Tuesday, 29 December 2015

Membimbing Siswa untuk Belajar dan Berkembang

Tugas bimbingan untuk siswa di sekolah biasanya identik dengan tugas guru BK (Bimbingan dan Konseling). Bimbingan dan konseling yang terjadi pun terbatas, yaitu bimbingan bagi siswa-siswa yang bermasalah. Padahal tugas membimbing siswa atau sebagai tempat konsultasi bagi mereka sebenarnya adalah tugas semua guru. Dan bimbingan bukan hanya diperuntukkan bagi siswa bermasalah, melainkan untuk seluruh siswa.

Bimbingan dibutuhkan semua siswa, bukan hanya siswa bermasalah

Bagaimana sebaiknya kita mengartikan aktivitas bimbingan siswa? Beberapa definisi bimbingan yang dinyatakan oleh lembaga di AS yaitu National Association for the Education of Young Children (NAEYC) berikut ini cukup baik untuk kita pelajari.
  1. Membimbing artinya mengajari siswa dari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, bukan memberi hukuman ketika mereka melakukan kesalahan.
  2. Membimbing artinya mengajari siswa untuk memacahkan permasalahan yang mereka hadapi, bukan memberi hukuman karena permasalahan tersebut.
  3. Membimbing berarti mendorong terciptanya kelas yang membuat semua siswa merasa diterima sebagai anggota yang layak untuk belajar.
  4. Membimbing juga berarti memfasilitasi kondisi kelas yang interaktif dimana guru berfungsi sebagai pemimpin dan siswa melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat mengkonstruksi makna bagi diri mereka.
  5. Membimbing juga berarti mendorong kebanggaan pada diri siswa baik dalam identitas personal ataupun kultural sehingga mereka dapat berkembang dengan baik.
  6. Membimbing berarti menempatkan perkembangan emosi, sosial dan kultural yang sehat seiring dengan perkembangan kognitif yang dituju oleh kurikulum.
  7. Membimbing membuat guru, siswa dan orang tua menjadi tim yang interaktif.
Aktivitas bimbingan kepada siswa di sekolah banyak mendapat dukungan dari beberapa teori yang mungkin anda telah kenali yaitu:
  1. Teori perkembangan kognitif Piaget. Anak-anak mengalami perkembangan kognitif dari mulai sensori motor, praoperasional, operasional kongkrit dan operasional formal. Masing-masing tahapan memiliki karakter unik yang dapat membantu guru untuk melakukan bimbingan keada siswa.
  2. Teori zona perkembangan proksimal Vygotsky. Dalam teori ini bimbingan yang baik dari seorang guru harus berada pada level perkembangan proksimal (zona dimana tugas yang diberikan masih dapat dilakukan anak dengan bimbingan). Jika tugas yang diberikan berada di atas zona itu maka anak akan menjadi stres dan muncul masalah.
  3. Teori Alfred Adler mengenai bimbingan yang sehat yaitu dengan lebih banyak memberi anak dorongan tanpa harus menjadi permisif (mengijinkan semua keinginan anak) atau diktator. Bimbingan pada anak usia lima tahun tahun adalah kunci dari perkembangan anak menurut Adler.
  4. Teori Kebutuhan Abraham Maslow. Menurut maslow manusia hidup dan melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dalam hidupnya adalah untuk memenuhi kebutuhan muai dari kebutuhan fisik, rasa aman, cinta kasih, penghargaan hingga aktualisasi diri. Dengan memperhatikan apa saja kebutuhan para siswa, maka seorang guru dapat melakukan pembimbingan dengan baik.
  5. Teori Guru sebagai pemimpin Rudolf Dreikur. Menurut Dreikur guru harus berperan sebagai pemimpin, bukan sebagai bos yang hanya main perintah. Alat yang terbaik untuk membimbing siswa menurutnya adalah penghargaan dan dorongan. Anak-anak yang bermasalah biasanya melakukan hal-hal yang buruk di kelas karena ingin diperhatikan atau dihargai oleh teman-temannya. 
Siswa yang penurut dan rajin mungkin akan mudah untuk dibimbing. Namun akan berbeda halnya dengan siswa yang senang melawan atau membangkang. Untuk menghadapi siswa seperti itu guru dapat melakukan beberapa teknik berikut ini:
  1. Sambut dengan ramah siswa dan keluarganya. Beri kesan kepada siswa bahwa anda mengharapkan kehadiran mereka untuk belajar. Yang lebih baik lagi adalah dengan melakukan kunjungan ke rumah siswa dan membangun hubungan yang baik dengan orang tuanya. maka siswa akan lebih mau menerima anda.
  2. Berkomunikasi langsung. Luangkan waktu-waktu tertentu untuk berkomunikasi langsung dengan siswa dalam situasi nyantai. Semakin sering anda melakukannya maka kedekatan emosional akan semakin terbangun.
  3. Melibatkan orang tua mengenai perkembangan anak. Orang tua dan guru merupakan pihak-pihak yang anak-anak biasanya patuhi atau dengarkan nasehatnya. Kerja sama diantara kedua pihak ini akan lebih menguatkan efek bimbingan. Ada baiknya guru selalu melaporkan bagaimana perkembangan anak di sekolah serta mengajak mereka untuk mencari solusi apabila muncul masalah.
  4. Tetap menghargai siswa. Jika guru terus-terusan tidak menghargai siswa karena berbuat salah maka siswa akan menjauh dan juga tidak menghormati anda sebagai guru. Penghargaan sebagai individu atau manusia harus tetap guru jaga ketika menghadapi anak yang bermasalah. 
  5. Melibatkan anggota sekolah yang lain. Sekolah adalah tim yang kompleks. Kepala sekolah, wakil, staf tata usaha, guru-guru lain hingga penjaga sekolah adalah orang-orang yang harus anda libatkan dalam membimbing anak-anak. Jika semua bekerja sama dengan baik maka hasilnya akan luar biasa.

Buku Rujukan:
Gartrell, Dan. 2011. A Guidance Approach for The Encouraging Classroom. Edisi Lima. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Friday, 18 December 2015

Teori Sosiokultur Lev Vygotsky

Manusia akan mengalami suatu proses belajar ketika menemui obyek atau peristiwa baru. Demikian pula ketika mengalami permasalahan-permasalahan yang membuatnya harus berpikir. Temikian teori Jean Piaget memberitahu kita bagaimana cara manusia belajar melalui prngalaman secara aktif. Namun coba anda bayangkan jika kita harus mempelajari sesuatu sendiri, berapa lama waktu yang kita butuhkan? Kebanyakan belajar akan lebih cepat terjadi jika kita dibantu oleh orang yang lebih ahli.

Belajar dari orang lain melalui interaksi sosial adalah teori dari seorang tokoh Rusia bernama Lev Vygotsky (1896-1934). Menurutnya sebagaian besar proses belajar yang dialami oleh manusia terjadi melalui interaksi sosial. Dan alat utama dalam interaksi tersebut adalah bahasa, baik bahasa tulisan maupun lisan. Oleh karena itu bagaimana kualitas interaksi sosial yang dialami seseorang akan menentukan bagaimana perkembangan dirinya.

Beberapa aspek penting dalam belajar yang dialami oleh manusia berdasarkan teori sosiokultur adalah sebagai berikut:
  1. Manusia mengkonstruksi mengetahuan mereka. Pengetahuan bukan sekedar sesuatu yang diingat secara pasif. Berbagai informasi yang diperoleh manusia akan diproses lebih lanjut di dalam pikiran (proses yang oleh Vygotsky dinamakan inner speech) sebelum dapat digunakan dalam kehidupan sosialnya.
  2. Perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial. Seperti yang telah dipaparkan di atas, proses belajar manusia sebagian besar terjadi melalui interaksi sosial. Sebagai contoh kita mengenali semua benda dan kejadian di sekitar karena diberitahu orang tua atau mendengar percakapan orang-orang di sekitar kita. Tentu saja kebiasaan dan kebudayaan di tempat tinggal seseorang akan mempengaruhi bagaimana proses belajarnya.
  3. Belajar dapat memicu terjadinya perkembangan mental. Belajar adalah proses yang disengaja untuk menguasai sesuatu yang baru atau memecahkan permasalahan. Meskipun belajar terjadi melalui interaksi sosial, namun kesadaran, keinginan dan keseriusan adalah hal pertama yang harus ada.
  4. Bahasa memegang peranan penting bagi perkembangan mental. Manusia satu dengan yang lain dapat saling mengerti, memberitahu dan bahkan beradu argumen berkat adanya bahasa. Oleh karena itu kemampuan berbahasa menentukan bagaimana kualitas belajar dan perkembangan mental yang dialami seseorang. Orang tua atau guru membimbing anak-anak pasti melalui bahasa.
Manusia belajar dan mengalami perkembangan mental dalam interaksi sosial. Perkembangan mental ini akan menghasilkan perubahan-perubahan baik dalam berpikir maupun berperilaku. Menurut Vygotsky proses belajar dalam lingkup sosial terjadi melalui tiga cara. Yang pertama yaitu dengan peniruan, dimana seseorang meniru apa yang dilakukan atau menjadi pemikiran orang lain. Kedua yaitu dengan pengajaran atau pelatihan, yaitu penyampaian informasi atau keterampilan dari seorang guru (orang yang lebih ahli). Cara yang ketiga adalah melalui kerja sama (kooperasi) dimana beberapa orang bersama-sama berusaha untuk mempelajari atau memecahkan sebuah permasalahan.


Salah satu cara belajar menurut Vygotsky adalah bimbingan dari orang yang lebih ahli


Khusus untuk proses belajar melalui bimbingan guru atau orang yang lebih ahli, Vygotsky menekankan pentingnya penggunaan zona perkembangan proksimal. Yaitu suatu zona dimana seseorang hanya dapat menyelesaikan suatu tugas dengan bantuan orang lain. Jadi proses belajar yang baik terjadi jika yang dipelajari bukan hal yang telah dikuasai atau sebaliknya terlalu sulit untuk dikuasai. Guru atau pembimbing harus memberikan arahan-arahan yang tepat agar anak dapat mempelajari hal yang baru dengan aktif. Kita sering menemui orang tua yang membantu anak dengan cara mengerjakan tugas anak secara langsung. Tentu saja anak tidak akan menguasai cara mengerjakan tugas tersebut. Sebaiknya orang tua hanya memberi petunjuk dan bimbingan bagaimana cara mengerjakannya dengan baik.

Berdasarkan teori Vygotsky tentang proses belajar melalui interaksi sosial di atas kita sebagai guru harusnya menyadari mengenai pentingnya kualitas interaksi sosial siswa. Belajar akan terjadi dengan baik jika terjadi interaksi, baik dengan guru, teman-teman atau orang-orang lain di sekolah. Demikian pula saat di rumah dan lingkungan bermain. Guru harus menjaga lingkungan sekolah agar mendukung terjadinya interaksi yang positif, baik siswa dengan dirinya sendiri maupun antar siswa. Guru harus dapat menjadi orang yang dipercaya untuk membimbing atau mengarahkan siswa. Ia juga sebaiknya mengarahkan anak-anak agar terbiasa untuk bekerja sama secara positif melalui tugas-tugas ataupun interaksi kelompok saat bermain.

Selain guru, sekolah secara institusi juga harus memperhatikan bagaimana kualitas interaksi sosial yang terjadi. Peraturan dibuat agar suasana dan budaya sekolah mendukung kerja sama antar siswa dan hubungan yang baik siswa dengan guru. Berbagai program yang positif dan menumbuhkan kerjasama tim juga sangat layak untuk dirancang dan dikembangkan secara kreatif.


Buku Rujukan:
O'Hara, Kate E. 2007. Lev Vygotsky. Dalam The Praeger Handbook of Education and Psychology. Editor: Kincheloe, Joe L. Horn, Raymond A. Westport: Greenwood Publishing Group Inc.

Thursday, 17 December 2015

Pendidikan Progresif John Dewey


John Dewey adalah seorang ahli filsafat, pendidikan dan psikologi ternama di Amerika Serikat. Dalam psikologi pendidikan ia digolongkan ke dalam aliran fungsionalis, yaitu suatu aliran psikologi yang lebih menitikberatkan belajar pada kesadaran. Teori pendidikan yang ditulisnya dalam beberapa buku menghasilkan suatu teori besar yang disebut teori pendidikan progresif. Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar dalam teori pendidikan progresif John Dewey.

1. Pelaksanaan dan Tujuan Proses Pendidikan Harus diperoleh dari Diri Anak

Sekolah menurut Dewey seharusnya disesuaikan dengan karakter alami anak-anak. Ia menyatakan bahwa jika belajar bersifat pemaksaan maka hasilnya tidaklah produktif. Ilmu pengetahuan menurut Dewey tidak akan mendidik selama tidak menimbulkan manfaat bagi anak didik. Proses belajar seharusnya diawali dengan ide-ide, semangat dan kesenangan anak. Lebih jauh, Dewey menjelaskan bahwa karakter belajar manusia terbagi menjadi tiga yaitu play, work dan symbol. Karakter belajar anak yaitu play (bermain), dimana kesenangan terletak pada aktivitas itu sendiri. Semakin besar anak-anak akan beralih ke sifat work (kerja), yaitu aktivitas yang kesenangannya terletak pada hasil yang diperoleh. Di masa dewasa karakter tersebut akan beralih menjadi symbol yaitu aktivitas yang kesenangannya terletak pada simbol-simbol abstrak. Sekolah harus menyesuaikan aktivitas belajarnya pada ketiga karakter tersebut.

2. Anak-anak Bersifat Aktif

Sifat alami anak-anak adalah aktif. Mereka benci berdiam diri atau pasif. Sepanjang waktu mereka ingin melakukan banyak hal yang menarik, yaitu bermain dan mengenali banyak hal. Proses belajar yang membuat siswa pasif akan menyia-nyiakan waktu belajar anak. Berbeda dengan kebanyakan pendapat guru saat itu yang meyakini perannya sebagai pemberi ilmu pengetahuan sehingga siswa harus berkonsentrasi penuh untuk menerima pengetahuan. Namun pada kondisi belajar yang pasif itulah menurut Dewey pikiran anak-anak akan mati.

Berikut ini adalah salah satu hasil penelitian mengenai bagaimana pembelajaran di alam (dalam hal ini di ekosistem pantai) dapat membuat siswa belajar aktif (link download)


Anak-anak adalah individu yang aktif


3. Peran Guru Cenderung pada Fasilitator atau Penasehat, bukan Pemimpin yang Berkuasa

Bagi Dewey seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator ketimbang instruktur (pelatih atau pemberi materi pelajaran). Fungsi guru sebagai fasilitator dimulai dari mencari aktivitas yang menyenangkan anak, kemudian mengarahkan mereka untuk menemukan berbagai pelajaran yang bermakna. Pembelajaran yang menarik bukan seperti humor dan kebebasan yang sekedar menyenangkan tapi sedikit memberi pelajaran, sebaliknya pembelajaran harus berdisiplin dan menunjukkan kenyataan yang menantang. Berbagai materi dan media pembelajaran sebaiknya dimanfaatkan oleh guru untuk memberi pengalaman belajar yang menarik, mandiri dan bermakna bagi hidup mereka. Contohnya, anak-anak diarahkan untuk mengamati telur dan daging yang direbus. Mereka diarahkan untuk lebih memahami secara ilmiah mengapa perlu waktu yang berbeda untuk memasak kedua bahan tersebut.

4. Sekolah adalah Mikrokosmos dari Dunia Sosial yang Sebenarnya

Reproduksi seksual manusia akan menjaga keberlanjutan generasi. Menurut Dewey keberlanjutan generasi tidak cukup hanya dari reproduksi seksual, harus ada proses regenerasi sosial yang jalannya adalah melalui pendidikan. Karena itu sekolah harus menjadi suatu lingkungan yang akan menyiapkan anak-anak untuk benar-benar menjadi pengganti masyarakat di masa depan. Sekolah tidak boleh terpisah dari situasi sosial yang sebenarnya. Jika lingkungan sosial adalah makrokosmos maka lingkungan sekolah adalah mikrokosmos bagi anak.

John Dewey menyatakan betapa berbahayanya jika materi-materi sekolah benar-benar bersifat formal artinya tidak menggambarkan bagaimana kehidupan sosial anak yang sebenarnya. Nilai-nilai penting kehidupan sosial akan hilang dari dalam diri mereka.

5. Aktivitas Belajar Harus Lebih Diarahkan pada Pemecahan Masalah

Anak-anak harus diajari untuk berpikir, bukan mengingat atau menghafal informasi-informasi yang dihasilkan oleh para ilmuwan. Anak-anak adalah manusia yang secara alami berfungsi untuk memproduksi pengetahuan melalui aktivitasnya memecahkan masalah, bukan sebagai mesin pengingat fakta atau konsep. Untuk mendidik anak agar dapat menjadi individu dengan keterampilan berpikir itulah sekolah seharusnya dipenuhi oleh aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.

Melalui aktivitas pemecahan masalah anak-anak akan diajari untuk berpikir dan bekerja sama. Aspek yang lebih krusial dari aktivitas pemecahan masalah adalah anak-anak akan belajar bagaimana cara belajar yang terbaik dalam hidup yang sebenarnya. School is the preparation of life.

6. Atmosfer Sekolah Sebaiknya Kooperatif dan Demokratis 

Dewey adalah salah seorang filsuf yang meyakini bahwa demokrasi merupakan satu bentuk bernegara yang terbaik. Menciptakan dan menjaga demokrasi di masyarakat harus dimulai dari dunia anak, yaitu di sekolah. Mengajarkan demokrasi tidak bisa dilakukan melalui penyampaian materi biasa. Demokrasi harus berupa atmosfer yang melingkupi sekolah, sehingga siswa menjadi terbiasa. Dalam pikiran dan sikap mereka akan tumbuh suatu karakter demokratis yang nantinya akan dibawa ke masyarakat luas.

Atmosfer demokratis di sekolah muncul dalam bentuk interaksi yang kooperatif, baik antar siswa maupun siswa dengan elemen sekolah yang lain. Melalui tugas-tugas diberikan guru ataupun interaksi keseharian mereka di sekolah, kerja sama dan sikap saling menghargai diwujudkan.


Buku Rujukan:
Mucahy, Donal E. 2007. John Dewey. Dalam The Praeger Handbook of Education and Psychology. Editor: Kincheloe, Joe L. Horn, Raymond A. Westport: Greenwood Publishing Group Inc.

Tuesday, 15 December 2015

Ketika Guru akan Mengakhiri Orasi

Akhir orasi atau penutup memiliki fungsi yang tidak dapat diremehkan. Dengan memanfaatkannya secara optimal maka anda dapat memberi pemahaman dan kesan yang baik untuk para audien. Pembuka dan inti orasi yang berjalan sempurna dapat menjadi rusak jika anda tidak menutupnya secara tepat. 

Penutup yang baik akan memperkuat kesan orasi

Mengakhiri orasi secara tiba-tiba memberi kerugian tersendiri. Misalnya audien menjadi kurang siap dengan pertanyaan-pertanyaan (misalkan orasi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab) yang sebenarnya dapat membuat acara menjadi lebih interaktif. Selain itu kepastian akan isi orasi juga tidak dapat diperoleh. Karena itu bagi para guru yang akan mengakhiri orasi lebih baik untuk memperhatikan beberapa teknik di bawah ini.

Menggunakan kata-kata yang menandakan bahwa orasi akan berakhir

Dengan adanya sinyal (berupa kata-kata tertentu) akan memberi petunjuk kepada audien bahwa orasi akan segera berakhir. Mereka menjadi lebih siap. Bagi yang belum mengerti atau memiliki respon tertentu akan segera menyiapkan kalimat-kalimat untuk bertanya atau berpendapat. Kata-kata penanda akhir orasi misalnya, "demikian penjelasan dari saya .." atau "akhirnya pada akhir penjelasan ini .." dan lain sebagainya.

Menyimpulkan poin-poin orasi

Setiap audien memiliki konsentrasi yang berbeda dalam menyimak orasi anda. Oleh karena itu penutup yang baik salah satu intinya adalah kesimpulan mengenai poin-poin orasi. Sampaikan dengan singkat, jelas dan benar-benar menjadi inti orasi. Jangan terlalu berlebihan karena justru akan mengurangi kejelasan atau bahkan membingungkan audien (misalnya kesimpulan justru menambahkan informasi baru). Khusus bagi orasi yang dilakukan guru di dalam kelas, alangkah baiknya jika penyimpulan juga mengingutsertakan siswa untuk lebih dulu menyimpulkan sebelum dilakukan oleh guru.

Mengajak Audien untuk Melakukan Sesuatu 

Penutup orasi juga sebaiknya dapat menikdaklanjuti isi orasi. Jika orasi anda lebih bersifat informatif maka ajaklah mereka untuk mengkaji kembali apa yang dibicarakan saat itu, bisa juga melalui tanya jawab langsung. Jika orasi bersifat persuasif maka ajaklah audien untuk mengimplementasikan apa yang anda paparkan. Misalnya pada orasi untuk mencegah lebih parahnya pemanasan global maka di sesi penutup orator perlu untuk mengajak secara kuat melakukan beberapa teknik pencegahan secara individual atau berkelompok.

Mengajak audien melakukan sesuatu terkait isi orasi adalah suatu teknik yang sulit. Jika sekedar mengucapkan tentu mudah. Namun mengucapkan kalimat-kalimat yang menggugah hati mereka untuk melakukan itulah yang sulit. Selain pemilihan kata, gestur yang penuh antusias juga akan mempengaruhi dampak dari ajakan anda.

Kata Penutup Penuh Kesan

Pada fase paling akhir, biasanya orator yang baik akan menutup dengan kata-kata atau kalimat yang dapat memberi kesan yang mendalam bagi audien. Fungsi teknik ini adalah untuk memunculkan kesan positif dan suka pada orasi anda. Selain itu kesan yang mendalam harapannya akan lebih membuat orasi anda lebih lama diingat. Penutup yang berkesan dapat berupa kata-kata bijak, pepatah tradisonal, humor, referensi ilmiah atau bahkan sebuah pertanyaan. Pilihlah kata penutup yang benar-benar sesuai dengan kondisi saat itu. Misalnya ketika anda memberi sambutan untuk para siswa yang akan melakukan suatu lomba ilmiah maka gunakan penutup yang menggugah semangat bertanding secara jujur. 


Buku Rujukan:
O'Hair, Dan. Rubenstein, Hannah. Stewart, Rob. A Pocket Guide for Public Speaking. Edisi Tiga. Boston: Bedford

Sunday, 13 December 2015

Anjing pun bisa Mengajari Manusia, Teori Pengkondisian Klasik

Manusia dapat belajar dari apapun yang diamatinya. Langit, bintang, bulan, gunung-gunung, lautan, tumbuhan dan juga hewan. Semua fenomena alam pada dasarnya adalah ayat yang menunjukkan kemahakuasaan Allah yang dapat kita petik hikmahnya. Contoh populer tokoh yang belajar dari alam adalah Newton yang mendapat hikmah dari jatuhnya sebutir apel. Dalam tulisan ini kita akan mengulas bagaimana Ivan Pavlov, sang maestro psikologi perilaku, mencetuskan teori pengkondisian klasik dari seekor anjing.

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) merupakan ahli fisiologi hewan dari Rusia. Teori pengkondisian klasik yang merupakan bidang psikologi pendidikan, sebenarnya merupakan "kecelakaan" ketika pavlov sedang melakukan riset mengenai fisiologi pencernaan anjing. Secara tidak sengaja pengamatannya terhadap perilaku makan anjing memberikan ide tentang suatu proses belajar yang juga dapat diterapkan pada kehidupan manusia.

Pavlov mengamati bahwa anjing yang sedang lapar dan melihat makanan yang dibawa oleh petugas akan mengeluarkan air liur. Hal tersebut sudah biasa, bahkan kita manusia pun biasa mengeluarkan liur ketika melihat makanan enak dan sedang lapar. Namun yang menarik perhatian Pavlov adalah kenyataan bahwa lama-kelamaan anjing yang ditelitinya akan mengeluarkan air liur ketika mengetahui bahwa petugas datang (walaupun petugas tersebut tidak membawa makanan). Anjing menjadi terbiasa dengan petugas yang membawa makanan sehingga kehadiran petugas juga memberinya pengaruh seperti makanan.

Rumusan dari teori pengkondisian klasik Ivan Pavlov adalah sebagai berikut:
  1. keberadaan stimulus tak terkondisi, yaitu sesuatu yang secara alami dapat memicu atau merangsang munculnya respon. Dalam hal ini diwakili oleh makanan yang secara alami akan memicu respon keluarnya air liur.
  2. Keberadaan respon tak terkondisi, adalah respon yang muncul secara alami ketika stimulus tak terkondisi muncul. Dalam penelitian Pavlov diwakili oleh keluarnya air liur pada anjing.
  3. Keberadaan stmulus netral, yaitu sesuatu yang datangnya bersamaan dengan stimulus tak terkondisi dan secara alami tidak merangsang munculnya respon tak terkondisi. Dalam penelitian pavlov diwkili oleh petugas pembawa makanan.
  4. Perubahan stimulus netral menjadi stimulus terkondisi. Seringnya stimulus tak terkondisi dihadirkan bersamaan dengan stimulus netral pada akhirnya membuat stimulus netral juga dapat merangsang munculnya respon. Saat itulah stimulus netral telah berubah menjadi stimulus terkondisi. Pada penelitian Pavlov ditunjukkan oleh kehadiran petugas yang ternyata juga membuat anjing mengeluarkan air liur.
  5. Perubahan respon tak terkondisi menjadi respon terkondisi. Respon yang sebelumnya hanya dipengaruhi oleh stimulus tak terkondisi (alami) akhirnya juga dipengaruhi oleh stimulus terkondisi. Air liur pada anjing yang juga keluar ketika petugas hadir menunjukkan telah menjadi respon terkondisi.
Teori pengkondisi klasik ini sangat bermanfaat bagi guru yang ingin memunculkan semangat belajar pada siswanya. Terlebih dahulu guru mencari stimulus tak terkondisi pada diri siswa misalnya siswa senang cerita lucu.  Jika secara konsisten guru menghadirkan cerita lucu yang berkaitan dengan pelajaran setiap kali masuk, kemungkinan besar kehadiran dirinya (guru mata pelajaran tertentu) akan berubah dari stimulus netral menjadi stimulus terkondisi. Akibatnya siswa sudah memiliki semangat sebelumnya (sehingga mempersiapkan diri lebih baik) ketika anda akan mengajar.

Memasukkan kegiatan yang disukai anak dalam pembelajaran adalah contoh pengkondisan belajar

Para guru sekalian tentu dapat menggunakan prinsip ini dengan berbagai variasi yang sesuai kondisi siswa masing-masing. Semoga bermanfaat.


Buku Rujukan:
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories, an Educational Perspective. Edisi Enam. Boston: Pearson


Saturday, 12 December 2015

Keterampilan Proses Dasar dalam Sains

Masyarakat di Indonesia umumnya mengartikan ilmu pengetahuan atau sains sebagai kumpulan informasi, konsep-konsep atau yang paling naif ditandai dengan banyaknya rumus. Karena itulah, akhirnya mengajarkan sains berarti mengajarkan fakta-fakta, konsep atau bahkan rumus-rumus kepada peserta didik. Semakin banyak siswa mengingat dan memahami fakta, konsep dan rumus maka semakin berhasil seorang guru mengajarkan sains.

Sains bukan hanya sekedar pengetahuan atau konsep-konsep saja. Itu masih sebagian dari sains, disebut dengan scientific knowledge atau pengetahuan ilmiah. Bagian lain dari sains yang juga harus diajarkan adalah sikap ilmiah (scientific attitude) dan keterampilan ilmiah (scientific skill) atau lebih dikenal dengan keterampilan proses.

Keterampilan proses apakah ini?

Artikel ini akan membahas mengenai keterampilan proses dalam sains. Yaitu keterampilan yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk menghasilkan konsep atau informasi ilmiah. Ilmu pengetahuan sebenarnya dilahirkan dari proses para ilmuwan menghadapi masalah-masalah nyata dalam kehidupan mereka. Karena itulah keterampilan proses ini juga sangat bermanfaat bagi siapapun, ketika menghadapi permasalahan-permasalahan kesehatan, lingkungan, sosial dan teknologi. 

Terdapat banyak jenis keterampilan proses yang dimiliki oleh para ilmuwan. Namun untuk siswa sekolah, umumnya yang diajarkan adalah keterampilan proses dasar. Ada enam keterampilan proses dasar dalam sains yaitu:
  1. Mengamati, yaitu keterampilan untuk mendapatkan informasi mengenai suatu obyek atau fenomena dengan menggunakan indera. Hasil dari pengamatan adalah menjawab pertanyaan apa dan bagaimana. Namun sebaiknya tidak mengarah kepada kesimpulan akhir yang menjawab pertanyaan mengapa. Pada pengamatan tertentu biasanya ilmuwan menggunakan alat bantu seperti misalnya mikroskop untuk benda yang sangat kecil dan teleskop untuk benda-benda jauh. 
  2. Melakukan inferensi, yaitu keterampilan untuk membuat penjelasan mengenai suatu obyek atau fenomena berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dari pengamatan. Sinonim dari inferensi yang banyak digunakan adalah spekulasi dan hipotesis. Berbeda dengan pengamatan yang menghasilkan fakta, inferensi menghasilkan pendapat atau opini yang kuat berdasarkan fakta-fakta.
  3. Mengklasifikasi, yaitu keterampilan untuk mengorganisasikan obyek-obyek ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kriteria tertentu. Salah satu tugas ilmuwan adalah menjelaskan pola-pola kejadian atau obyek di alam. Mereka melakukannya didasari oleh keterampilan klasifikasi.
  4. Mengukur, yaitu keterampilan untuk melakukan pengamatan secara kuantitatif yang biasanya menggunakan alat ukur seperti penggaris, meteran, neraca dan termometer. Perlu diketahui bahwa pengukuran harus menggunakan alat ukur yang terstandarisasi. Hal ini dapat menjaga hasil pengukuran yang sama walaupun dilakukan oleh orang yang berbeda.
  5. Meramalkan (prediksi), adalah keterampilan untuk membuat pernyataan mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Untuk membuat sebuah prediksi kita harus mengetahui pola-pola peristiwa secara jelas. Akurasi atau ketepatan dari sebuah prediksi sangat dipengaruhi oleh pengamatan, klassifikasi hingga inferensi yang dilakukan sebelumnya.
  6. Melakukan komunikasi, yaitu keterampilan untuk hasil pengamatan, pengukuran, klasifikasi hingga prediksi kepada orang lain dalam bentuk tertulis maupun lisan. Keterampilan ini adalah aspek sosial dari sains. Hasil-hasil kerja dalam sains adalah untuk kepentingan masyarakat luas, oleh karena itu harus dikomunikasikan.
Buku Rujukan:
Settlage, John. Southerland, Sherry A. 2007. Teaching Science to Every Child, Using Culture as a Starting Point. New York: Taylor and Francis Group

Literasi Sains

Peradaban manusia di dua abad terakhir benar-benar berkembang pesat seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Kehidupan manusia saat ini tidak bisa dilepaskan lagi dari sains dan teknologi. Contoh sederhananya adalah listrik. Satu jam saja listrik mati kita merasa benar-benar menderita. Belum lagi berbagai sarana modern seperti televisi, handphone atau internet.

Penerapan sains dan teknologi dalam kehidupan masyarakat memiliki dua dampak yaitu positif dan negatif. Oleh karena itu penguasaan sains harus diimbangi dengan kesadaran mengenai berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu tujuan pendidikan di sekolah adalah mengajarkan literasi sains.

Salah satu tujuan sekolah adalah mengajarkan literasi sains

Literasi sains, menurut PISA (Programme for International Student Assessment adalah kemampuan untuk berpikir secara ilmiah (saintifik) dan menggunakan pengetahuan atau proses ilmiah, baik untuk memahami lingkungan di sekitar kita ataupun dalam rangka berpartisipasi dalam keputusan-keputusan atau aktivitas yang mempengaruhi lingkungan tersebut. 

Kemampuan literasi sains semakin dibutuhkan di dalam masyarakat dengan serbuan informasi dari media massa saat ini. Setiap saat kita disuguhi berbagai iklan produk teknologi dan gaya hidup tertentu yang tentunya memiliki dampak-dampak terhadap lingkungan, diri kita sendiri dan generasi mendatang. Masyarakat dengan literasi sains yang baik dapat menyaring informasi-informasi tersebut secara bijak sehingga tidak mudah terpengaruh dan mengambil keputusan-keputusan yang sehat.

Ukuran kemampuan literasi sains dalam PISA adalah berdasarkan tiga aspek utama yaitu:
  1. Pengetahuan atau konsep ilmiah, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengaplikasikan pengetahuan atau konsep tersebut dalam aktivitas berpikirnya. Tidak hanya mengingat atau menghafal.
  2. Proses ilmiah, yaitu kemampuan untuk mencari, menginterpretasi dan melakukan sesuatu berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Kemampuan ini terkait dengan a) mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi fenomena ilmiah, b) memahami proses penyelidikan ilmiah dan c) menginterpretasi bukti-bukti dan kesimpulan ilmiah.
  3. Situasi dan konteks, berhubungan dengan aplikasi dari pengetahuan ilmiah. Terdapat tiga konteks yaitu sains dalam kehidupan dan kesehatan, sains dalam lingkungan dan sains dalam teknologi.

Sumber Rujukan:
https://www.acer.edu.au/ozpisa/scientific-literacy

Friday, 11 December 2015

Teori Pemrosesan Informasi Atkinson dan Shiffrin

Berpikir adalah salah satu kemampuan yang harus diajarkan oleh guru kepada siswa. Banyak sekali aktivitas atau profesi manusia yang tergantung pada kemampuan yang satu ini. Berpikir hanya dapat dilakukan oleh manusia, tidak oleh makhluk lain. Tidak heran jika kemampuan berpikir disebut sebagai kemampuan yang membuat kita menjadi manusia. Sejak dulu manusia begitu tertarik untuk mempelajari dirinya sendiri. Salah satunya adalah bagaimana sebenarnya proses berpikir itu terjadi. Manfaat bagi guru ketika memahami proses berpikir pada manusia, ia dapat memaksimalkan pengajaran untuk para siswanya.

Salah satu teori yang membahas bagaimana proses berpikir manusia dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin pada tahun 1968. Kedua ahli psikologi kognitif ini berhasil memaparkan bagaimana perangkat berpikir manusia beserta proses yang terjadi secara jelas, logis dan sederhana. Teori mereka berdua dikenal dengan teori pemrosesan informasi. Teori ini telah banyak dimanfaatkan, termasuk di bidang pendidikan dan komputer. Artikel ini akan membahas teori Atkinson dan Shiffrin secara singkat.

Model Teori Pemrosesan Informasi Atkinson dan Shiffrin
(Gambar: Glassman & Hadad, 2009)

Informasi diterima oleh manusia melalui indera. Penerima informasi awal pada indera ini disebut sebagai memori sensorik (sensory memory). Menurut penelitian, informasi dari penglihatan hanya dapat bertahan kurang dari sedetik di memori sensorik, sedangkan informasi dari pendengaran dapat bertahan tiga sampai empat detik. Jika perhatian tidak diberikan pada informasi tersebut maka mereka akan hilang. Namun jika perhatian diberikan maka informasi akan diteruskan menuju memori jangka pendek (short term memory) yang dapat mempertahankan informasi hingga 15 detik.

Berdasar penjelasan tersebut kita dapat menyadari akan peran penting perhatian atau konsentrasi dalam memproses suatu informasi. Ratusan atau ribuan informasi sebenarnya berada di depan kita setiap saat. Namun jika kita tidak memperhatikannya maka sekian banyak informasi itu tidak akan memasuki pikiran.

Apa yang terjadi pada informasi di memori jangka pendek? informasi tersebut juga akan hilang jika kita tidak mengulang-ngulang perhatian padanya. Namun jika pengulangan dilakukan maka informasi dapat diteruskan ke memori jangka panjang (long term memory). Para peneliti menyatakan bahwa memori jangka panjang dapat menyimpan informasi sangat lama, tergantung pada penggunaannya. Jika teknik untuk meneruskan informasi ke memori jangka panjang adalah melalui pengulangan, kita menyebutnya sebagai proses menghafal atau mengingat.

Cara kedua untuk meneruskan informasi ke memori jangka panjang adalah dengan memahami (encoding). Maksudnya adalah menghubungkan informasi baru tersebut dengan berbagai informasi lama yang telah kita miliki (tersimpan dalam memori jangka panjang sebelumnya). Cara kedua ini diyakini membuat informasi dapat lebih tahan lama di memori kita. Selain itu dengan memahami maka semua informasi akan lebih bermanfaat dalam aplikasi kehidupan sehari-hari.

Berbagai informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh memori jangka pendek jika kita memerlukannya (misalnya ketika menghadapi masalah tertentu). Hingga saat ini para ahli belum dapat menentukan secara pasti berapa kapasitas penyimpanan memori jangka panjang manusia. Karena itu dikatakan bahwa kapasitas memori jangka panjang kita tidak terbatas.

Berdasarkan teori pemrosesan informasi ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para guru:
1. Perhatian sangat penting, oleh karena itu selalu upayakan agar siswa anda benar-benar 
    memperhatikan pelajaran. Meskipun mereka tampak melihat anda, namun belum tentu pikiran
    mereka perhatian kepada apa yang anda jelaskan.
2. Sebaiknya lebih mengutamakan belajar dengan memahami dari pada melalui hafalan.


Buku Rujukan:
Glassman, William E. Hadad, Marilyn. 2009. Approaches to Psychology. Edisi Lima. London: McGraw Hill Companies

Thursday, 10 December 2015

Sekolah dan Kesulitan Berpikir

Sekolah selalu mengharapkan para siswa di dalamnya dapat menikmati proses belajar dan sukses memperoleh berbagai kemampuan atau keterampilan yang diajarkan. Salah satu hal pokok yang diajarkan di sekolah adalah keterampilan berpikir. Sayangnya keterampilan ini juga yang membuat siswa banyak tidak betah atau menyukai sekolah. Mengapa?

Menurut kajian para ahli psikologi kognitif, berpikir adalah proses yang paling banyak menyedot energi pada diri manusia. Prosesnya rumit dan menuntut kesabaran serta pengetahuan dasar yang cukup. Karena kerumitan dan boros energi itulah maka sebenarnya otak manusia lebih cenderung menghindari berpikir dan mengembangkan ingatan. 


Berpikir Menghabiskan Banyak Energi dan Rumit

Manusia hanya berpikir ketika pertama kali menghadapi suatu masalah atau tuntutan kebutuhan. Otak akan menyimpan cara-cara atau keterampilan yang telah dihasilkan dari proses (pengalaman) memecahkan masalah itu. Ketika menghadapi masalah-masalah yang sama maka kita cenderung untuk tidak berpikir lagi, melainkan menggunakan memori lama tentang pemecahan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan otak untuk efisiensi energi dan proses.

Contoh penjelasan di atas adalah ketika anda belajar naik sepeda. Otak bekerja keras untuk mengatur keseimbangan kerja organ-organ tubuh yang berperan penting dalam mengendarai sepeda. Belajar di awal-awal sangat melelahkan. Setelah selesai belajar, otak akan menyimpan keterampilan itu. Waktu-waktu sesudahnya, otak tidak lagi harus berpikir keras ketika mengendarai sepeda. Kita hanya mengandalkan ingatan akan latihan yang sebelumnya telah dilakukan. Bersepeda pun menjadi aktivitas ringan bahkan menyenangkan karena kemudahan dan pemandangan yang berbeda.

Berpikir ternyata mengkonsumsi banyak energi dan rumit. Hal inilah yang memberi penjelasan mengapa banyak anak yang tidak suka sekolah, yaitu ketika mereka berada di dalam kelas untuk belajar materi-materi dari guru. Yang siswa sukai dari sekolah tentunya bermain saat istirahat atau pertemanan yang lebih luas.

Salah satu saran yang diberikan oleh ahli psikologi kognitif untuk masalah ini adalah guru harus mengatur pembelajaran sesuai dengan level kemampuan siswa, jangan sampai terlalu sulit. Juga jagan terlalu cepat. Bumbui pelajaran dengan banyak hal yang menyenangkan atau memudahkan sehingga mereka tetap dapat bertahan.

Buku Rujukan:
Willingham, Daniel T. 2009. Why Don't Students Like School?. San Francisco: Jossey Bass

Wednesday, 9 December 2015

Budaya Sekolah

Masyarakat memiliki suatu tatanan yang membuat setiap orang yang menjadi anggotanya dapat hidup bersama dalam suatu kondisi yang saling melengkapi dan teratur. Sesuatu yang berfungsi menciptakan tatanan tersebut ada dua jenis, yaitu yang nyata terlihat berupa aturan-aturan tertulis. Yang kedua adalah yang tidak tertulis yang dikenal dengan istilah adat, norma, kebiasaan atau yang secara umum disebut dengan budaya.

Generasi baru harus mengalami proses penanaman budaya agar mereka dapat menggantikan peran generasi lama dalam menjaga keteraturan, kreativitas dan daya tahan suatu masyarakat (bangsa). Sekolah adalah salah satu lembaga yang berfungsi untuk menanamkan budaya dan melahirkan generasi yang berbudaya. Maka tidak salah jika terdapat suatu konsep, pendidikan adalah sebuah pembudayaan.

Budaya secara sederhana adalah cara hidup masyarakat, yang terdiri dari cara berpikir,  menentukan baik dan buruk, serta cara berperilaku setiap harinya. Kita dapat bayangkan bagaimana seandainya suatu masyarakat terdiri atas orang-orang dengan cara berpikir dan cara hidup yang berbeda-beda atau bahkan saling bertolak belakang. Misalnya yang satu berprinsip kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan yang lain dapat merampas harta orang lain untuk bertahan hidup. Masyarakat akan menjadi kacau dan pada akhirnya akan hancur dengan sendirinya.

Ilmu pengetahuan memang menjadi hal utama yang diajarkan di sekolah. Terutama karena keyakinan masyarakat banyak bahwa budaya terbaik yang pernah muncul di dunia ini adalah budaya ilmu. Namun sebagai guru harus benar-benar teliti dan mengamati dengan seksama apakah budaya sekolah telah sesuai dengan budaya ilmu yang diajarkan.

Salah satu permasalahan besar dari dunia pendidikan kita saat ini adalah bahwa ilmu pengetahuan diajarkan hanya berupa teori-teori tanpa ruh sikap dan budaya yang melahirkannya. Akibatnya pengajaran ilmu pengetahuan justru tidak melahirkan budaya jujur (obyektif), kreatif, kerja sama dan tanggung jawab. Banyak kita temui sekolah yang justru budayanya adalah ketidakjujuran, kemalasan, serta kekerasan.

Membiasakan Jujur Saat Ujian adalah Contoh Bentuk Pembudayaan

Tugas membangun budaya sekolah dimulai dari kelas dan interaksi setiap hari antara guru dan siswa. Misalnya membiasakan bersih, jujur saat ujian atau berpikir dan saling bertukar pendapat. Tentu hal ini tidak akan dapat berlangsung jika guru tidak memulai dari diri sendiri. Membangun budaya ilmu di sekolah memang berat, namun jika dapat dilakukan maka hasilnya sungguh akan luar biasa.

Buku Rujukan:
Ryan, Kevin. Cooper, James M. 2010. Those Who Can Teach. Edisi Dua Belas. Boston: Wadsworth Cengege Learning

Tuesday, 8 December 2015

Kata Kunci untuk Orasi Guru

Berbicara di depan publik (orasi) merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh guru. Tidak hanya berbicara di kelas, guru juga membutuhkan keterampilan ini ketika memberi sambutan atau pembicara di acara-acara sekolah, menjadi pemateri di seminar atau acara-acara yang lain. Karena itu tidak salah jika seorang guru juga adalah seorang orator.

Menyampaikan suatu pembahasan di depan publik bisa dengan membaca sebuah naskah, menggunakan media yang berisi kalimat-kalimat kunci (seperti power point) atau sama sekali tidak menggunakan naskah dan media pendukung. Ketika menyampaikan pidato menggunakan naskah, maka yang perlu dilakukan guru adalah memahami isi naskah dan berlatih membacanya secara tepat beberapa kali. Demikian pula ketika menggunakan media pembantu seperti ppt di proyektor. 

Persiapan menjadi lebih berat ketika guru melakukan orasi tanpa menggunakan naskah atau media pendukung. Semua isi pembicaraan secara sistematis harus tersimpan di kepalanya . Bagi seseorang yang telah mahir dan jam terbangnya tinggi mungkin hal ini mudah dilakukan, bahkan bisa jadi lebih mudah daripada menggunakan media bantu. Namun bagi seorang guru pemula atau yang belum berpengalaman banyak berbicara di depan publik, hal ini sangat sulit dilakukan.

Berbicara di depan publik tanpa media bantu sebenarnya terbagi menjadi dua yaitu:
1. Memorier, yaitu jika isi pembicaraan telah dipersiapkan sebelumnya secara lengkap kemudian 
    sang orator menghafal isinya dengan baik.
2. Impromtu, yaitu jika isi pembicara lebih bersifat spontanitas. Biasanya sang orator hanya 
    menyiapkan tema utama dan sub-sub tema yang mendukungnya. 

Bagi seorang pemula mungkin cara yang pertama akan terlihat lebih mungkin dilakukan. Namun situasi panggung yang balum benar-benar dikuasai dapat mengacauan konsentrasi sehingga hafalan akan orasi yang akan disampaikan menjadi kacau bahkan hilang. Untuk itu setelah mempelajari dan menghafal isi orasi sebaiknya digunakan kata-kata kunci, untuk lebih memudahkan mengingat kembali ketika situasi gugup muncul.


Kata kunci dapat membantu orator menjadi lebih tenang


Isi orasi terlebih dahulu dibuat dalam bentuk kerangka pokok pembahasan. Pokok-pokok bahasan tersebut kemudian disederhanakan lagi menjadi kata-kata kunci yang berurutan. Kata-kata tersebut harus benar-benar secara logis dapat kita hubungkan satu dengan yang lain sesuai dengan isi orasi secara keseluruhan. Hal ini dapat dimisalkan seperti pembuatan suatu peta konsep. Beberapa kata dalam peta konsep tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain hingga membentuk suatu cerita yang lengkap. 

Langkah selanjutnya kata-kata kunci dituliskan secara rapi dalam suatu lembar yang praktis atau beberapa kartu yang mudah dibawa sehingga dapat digunakan untuk latihan kapanpun dikehendahi. Bahkan saat-saat menjelang penyampaian orasi. Namun perlu diingat persiapan yang berlebihan menjelang tampil justru dapat menghilangkan konsentrasi dan meningkatkan kegugupan.

Hilangnya konsentrasi karena kegugupan merupakan gejala mental yang normal ketika seseorang menjadi pusat perhatian. Todak hanya di atas panggung, seorang guru yang baru pertama mengajar juga pasti mengalami demam panggung ini. Penggunaan kata kunci dan juga media bantu, di awal-awal pasti juga masih agak berat. Butuh latihan dan persiapan yang matang. Namun seiring dengan seringnya berbicara di depan publik, maka kata-kata kunci tersebut akan sangat mudah diingat. Bahkan seorang orator yang sangat berpengalaman dapat membuat suatu orasi secara spontan saat itu juga dengan baik.

Buku Rujukan:
O'Hair, Dan. Rubenstein, Hannah. Stewart, Rob. A Pocket Guide for Public Speaking. Edisi Tiga. Boston: Bedford

Sunday, 6 December 2015

Teori Rudolf Dreikur untuk Mengatasi Permasalahan Kelas

Rudolf Dreikur (1897-1972) merupakan salah seorang ahli psikoanalisis Amerika serikat. Teorinya sangat bermanfaat bagi guru untuk melakukan pengontrolan kelas tanpa harus menggunakan punishment secara dominan. Dreikur meyakini bahwa perilaku bermasalah siswa seringkali dikarenakan keinginan mereka untuk dikenali dan diperhatikan oleh guru atau teman-temannya.

Rudolf Dreikur
(Sumber Gambar: http://www.qotd.org/search/search.html?aid=8035)

Beberapa premis yang menjadi kunci untuk memahami manusia (dalam hal ini peserta didik) menurut Dreikur ada tiga:
1. Manusia adalah makhluk sosial, yang membutuhkan perhatian, diterima dan menjadi bagian dari 
    kelompok sosial yang menjadi tempat hidupnya.
2. Perilaku manusia ditentukan oleh tujuan-tujuannya. Juga menjadi alat untuk mencapai kebutuhan
    mendapat perhatian, diterima dan menjadi bagian dari kelompok sosial di sekelilingnya.
3. Manusia dapat memilih untuk berperilaku baik atau buruk.

Selain tiga aspek kunci di atas Dreikur juga meyakini bahwa manusia mengembangkan suatu mekanisme untuk mempertahankan harga dirinya. Karena itu dalam teorinya Dreikur menyatakan bahwa perilaku buruk siswa adalah dikarenak keinginan mereka untuk memperoleh perhatian dan penerimaan dari lingkungannya, atau untuk mempertahankan harga diri. 

Secara lebih spesifik Dreikur menguraikan tujuan-tujuan siswa berperilaku buruk yaitu: 1) Untuk memperoleh perhatian baik dari guru atau teman-temannya. 2) Tidak ingin dikuasai oleh siapapun termasuk juga oleh guru, yang diinginkannya justru mengontrol guru. 3) Melakukan pembalasan terhadap teman yang pernah menyakiti atau tidak disukainya. 4) berpura-pura tidak mampu mengerjakan tugas atau belajar suatu materi untuk memperoleh suatu perlakuan yang spesial dari guru.

Berdasarkan tujuan-tujuan dalam teori Dreikur di atas guru sebaiknya mendalami dan menganalisis tujuan dasar suatu siswa ketika bermasalah sebelum melakukan pendekatan dan memperbaikinya. Berdasarkan teori-teorinya, Adler dan Dreikur akhirnya mengembangkan suatu model disiplin yang bersifat kooperatif. Karakter kooperatif di sini lebih mengarah pada pembagian peran dan tanggung jawab antara guru dan siswa untuk mewujudkan kedisiplinan dan keteraturan dalam belajar. Untuk teori ini akan disajikan secara lebih lengkap di artikel yang berbeda.

Buku Rujukan:
Wiseman, Denis G. Hunt, Gilbert H. 2014. Best Practice in Motivation and Management in The Classroom. Edisi Tiga. Springfield: Charles C Thomas Publisher Ltd.

Saturday, 5 December 2015

Teori Manajemen Jacob Kounin untuk Pengelolaan Kelas

Salah satu teori manajemen kelompok yang sangat berpengaruh bagi para pendidik adalah teori manajemennya Jacob Kounin (seorang ahli psikologi pendidikan asal Ohio, Amerika Serikat). Dalam teori ini suatu kelompok (kelas dimana guru mengajar) dianggap sebagai suatu kelompok sosial kecil, dimana setiap interaksi yang terjadi akan selalu berpengaruh terhadap keseluruhan anggota kelompok. Agar kelas dapat berjalan dan mencapai tujuan-tujuannya maka seorang guru harus menunjukkan karakter sebagai seorang pemimpin yang baik.

Lima karakter kelas berdasarkan teori Kounin adalah sebagai berikut:
1. Menghindari kebosanan siswa
2. Transisi antara satu tugas dengan aktivitas yang lain berjalan halus
3. Semua siswa tetap fokus (konsentrasi)
4. Guru mengetahui kejadian di seluruh kelas.
5. Guru sadar bahwa interaksi dengan setiap siswa akan berpengaruh terhadap keseluruhan siswa

Menghindari situasi yang membosankan, guru diharapkan menggunakan metode atau media pengajaran yang bervariasi. Ketika siswa terlibat di dalam suatu pembelajaran yang menyenangkan serta mereka ketahui manfaatnya (bermakna) biasanya sangat jarang muncul permasalahan perilaku siswa di dalam kelas. Kecepatan mengajar juga perlu diperhatikan, berdasarkan banyak penelitian lebih baik pembelajaran berjalan agak cepat dari pada terlalu lambat. Namun transisi aktivitasnya harus berjalan dengan halus, artinya tidak tergesa-gesa dan sistematis.

Siswa tetap fokus umumnya ketika mereka berada dalam aktivitas pembelajaran. Ketika aktivitas telah selesai, atau menunggu aktivitas berikutnya, umumnya permasalahan-permasalahan perilku akan muncul. Oleh karena itu berbagai aktivitas belajar yang telah direncanakan guru sebaiknya tidak menyediakan terbanyak banyak waktu kosong atau menunggu.

Guru sebagai pemimpin yang baik juga mengetahui berbagai kejadian di setiap sudut kelasnya. Jangan sampai ada bagian yang terabaikan. Kounin menyatakan bahwa keterampilan ini membuat guru seperti memiliki mata di bagian belakang kepalanya. Ketika terjadi suatu permasalahan di salah satu bagian kelas, ia cepat tanggap dan segera melakukan penyelesaian sebelum masalah menjadi tambah serius.

Guru harus sadar bahwa setiap interaksi yang ia lakukan dengan salah seorang siswa akan berpengaruh terhadap siswa yang lain. Oleh karena itu ketika menegur atau menyelesaikan permasalahan yang dilakukan oleh salah seorang siswa, guru melakukannya dengan adil, tegas namun tidak mendatangkan dendam. Dengan demikian semua siswa di dalam kelas akan mendapatkan pelajaran yang baik dari peristiwa tersebut. Demikian pula ketika guru memberikan pujian atau penghargaan kepada salah seorang siswa, secara psikologis hal tersebut juga mempengaruhi siswa-siswa lain.

Apa yang dilakukan guru pada seorang siswa akan berpengaruh pada seluruh kelas

Permasalahan perilaku siswa yang tidak segera ditangani menunjukkan bahwa hal tersebut diijinkan oleh guru, hal ini akan membuat siswa yang lain berpersepsi demikian. Akibatnya kegaduhan atau permasalahan akan merambat. Sebagai contoh guru tidak menegur salah satu siswa yang tidur, maka percayalah beberapa menit kemudian jumlah siswa yang tidur atau tidur-tiduran akan bertambah.

Buku Rujukan:
Wiseman, Denis G. Hunt, Gilbert H. 2014. Best Practice in Motivation and Management in The Classroom. Edisi Tiga. Springfield: Charles C Thomas Publisher Ltd.

Friday, 4 December 2015

Langkah-langkah Guru Menyampaikan Materi Pelajaran

Menyampaikan (presenting) materi pelajaran adalah salah satu tugas pokok guru sehari-hari. Keterampilan-keterampilan tertentu seperti keterampilan berkomunikasi, menggunakan media dan penguasaan materi pembelajaran menentukan kualitas penyampaian materi. Selain itu, berdasarkan penelitian, terdapat beberapa langkah utama yang harus  diperhatikan guru untuk menyampaikan materi pelajaran dengan baik. Terdapat empat langkah yang akan diuraikan dalam tulisan ini: memperoleh perhatian siswa, menyampaikan advance organizer, menyampaikan materi pelajaran dan mengecek pemahaman siswa.

1. Memperoleh Perhatian Siswa

Perhatian adalah kunci bagi masuknya setiap informasi ke dalam pikiran seseorang. Oleh karena itu guru harus memastikan bahwa siswa telah cukup berkonsentrasi pada pelajaran sebelum ia mulai mengajar. Menyampaikan tujuan pembelajaran merupakan salah satu cara yang umum dipakai oleh guru untuk fungsi memperoleh perhatian. Perlu diingat bahwa menyampaikan tujuan harus membuat siswa tertarik atau merasa bahwa yang akan guru sampaikan adalah sesuatu yang penting. Menyampaikan tujuan ala kadarnya tidak cukup berpengaruh pada perhatian mereka. Siswa dapat berpura-pura memperhatikan namun sebenarnya pikirannya masih terbang ke berbagai penjuru.

Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan menagarahkan siswa untuk benar-benar menyiapkan diri untuk belajar. Misalnya dengan mengecek peralatan belajar yang sesuai untuk materi pelajaran tersebut. Hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasi sebaiknya diminta untuk disimpan. 

2. Menyampaikan Advance Organizer

Advance organizer adalah sesuatu yang dapat menggambarkan materi yang akan disampaikan oleh guru secara sederhana. Hal ini akan mempermudah pikiran siswa untuk membayangkan secara garis besar apa yang bakal ia terima dari guru. Sebaiknya advanve organizer diambil dari sesuatu yang telah diketahui oleh siswa sebelumnya, sangat baik jika sesuatu itu telah akrab dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Contoh dari advancer organizer adalah dengan menggunakan permisalan (analogi) atau cerita yang siswa kenali dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menggambarkan materi. Semisal guru IPA yang akan menjelaskan sel awalnya menceritakan (bisa juga menunjukkan gambar) bagaimana struktur bangunan baik rumah, kantor, sekolah dan masjid di sekitar siswa. Diceritakan bahwa sebenarnya aneka bangunan itu disusun dari batu bata dan semen yang bentuknya mirip. Ratusan atau bahkan ribuan batu bata ternyata dapat menjadi berbagai bangunan dengan bentuk yang beraneka macam. Seperti itu juga dengan sel-sel yang menyusun berbagai jenis mahluk hidup.

3. Menyampaikan Materi Pelajaran

Langkah ini adalah inti dari proses yang kita pelajari. Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh berfungsinya langkah-langkah yang lain. Beberapa aspek yang menjadi kuci dari proses penyampaian materi pembelajaran adalah kejelasan, penggunaan contoh, adanya transisi dan juga antusiasme guru.

Kejelasan dari pemaparan materi, dimulai dari penguasaan guru akan materi yang disampaikan. Perencanaan yang baik akan menghasilkan penyampaian yang lebih teratur. Pengaturan volume suara, kecepatan bicara, serta pemilihan kata-kata yang dimengerti siswa akan lebih memperjelas materi. Salah satu cara yang dapat meningkatkan kejelasan guru dalam menyampaikan materi adalah latihan.

Penggunaan contoh akan membuat siswa lebih memahami materi yang disampaikan. Sebaiknya digunakan contoh-contoh yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa (kontekstual). Jika guru hanya menggunakan buku teks apa adanya, seringkali buku teks disusun oleh seorang ahli dari tempat lain sehingga contoh-contoh yang disajikan juga sangat berbeda dengan kehidupan siswa di sekolah itu.

Transisi adalah jeda antar ide atau pokok bahasan. Transisi digunakan untuk memberi kesempatan pada siswa memahami suatu pokok pembahasan sebelum berlanjut ke pokok bahasan selanjutnya. Selama transisi guru dapat kembali mengulangi atau mengingatkan kesimpulan dari pokok bahasan yang baru disampaikan. 

Antusias menunjukkan semangat guru untuk mengajar. Senyum dan wajah yang menunjukkan semangat akan memberi kesan positif pada diri siswa. Apalagi jika secara tepat guru dapat memberi humor yang tidak mengganggu konsentrasi siswa, maka pembelajaran akan lebih menyenangkan. Jangan menuntut semangat belajar siswa jika di sisi lain guru justru tidak menunjukkan semangat mengajar.

Guru Mengajar dengan Antusias

4. Mengecek Pemahaman Siswa

Mengecek pemahaman siswa setelah penyampaian materi sebaiknya tidak ditanyakan secara langsung, "apakah kalian sudah paham?" Tentu saja jawaban siswa sebagian besar, "pahaaam!" Paling tidak guru memberikan pertanyaan terkait dengan ide-ide utama materi yang baru saja ia sampaikan. Akan lebih baik jika ternyata di antara siswa juga ada yang berani mengajukan pertanyaan.

Teknik lain adalah dengan meminta siswa untuk menyimpulkan materi secara bergantian. Sebelum akhirnya guru juga menyimpulkan di sesi paling akhir.

Dalam aplikasinya seringkali guru harus menyesuaikan langkah pembelajarannya dengan kondisi siswa agar terjadi interaksi yang positif. Berikut ini adalah penelitian mengenai interaksi guru dan siswa dalam pembelajaran yang dapat anda download http://metastead.com/20sm


Sumber Rujukan:
Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach. Edisi Sembilan. New York: MacGraw Hill Companies, Inc.
http://study.com/academy/lesson/advance-organizer-examples-lesson-quiz.html

Thursday, 3 December 2015

Pertanyaan untuk Pemahaman Siswa

Komunikasi merupakan kunci pembelajaran. Berbagai kemampuan atau keterampilan diajarkan oleh guru kepada siswa melalui proses komunikasi. Bagaimana partisipasi siswa dalam komunikasi di kelas menunjukkan kualitas pembelajaran. Semakin tinggi partisipasi siswa untuk berkomunikasi secara positif di dalam pembelajaran merupakan salah satu indikator bahwa proses pembelajaran telah berjalan dengan baik.

Siswa seringkali tidak berani untuk aktif di kelas. Untuk itulah guru harus memancing prtisipasi mereka. Guru harus pandai menyelipkan pertanyaan-pertanyaan dalam aktivitas mengajarnya. Melalui pertanyaan yang dilontarkan itu diharapkan siswa akan menjawab, berpendapat, menyanggah pendapat yang lain atau bahkan muncul pertanyaan lanjutan. Jika hal tersebut terjadi, maka kelas akan ramai, artinya partisipasi siswa dalam pembelajaran akan tinggi.

Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, diperoleh temuan bahwa guru telah banyak menggunakan pertanyaan di dalam pembelajaran. Namun sayangnya, pertanyaan sebagian besar masih didominasi oleh pertanyaan tingkat rendah. Yaitu pertanyaan yang hanya mendorong siswa untuk mengingat atau menghafal materi yang telah disampaikan sebelumnya. Masih jarang guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, artinya pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir. 

Contoh-contoh pertanyaan tingkat rendah adalah apa nama bagian bunga yang berfungsi untuk menarik serangga untuk hinggap? Siapa pencetus teori evolusi? atau jelaskan apa yang dimaksud dengan proses fotosintesis! Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut siswa hanya butuh mengingat kembali apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh guru atau apa yang telah ia baca di buku.

Bahkan ada jenis pertanyaan yang pada dasarnya adalah tanya jawab semu. Hal ini sebaiknya dihindarkan (terkait bagaimana sebenarnya tanya jawab semu silahkan baca hasil penelitian ini http://metastead.com/20sm)

Untuk mengetahui pemahaman siswa sebaiknya guru tidak hanya menggunakan pertanyaan-pertanyaan tingkat rendah. Variasi pertanyaan dibutuhkan untuk memperoleh gambaran mengenai pemahaman siswa, apakah mereka hanya dapat menghafal atau telah memahami materi secara mendalam. Tentu saja yang paling parah adalah mereka yang untuk mengingat materi pun tidak bisa. 

Beberapa contoh pertanyaan tingkat tinggi antara lain, Mengapa para petani mengganti tanaman mereka seiring dengan pergantian musim? atau Bagaimana kondisi hewan-hewan di kepulauan galapagos dapat mengarahkan Darwin menyusun teori evolusi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat siswa harus menggabung beberapa informasi dan mengolahnya sebelum dapat menjawab pertanyaan. Jawaban tidak dapat langsung siswa sampaikan hanya dengan mengingat suatu informasi. Kecuali tentu saja pertanyaan tersebut telah pernah dibahas dan siswa hanya mengulangi jawabannya.

Untuk memancing partisipasi siswa, sebaiknya pertanyaan dibuat menarik dan bervariasi. Misalnya dengan menghubungkan teori dan kasus terbaru yang terjadi di sekitar siswa. Penggunaan gambar atau benda-benda nyata kemudian memberi pertanyaan terkait dengan gambar atau benda nyata tersebut juga dapat memancing lebih banyak partisipasi.

Guru Bertanya saat Pembelajaran
(Sumber: Cooper, 2011)

Satu hal yang perlu diperhatikan guru ketika menggunakan pertanyaan tingkat tinggi adalah mengetahui level kemampuan dan pengetahuan siswa. Pertanyaan yang diberikan sebaiknya tidak terlalu mudah sehingga membuat siswa tidak tertarik, namun juga tidak terlalu sulit sehingga siswa stres dan malas untuk ikut berpartisipasi. Menurut Vygotsky, pertanyaan sebaiknya diberikan berada pada zona perkembangan proksimal (setingkat di atas pengetahuan siswa, namun masih mungkin untuk mereka upayakan).

Buku Rujukan:
Cooper, James M. 2011. Classroom Teaching Skill. Edisi Sembilan. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Monday, 30 November 2015

Teori Equilibrasi Kognitif Jean Piaget

Jean Piaget (1896-1980) adalah ahli psikologi asal Swiss yang mendalami bagaimana kondisi dan perkembangan kognitif pada manusia. Kita ketahui bahwa berpikir merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki manusia. Oleh karena itu sebagian besar ahli psikologi meyakini bahwa inti dari proses belajar manusia terletak pada kognisinya.

Setiap informasi yang diterima oleh indera manusia akan tersimpan di dalam pikirannya. Kumpulan informasi tersebut akan membentuk pola-pola berpikir yang khas pada setiap orang. Organisasi informasi di dalam pikiran oleh Piaget disebut dengan istilah "skema." Skema setiap manusia adalah unik, dibentuk oleh berbagai pengalaman dan sejarah hidupnya. Karena itu ide-ide ataupun pemahaman seseorang sangat mungkin berbeda dengan orang lain, walaupun menyangkut satu hal yang sama.

Salah satu teori kognitif Piaget adalah teori equilibrasi kognitif. Piaget meyakini bahwa semua manusia memiliki dorongan untuk menyesuaikan (memahami) pikiran dengan pengalaman yang dihadapinya. Ketika skema yang dimiliki seseorang berbeda dengan fenomena yang baru ditemui, maka akan muncul suatu dorongan dalam dirinya untuk menyesuaikan atau bahkan merombak skema agar dapat sesuai (memahami) fenomena tersebut.

Keseimbangan antara skema dengan kondisi sekitar seseorang disebut dengan equilibrium (seimbang). Ketika seseorang menemui sesuatu yang baru maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) kognitif. Saat itu akan muncul dorongan alami untuk menyesuaikan skema lama dengan pengalaman baru, proses ini disebut dengan equilibrasi (proses menuju keseimbangan).

Berdasarkan teori tersebut maka sangat baik untuk mendorong terjadinya disequilibrium pada diri siswa agar muncul motivasi belajar. Sebagai contoh, guru IPA di awal pembelajaran mendemonstrasikan suatu kejadian aneh yang berkaitan dengan teori IPA yang akan diajarkan. Atau memberi mereka aktivitas penelitian sederhana yang aneh, menarik atau menegangkan.

Aktivitas yang Memunculkan Equilibrasi Kognitif
(Sumber: Snowman, McCown & Biehler, 2012)

Ketidakseimbangan kognitif dikenal juga dengan istilah konflik kognitif, telah banyak diteliti dan menghasilkan dampak positif pada belajar siswa. Pada link berikut adalah salah satu contoh bagaimana implementasi konflik kognitif memiliki dampak positif pada aspek-aspek belajar siswa http://metastead.com/9rQw

Proses equilibrasi menyebabkan kemampuan kognitif anak terus mengalami perkembangan. Dalam penelitiannya Jean Piaget menemukan bahwa perkembangan kognitif anak hingga dewasa berlangsung dalam empat tahap perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, praoperasional, operasional kongkrit dan operasional formal (untuk lebih jelasnya silahkan baca atau unduh  disini).

Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick. Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Tiga Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Saturday, 28 November 2015

Alasan Remaja Masuk Geng

Geng merupakan kelompok yang umumnya terkait dengan unjuk kekuasaan di suatu daerah atau kelompok tanpa daerah kekuasaan yang memiliki aktivitas-aktivitas tertentu. Kita banyak menemukan keberadaan geng di kota-kota besar. Geng identik dengan kelompok orang yang mengganggu masyarakat. Anggota geng sebagian besar adalah remaja. 

Guru dan orang tua tentu mengkhawatirkan anak-anak mereka yang hidup di lingkungan penuh geng. Tidak hanya proses belajar dan prestasi di sekolah yang terganggu, ketika remaja telah tergabung dalam sebuah geng biasanya ia akan mengalami perubahan kepribadian yang conderung merusak. Pikiran, sikap dan prinsip hidup mereka cenderung mengarah pada kekerasan dan tidak menyukai norma-norma sosial ataupun agama. Inilah yang benar-benar merisaukan.

Penelitian yang dilakukan para sosiolog terkait alasan remaja masuk geng menunjukkan bahwa alasan utamanya adalah karena teman-teman mereka juga masuk geng tersebut. Efek teman-teman sebaya untuk anak remaja yang berada pada fase pencarian identitas rupanya benar-benar kuat. Masuknya anggota-anggota melalui jalur pertemanan membuat geng dapat eksis walaupun tanpa ikatan-ikatan administratif. Yang mengikat mereka adalah solidaritas pertemanan di antara remaja yang seringkali tidak rasional.

Lebih lanjut, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa geng lebih dominan diikuti oleh remaja-remaja yang tersisihkan dalam lingkungan sosial mereka. Melalui keanggotaan dalam geng mereka akan memperoleh kesenangan, status sosial (diakui keberadaan mereka oleh gengnya) dan bahkan perasaan memiliki suatu kekuatan ketika bersama kelompoknya. Hal tersebut jauh berbeda ketika mereka berada di luar geng, yaitu tersisihkan, tertindas oleh remaja-remaja lain dan juga kurangnya teman.

Salah Satu Bentuk Aktivitas Geng
(Gambar: https://zakybachtiar45.wordpress.com/geng-motor/)

Sebenarnya jika kita evaluasi bagaimana hasil-hasil penelitian tersebut, alasan-alasan anak masuk ke dalam geng adalah alasan sosial, pertemanan, bahkan seringkali menerima tekanan dari remaja lain yang lebih kuat. Hal ini seharusnya membuat orang tua, guru, sekolah dan masyarakat lebih memperhatikan bagaimana memperlakukan remaja-remaja yang seringkali menemui masalah. Tindakan memberi hukuman yang berlebihan, meminggirkan dan juga tidak adanya arahan  untuk berkreasi dan bersosialisasi merupakan kondisi latar yang dapat menyuburkan tumbuhnya geng. Secara sederhana, anak-anak perlu mendapatkan perhatian secara tepat.

Seringkali kita mengeluh mengenai kenakalan remaja yang mewabah akhir-akhir ini. Padahal bisa jadi kitalah yang menjadi penyebab tumbuhnya berbagai kenakalan itu.

Buku Rujukan:
Cornell, Dewey G. & Murrie, Daniel C. 2002. Gangs. Dalam Encyclopedia of Education. Ed. james W. Guthrie. New York: MacMillan Reference Library

Friday, 27 November 2015

Belajar melalui Trial and Error

Sering kita mendengar ujar-ujar bahwa seseorang harus berani mencoba untuk mendapatkan perubahan. Kata mencoba dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa belum ada pengetahuan dan keterampilan yang benar-benar mendalam mengenai sesuatu yang dilakukan. Para penemu dan ilmuwan sering menerapkan prinsip tersebut terutama untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Anak-anak juga banyak belajar dengan coba-coba. Ketika belajar berjalan, berlari, mengendarai sepeda dan banyak aktivitas lain, mereka memulainya dengan coba-coba. Dengan keberanian untuk mencoba (dibutuhkan keberanian karena ada kemungkinan untuk gagal) pada akhirnya mereka dapat menguasai banyak keterampilan. Kita para orang dewasa pun dituntut untuk berani mencoba ketika menginginkan suatu hasil dalam hidup. (Contoh bagaimana proses mengagumkan itu terjadi dapat dilihat pada link ini http://metastead.com/6rpN)

Aktivitas coba-coba untuk belajar diteliti dengan seksama oleh ahli psikologi Amerika Serikat  Edward L. Thorndike. Proses belajar dengan coba-coba disebut juga trial and error. Ketika hewan atau manusia memiliki keinginan atau menghadapi permasalahan (stimulus) maka mereka akan melakukan suatu respon terhadap stimulus tersebut. Semakin sering stimulus datang dan respon-respon diberikan maka akan muncul suatu proses belajar, yaitu mengetahui respon mana yang berhasil dan respon mana yang gagal. 

Edward L Thorndike
(Gambar : http://www.education.com/reference/article/thorndike-edward-lee-1874-1949/)

Belajar melalui trial and error menuntut suatu kesabaran karena terjadi secara bertahap. Sebelum seseorang berhasil menguasai atau menetapkan respon terbaik maka seringkali ia dihadapkan pada kesalahan-kesalahan. Secara bertahap kita akan mengetahui bagaimana cara menyelesaikan sesuatu dengan cara yang terbaik dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Karena itu ada istilah "kesalahan adalah cara untuk menjadi sukses." Istilah tersebut terutama terjadi melalui aktivitas trial and error.

Siswa harus dilatih sabar agar tidak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan. Coba-coba dalam arti positif akan menuntut kita menuju keberhasilan. Namun  perlu diperhatikan ketika akan mencoba sesuatu perlu dipikirkan dan dipersiapkan berbagai resiko serta kemungkinan yang akan dihadapi. Anak-anak seringkali kurang mempertimbangkan resiko sehingga mengalami kesalahan yang fatal, di sinilah peran guru untuk membimbing dan mengarahkan mereka.

Buku Rujukan:
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories, an Educational Perspective. Edisi Enam. Boston: Pearson Education Inc.

Thursday, 26 November 2015

Belajar Kelompok dan Kooperatif

Belajar kelompok merupakan suatu strategi pembelajaran yang sudah sedemikian tua. Setiap dari kita pasti pernah mengalami belajar kelompok, baik ketika berada di dalam kelas, laboratorium ataupun saat mengerjakan tugas di rumah. Salah satu manfaat utama dari belajar kelompok adalah keterampilan sosial bagi siswa. Kita ketahui masyarakat terbentuk karena interaksi dan hubungan sosial, untuk dapat hidup dengan baik di masyarakat tentu sangat dibutuhkan keterampilan sosial.

Belajar dalam kelompok ternyata tidak selalu berdampak baik. Ketika kelompok hanya menggantungkan hasil pekerjaannya pada salah satu atau sebagian anggota kelompok, sedangkan anggota yang lain hanya mendompleng, maka yang didapatkan siswa adalah ketidakjujuran, tidak adanya tanggung jawab yang merata, individualisme di satu sisi dan kemalasan di sisi yang lain. Sungguh berbahaya.

Berdasarkan kelemahan-kelamahan yang muncul dari aktivitas belajar kelompok, akhir-akhir ini para ahli pendidikan lebih menyarankan untuk menggunakan pembelajaran kooperatif. Dalam metode ini para siswa juga di bagi menjadi kelompok-kelompok belajar. Namun ada beberapa perbedaan antara belajar kelompok biasa dengan belajar kooperatif. Minimal ada dua karakter utama dalam belajar secara kooperatif.

1. Interdependensi Positif
Interdependensi berarti saling bergantung. Adanya kata positif menunjukkan bahwa masing-masing siswa pada dasarnya memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri, namun dalam kerja kooperatif mereka membangun rasa saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain untuk menyelesaikan tugas kelompok. Semangat kerja sama tersebut membuat semua anggota kelompok berkeinginan untuk berperan serta dalam kelompok. Susah atau senang dirasakan bersama.

2. Akuntabilitas Individual (tidak ada pendompleng)
Dalam suatu proses belajar kooperatif terbangun akuntabilitas individual, artinya setiap individu memiliki tanggung jawab pribadi. Dalam kelompok kooperatif umumnya dilakukan pembagian tugas secara proporsional agar setiap anggota merasa memiliki tanggung jawab yang harus ia selesaikan. Pada prakteknya setiap anggota dapat saling membantu untuk tugas-tugas yang diemban namun tanpa menghilangkan tanggung jawab individual tersebut.

Karakter Belajar Kooperatif
(Sumber Gambar : Jolliffe, 2007)


Buku Rujukan:
Jolliffe, Wendy. 2007. Cooperative Learning in The Classroom, Putting it into Practice. London: Paul Chapman Publishing