada diri serta pengaruhnya terhadap orang lain. Misalnya seorang tukang bangunan tahu bahwa dirinya tidak suka berbicara setelah selesai bekerja berat, karena itu ia segera pulang dan beristirahat setelah menyelesaikan pekerjaannya. Jika ia masih berada di sekitar tempat kerja tentu teman-temannya masih akan mengajaknya berbicara atau bergurau. Dalam kondisi seperti itu bisa jadi ia tidak dapat mengontrol emosi.

Pengaturan Diri (self regulation)
Adalah kemampuan untuk mengendalikan atau mengatur dorongan atau mood yang merusak. Termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk berpikir sebelum melakukan sesuatu. Misalnya seorang guru yang memiliki permasalahan di rumah, namun ia dapat mengendalikan emosinya sehingga para siswa tidak mengetahui bahwa guru mereka sedang mengalami masalah. Pelajaran pun tetap berjalan dengan baik.

Motivasi
Adalah suatu dorongan untuk mencapai sesuatu yang memang menjadi keinginan hidupnya, namun bukan untuk tujuan-tujuan seperti uang dan pujian dari orang lain. Orang-orang yang memiliki motivasi kerja nonmateri umumnya akan lebih stabil dalam mengerjakan berbagai tugasnya.

Empati
Kemampuan untuk memahami emosi atau perasaan orang lain dan meresponnya secara tepat. Dalam bidang pendidikan misalnya guru yang dapat memahami perasaan para siswa dan memperlakukan siswa dengan tepat sehingga tidak memperburuk suasana hati mereka biasanya akan lebih disukai. Demikian pula seorang penbisnis yang sukses adalah yang dapat memahami perasaan para pelanggan sehingga mereka merasa puas atau minimal tidak kecewa oleh pelayanan yang diberikan.

Keterampilan Sosial
Adalah kemampuan untuk bersama atau berinteraksi dengan orang lain. Seperti yang kita ketahui hampir setiap profesi selalu melibatkan kerja banyak orang, sehingga kemampuan untuk berkerja bersama atau bekerja sama akan menunjang keberhasil kerja. Misalnya seorang guru yang berhasil dituntut untuk dapat bekerja sama dengan guru-guru lain.

Bekerja Sama adalah Salah Satu Elemen Kecerdasan Emosional

Penelitian mengenai kecerdasan emosional telah banyak dilakukan termasuk di Indonesia. Berikut ini adalah salah satunya, yang mengkaji bagaimana pengaruh keluarga, sekolah dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosi (untuk membaca atau download silahkan pada link ini
http://metastead.com/3nYI)

Buku Rujukan:
Dalton, Marie. Hoyle, Dawn. Watts, Marie. 2011. Human Relation. Edisi Empat. Mason: South-Western Cengage Learning

Monday, 11 January 2016

Fakta dan Dugaan pada Komunikasi Guru-Siswa

Komunikasi menentukan kualitas pembelajaran yang terjadi baik di kelas maupun di luar kelas. Seperti yang telah kita ketahui bersama, berbagai aktivitas pengajaran dan pembimbingan oleh guru kepada siswa dilakukan melalui perantara komunikasi. Selain itu komunikasi juga sangat berperan untuk membentuk ikatan emosional sehingga sekolah berubah menjadi seperti keluarga. Terjadi hubungan yang erat antara guru sebagai orang tua dengan para siswa sebagai anak-anaknya.

Salah satu keterampilan berkomunikasi yang dapat mendekatkan hubungan emosional adalah kemampuan untuk membedakan dengan jelas antara fakta dan dugaan. Mencampur-adukkan keduanya akan menghasilkan interaksi yang kurang tepat, bahkan buruk. Pada akhirnya kelas atau sekolah hanya akan menjadi struktur yang penuh konflik dan rasa tidak saling percaya, baik guru dengan siswa atau antar siswa.

Komunikasi yang Baik akan Membuat Sekolah Seperti Keluarga

Bagaimana fakta dan dugaan dapat mempengaruhi relasi psikologis? Fakta adalah informasi yang kita peroleh melalui pengamatan secara langsung atau tidak langsung (dari sumber yang valid). Sedangkan dugaan adalah pemahaman atau interpretasi kita melebihi fakta-fakta (belum pasti). Misalnya ketika kita melihat seorang siswa tiga kali datang terlambat, maka siswa tersebut tiga kali terlambat adalah fakta. Namun jika kita berpikir bahwa siswa tersebut adalah seorang yang pemalas maka itulah dugaan. Kenyataannya dugaan bisa benar namun juga bisa salah. Boleh jadi siswa itu terlambat bukan karena malas namun beberapa minggu terakhir ibunya sakit sehingga ia harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sebelum berangkat.

Menyadari bahwa bahwa sesuatu itu adalah fakta atau masih dugaan adalah penting. Karena sikap kita terhadap orang lain dipengaruhi oleh pemahaman kita akan orang tersebut. Jika kita menyadari bahwa pemahaman kita masih sebatas dugaan saja maka sikap kita kepadanya akan berbeda dengan ketika kita meyakini bahwa sesuatu itu adalah fakta. Contohnya adalah pada kasus siswa terlambat di atas. Guru yang terlalu cepat mengambil dugaannya sebagai fakta akhirnya akan menghukum atau memvonis siswa bersalah. Padahal kenyataannya siswa tersebut justru sangat berbudi (karena peduli pada ibunya yang sakit)

Seringkali guru mengajarkan aktivitas pengamatan kepada siswa, namun dalam kehidupan sehari-hari justru mudah terjebak pada sikap berdasarkan dugaan yang dangkal. Kita harus berlatih untuk hati-hati terhadap dugaan atau prasangka. Caranya adalah dengan memperbanyak informasi atau pengamatan untuk memperoleh fakta-fakta yang akan memverifikasinya.


Buku Rujukan:
Wood, Julia T. 2009. Communication in Our Lives. Edisi Lima. Boston: Wadsworth Cengage Learning

Saturday, 9 January 2016

Dasar Kekeluargaan Taman Siswa

Salah satu asas pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang diterapkan di Taman Siswa adalah menciptakan iklim keluarga antar guru (pamong) dan siswa. Seperti layaknya keluarga, maka hubungan mereka menjadi sangat erat. Melalui iklim seperti keluarga itulah maka pendidikan tidak hanya akan meliputi aspek intelektual saja, bahkan layaknya ibu atau ayah yang sesungguhnya, para guru akan sangat risau dengan perkembangaan budi pekerti para siswa.

Pada masa awal pendirian Taman Siswa, dasar kekeluargaan inilah yang menjadi pembeda kuat dengan sekolah-sekolah Belanda. Kondisi tersebut tergambar dengan jelas dalam kutipan berikut:

Seorang pamong Taman Siswa yang semula menuntut pelajaran di Sekolah Gubernemen menceriterakan pengalaman­ nya bahwa ada perbedaan yang besar antara sekolah tersebut dengan Taman Siswa. Di H.B.S. di mana ia dulu menuntut pela­jaran,  guru adalah seperti pegawai yang berdiri di depan kelas. Ia  tidak  pernah menaruh perhatian kepada murid-muridnya, selain mengajar yang dipusatkan pada pembentukan intelek. Ia tidak akan mengerti kesulitan anak didiknya. Sebaliknya siswa­siswa di Taman Siswa merasa bahwa perguruannya merupakan rumah  ke dua. Di tempat itu  ia  menemukan "bapak" atau "ibu" yang dapat diminta nasihatnya atau pertimbangannya apabila  mereka menghadapi kesulitan.  Mereka tidak  takut menyampaikan masalah-masalahnya itu kepada bapak atau  ibu pamong, karena antara kedua belah pihak itu  terdapat ikatan batin yang intim, ikatan yang terdapat dalam keluarga (Soeratman, 1985).

Dasar kekeluargaan di Taman Siswa semakin  kuat karena tempat tinggal para guru biasanya juga di sekolah. Berbagai program dapat dilaksanakan dengan bervariasi karena para guru senantiasa hadir di sekolah. Anak-anak setelah pulang dapat kembali ke sekolah untuk mengikuti program sore atau hanya sekedar untuk  menemui bapak/ibu pamongnya dengan berbagai keperluan. 

Dasar kekeluargaan membuat hubungan batin seperti keluarga. Rasa sayang guru terhadap siswa akan tercurah, karena mereka tidak hanya merasa dirinya sebagai "pegawai" sekolah. Sebaliknya rasa hormat dan kesadaran siswa untuk mengikuti arahan para guru (pamong) juga sangat besar. 

Guru (Pamong) Sebagai Orang Tua di Sekolah

Metode mengajar dalam sistem kekeluargaan ini juga akhirnya menjadi berbeda. Ki Hadjar menyebutnya metode among. Artinya membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak agar dapat berkembang sesuai dengan kodratnya. Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana kepahlawanan seorang guru yang diharuskan lebih mendahulukan kepentingan para siswa dibandingkan kepentingan diri.  Pada zaman penjajahan umumnya guru disebut tuan, nyonya, nona, den behi atau ndoro. Namun di taman siswa para guru disebut bapak atau ibu, seperti orang tua sendiri.


Buku Rujukan:
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Wednesday, 6 January 2016

Prinsip Pendidikan Taman Siswa

Taman siswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara (nama aslinya Suwardi Suryaningkat) pada tanggal 3 Juli 1922. Sekolah ini merupakan perwujudan perjuangan Ki Hadjar dan teman-temannya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia. Prinsip-prinsip dasar Taman Siswa menjadi pondasi pendidikan nasional hingga saat ini.

Prinsip utama pengajaran di Taman Siswa adalah tutwuri handayani yang artinya berjalan di belakang. Seorang guru (pamong) harusnya memberikan ruang kebebasan pada siswa untuk mengekspresikan potensi dirinya dalam belajar. Jika memang dibutuhkan, guru akan memberikan pertolongan atau peringatan ketika siswa menyimpang dari tujuan utama dan mengalami suatu bahaya. Seorang guru tidak mendoktrin atau memaksa siswa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kecenderungan dasar dirinya yang positif. Untuk itu guru harus mengenal bagaimana karakter dan potensi siswa-siswanya sehingga dapat mengarahkan mereka secara tepat tanpa harus mendoktrin, memaksa atau menekan.

Prinsip pengajaran yang kedua adalah ing madya mangun karsa  yang artinya bersama siswa membangun semangat. Pada prinsip ini guru harus dapat membangun kedekatan dan berinteraksi secara intens dengan para siswanya dalam rangka memberi mereka semangat belajar. Proses belajar yang sungguh-sungguh dan konsisten adalah suatu proses yang berat dan membutuhkan tekad kuat. Dalam hal ini tugas guru adalah memompa semangat ke dalam jiwa mereka. Bahwa mereka bisa melalui semua tugas berat dan berhasil. Memotivasi siswa tidak cukup hanya dengan memberi mereka nasehat dan ujar-ujar di depan kelas. Guru harus lebih dekat pada siswa. Mau berinteraksi dengan mereka di manapun, mendengarkan keluh kesah dan permasalahan yang mereka hadapi dan secara hati-hati memberikan solusi yang bijak. Dalam interaksi seperti itu siswa akan lebih mau mendengar.

Prinsip pengajaran yang ketiga adalah ing ngarsa sung tuladha artinya di depan memberi teladan. Perlu diketahui bahwa apa yang guru ucapkan dan instruksikan kepada siswa belum berdaya dorong jika tanpa bukti. Guru harus membuktika semua ucapannya dengan menjadi teladan. Guru mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan tidak hanya dengan petuah tetapi juga sikap jujur dan disiplin dalam kehidupan sehari-harinya. Konsistensi antara ucapan dan perbuatan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi jiwa dan kepribadian siswa. 

Sekolah membutuhkan sarana dan biaya, itu benar adanya. Namun prinsip Ki Hadjar Dewantara untuk pemenuhan sarana sekolah harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Karena sekolah dengan sarana bagus namun pada akhirnya tidak dapat dijangkau oleh rakyat menurut Ki Hadjar akan menyeleweng dari tujuan awal pendidikan. Oleh karenanya di zaman itu banyak berdiri sekolah taman siswa yang kondisinya sangat sederhana namun dengan antusias diikuti oleh masyarakat.

Kondisi Masyarakat Menjadi Pertimbangan Utama Pemenuhan sarana Sekolah


Buku Rujukan:
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid I. Yogyakarta: LKIS

Tuesday, 5 January 2016

Tri Pusat Pendidikan

Wajib belajar sembilan tahun yang dijalankan oleh pemerintah telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun terakhir. Setiap anak di Indonesia memiliki hak untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Melalui sekolah diharapkan kita dapat melahirkan generasi masa depan yang handal. Mengisi kemerdekaan dengan karya dan kerja yang membanggakan.

Sekolah memang penting, namun bukan penentu keseluruhan hasil pendidikan. Hal ini telah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui konsep tri pusat pendidikan. Terdapat tiga sentra pendidikan yang menentukan keberhasilan peserta didik untuk berkembang menjadi insan yang berdaya guna di masyarakat. Kita tidak dapat mengabaikan peran salah satu sentra dan mengunggulkan yang lainnya. Ketiga pusat tersebut adalah keluarga, sekolah dan masyarakat.

1. Pendidikan di Lingkungan Keluarga

Merupakan pusat yang paling penting, karena awal kehidupan manusia dan interaksi paling intens yang dialaminya adalah dalam keluarga. Ki Hajar menyebutkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga adalah yang pertama dan terpenting. Pendidikan di lingkungan keluarga lebih terfokus pada pembentukan karakter baik dalam hal keagamaan ataupun sosial. Keterampilan yang diajarkan biasanya adalah keterampilan hidup yang sesuai dengan kondisi dan profesi keluarga.

2. Pendidikan di Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan secara sistematis dan standar-standarnya diatur oleh negara. Inti pendidikan di sekolah adalah mengajarkan ilmu pengetahuan secara lengkap. Artinya ilmu pengetahuan tidak hanya berupa konsep-konsep dan teori yang dihafal atau dipahami, melainkan juga sikap ilmiah dan keterampilan ilmiah.

Budaya ilmiah diyakini merupakan budaya terbaik yang pernah lahir dalam peradaban manusia. Oleh karena itu semua negara saat ini mengajarkan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah, dengan harapan akan terbentuk masyarakat ilmiah yang berbudaya ilmiah. Namun hal itu sangat sulit, karena banyak yang menyalahartikan ilmu pengetahuan hanya berupa produk teori dan teknologi saja.

3. Pendidikan di Lingkungan Pemuda/Masyarakat

Pusat pendidikan yang ketiga menurut Ki Hajar Dewantara adalah masyarakat, terutama kaum pemuda bagi peserta didik. Hal ini dikarenakan pergaulan (terutama dengan teman sebaya) akan berimbas pada pola pembentukan sikap dan pikiran seseorang. Selain teman, masyarakat dimana anak hidup juga memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan, mengarahkan dan mengontrol perilaku mereka. Inilah fungsi sosial dalam pendidikan. Dalam kondisi yang serba individualis peran sosial ini menjadi semakin sulit diwujudkan.

Kampus Berfungsi sebagai Salah Satu Tri Pusat Pendidikan

Ki Hajar sangat sadar bahwa pendidikan tidak dapat diwujudkan hanya melalui satu jalur saja. Ketiga pusat pendidikan tersebut di atas harus sama-sama diperhatikan dan mendukung berjalannya pendidikan bagi generasi muda. Namun yang sangat krusial bagi anak adalah pendidikan di lingkungan keluarga. Karenanya kualitas keluarga menentukan kualitas pendidikan anak.

Konsep pusat pendidikan ini dapat kita temui perwujudannya dalam kehidupan siswa dan anak-anak. Penelitian yang dilakukan Habibi dan Setiawan (2017) mengenai makna sekolah bagi anak-anak putus sekolah menunjukkan bagaimana hubungan di antara ketiga pusat pendidikan menurut Ki Hadjar. Temuan penelitian tersebut bahwa makna sekolah bagi responden adalah sebagai tempat mendapatkan banyak teman (pusat ketiga), untuk menyenangkan orang tua (pusat yang pertama) dan juga sebagai tempat belajar (pusat kedua). Anak-anak yang telah menginjak usia remaja nampaknya lebih didominasi oleh kehidupan dengan teman-teman sebaya mereka.

Kajian yang juga menarik dan penting mengenai bagaimana membuat tri pusat pendidikan efektif adalah ketika pusat-pusat tersebut dikaitkan dengan tiga kegiatan utama pendidikan yaitu mengajar, melatih dan membimbing. Untuk lebih jelasnya anda dapat baca atau download hasil penelitian mengenai hubungan tripusat dengan tiga kegiatan utama pendidikan tersebut pada link berikut http://metastead.com/3z1J

Bacaan Rujukan:
Haryanto. 2011. Pendidikan Karakter menurut Ki Hajar Dewantara. Dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Dies Natalis UNY
Habibi. Setiawan, Caly. (Mei, 2017). The Meaning of School from Dropout’s View Point (A Phenomenological StudyI). Makalah disajikan dalam International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI), di Universitas negeri Yogyakarta. 

Saturday, 2 January 2016

Lima Strategi Pembelajaran Kontekstual menurut Crawford

Aliran konstruktivisme dalam teori pendidikan menyatakan bahwa agar siswa dapat benar-benar memahami materi pembelajaran, tidak hanya menghafal atau mengingatnya, maka pembelajaran harus bersifat kontekstual (sesuai dengan konteks kehidupan siswa). Crawford bahkan menyebutkan bahwa kontekstualitas pembelajaran adalah jantung dari proses belajar di sekolah. Sama seperti yang diungkapkan oleh John Dewey bahwa sekolah tidak boleh dilepaskan dari kehidupan masyarakat.

Dalam artikel ini akan diuraikan mengenai bagaimana strategi yang dapat digunakan guru untuk membuat pembelajaran menjadi kontekstual. Crawford (2001) menyebutkan ada lima strategi pembelajaran kontekstual.

1. Strategi Menghubungkan (Relating)

Strategi menghubungkan merupakan startegi kontekstual yang paling kuat. Pada strategi ini guru menghubungkan konsep yang baru diberikan dengan sesuatu yang telah dipahami siswa (benar-benar familier pada siswa). Jika strategi ini berhasil maka siswa akan merasakan suatu efek pemahaman yang tiba-tiba, sehingga bisa jadi akan muncul ungkapan, "oh begitu maksudnya," atau "aha!"

2. Strategi Mengalami (Experiencing)

Strategi kedua ini cocok pada kondisi siswa belum memiliki pengalaman atau pengetahuan yang berhubungan dengan konsep baru yang akan diajarkan. Pada strategi ini guru harus merancang suatu aktivitas (learning by doing) yang akan memberi siswa suatu pengalaman langsung mengenai konsep yang akan diajarkan tersebut. Aktivitas tersebut dapat berupa pengamatan, pemecahan masalah, aktivitas laboratorium atau memanipulasi suatu obyek.

Contoh Strategi Experiencing dengan Memanipulasi Obyek

3. Strategi Menerapkan (Applying)

Strategi pembelajaran kontekstual yang ketiga adalah menerapkan (applying). Guru dapat memberikan berbagai aktivitas yang membuat siswa menerapkan konsep yang baru diajarkan. Sebenarnya tugas dalam belajar adalah sesuatu yang sudah lumrah. Namun Crawford menjelaskan bahwa dalam strategi kontekstual, tugas yang diberikan guru harus memiliki dua karakter yaitu menyajikan kondisi yang realistis (nyata) dan menampilkan bagaimana suatu konsep digunakan dalam kehidupan seseorang.

4. Strategi Kerja Kooperatif (Cooperating)

Masalah yang bersifat nyata biasanya adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Masalah-masalah seperti ini seringkali tidak mampu diselesaikan oleh siswa secara individual. Untuk itu strategi yang keempat yaitu membentuk kelompok kerja siswa agar mereka dapat bekerja sama menyelesaikan masalah kompleks. Dalam kerja kelompok yang efektif akan terjadi pembagian kerja yang membuat semua anggota tim memiliki peran bagi kelompok. Namun sayangnya, banyak terjadi kelompok kerja yang tidak kooperatif.

5. Strategi Transfer (Transferring)

Strategi stransfer adalah pemberian tugas-tugas tambahan yang tidak mungkin dilakukan di kelas agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Tugas ini bukan lagi berupa aktivitas-aktivitas seperti di sekolah yang hanya dilakukan di rumah. Tugas dalam transfer berarti melakukan aktivitas yang membuat pemahaman mereka benar-benar berubah (lebih mendalam lagi).

Berikut ini adalah contoh penelitian mengenai bagaimana penerapan dan inovasi pembelajaran kontekstual yang dapat anda download http://metastead.com/1whl

Untuk mengenali dan mendalami lima strategi kontekstual lebih baik, dipersilahkan untuk membacanya pada buku berikut:

Crawford, Michael L. 2001. Teaching Contextually. Waco: CORD