Monday, 30 November 2015

Teori Equilibrasi Kognitif Jean Piaget

Jean Piaget (1896-1980) adalah ahli psikologi asal Swiss yang mendalami bagaimana kondisi dan perkembangan kognitif pada manusia. Kita ketahui bahwa berpikir merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki manusia. Oleh karena itu sebagian besar ahli psikologi meyakini bahwa inti dari proses belajar manusia terletak pada kognisinya.

Setiap informasi yang diterima oleh indera manusia akan tersimpan di dalam pikirannya. Kumpulan informasi tersebut akan membentuk pola-pola berpikir yang khas pada setiap orang. Organisasi informasi di dalam pikiran oleh Piaget disebut dengan istilah "skema." Skema setiap manusia adalah unik, dibentuk oleh berbagai pengalaman dan sejarah hidupnya. Karena itu ide-ide ataupun pemahaman seseorang sangat mungkin berbeda dengan orang lain, walaupun menyangkut satu hal yang sama.

Salah satu teori kognitif Piaget adalah teori equilibrasi kognitif. Piaget meyakini bahwa semua manusia memiliki dorongan untuk menyesuaikan (memahami) pikiran dengan pengalaman yang dihadapinya. Ketika skema yang dimiliki seseorang berbeda dengan fenomena yang baru ditemui, maka akan muncul suatu dorongan dalam dirinya untuk menyesuaikan atau bahkan merombak skema agar dapat sesuai (memahami) fenomena tersebut.

Keseimbangan antara skema dengan kondisi sekitar seseorang disebut dengan equilibrium (seimbang). Ketika seseorang menemui sesuatu yang baru maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) kognitif. Saat itu akan muncul dorongan alami untuk menyesuaikan skema lama dengan pengalaman baru, proses ini disebut dengan equilibrasi (proses menuju keseimbangan).

Berdasarkan teori tersebut maka sangat baik untuk mendorong terjadinya disequilibrium pada diri siswa agar muncul motivasi belajar. Sebagai contoh, guru IPA di awal pembelajaran mendemonstrasikan suatu kejadian aneh yang berkaitan dengan teori IPA yang akan diajarkan. Atau memberi mereka aktivitas penelitian sederhana yang aneh, menarik atau menegangkan.

Aktivitas yang Memunculkan Equilibrasi Kognitif
(Sumber: Snowman, McCown & Biehler, 2012)

Ketidakseimbangan kognitif dikenal juga dengan istilah konflik kognitif, telah banyak diteliti dan menghasilkan dampak positif pada belajar siswa. Pada link berikut adalah salah satu contoh bagaimana implementasi konflik kognitif memiliki dampak positif pada aspek-aspek belajar siswa http://metastead.com/9rQw

Proses equilibrasi menyebabkan kemampuan kognitif anak terus mengalami perkembangan. Dalam penelitiannya Jean Piaget menemukan bahwa perkembangan kognitif anak hingga dewasa berlangsung dalam empat tahap perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, praoperasional, operasional kongkrit dan operasional formal (untuk lebih jelasnya silahkan baca atau unduh  disini).

Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick. Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Tiga Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Saturday, 28 November 2015

Alasan Remaja Masuk Geng

Geng merupakan kelompok yang umumnya terkait dengan unjuk kekuasaan di suatu daerah atau kelompok tanpa daerah kekuasaan yang memiliki aktivitas-aktivitas tertentu. Kita banyak menemukan keberadaan geng di kota-kota besar. Geng identik dengan kelompok orang yang mengganggu masyarakat. Anggota geng sebagian besar adalah remaja. 

Guru dan orang tua tentu mengkhawatirkan anak-anak mereka yang hidup di lingkungan penuh geng. Tidak hanya proses belajar dan prestasi di sekolah yang terganggu, ketika remaja telah tergabung dalam sebuah geng biasanya ia akan mengalami perubahan kepribadian yang conderung merusak. Pikiran, sikap dan prinsip hidup mereka cenderung mengarah pada kekerasan dan tidak menyukai norma-norma sosial ataupun agama. Inilah yang benar-benar merisaukan.

Penelitian yang dilakukan para sosiolog terkait alasan remaja masuk geng menunjukkan bahwa alasan utamanya adalah karena teman-teman mereka juga masuk geng tersebut. Efek teman-teman sebaya untuk anak remaja yang berada pada fase pencarian identitas rupanya benar-benar kuat. Masuknya anggota-anggota melalui jalur pertemanan membuat geng dapat eksis walaupun tanpa ikatan-ikatan administratif. Yang mengikat mereka adalah solidaritas pertemanan di antara remaja yang seringkali tidak rasional.

Lebih lanjut, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa geng lebih dominan diikuti oleh remaja-remaja yang tersisihkan dalam lingkungan sosial mereka. Melalui keanggotaan dalam geng mereka akan memperoleh kesenangan, status sosial (diakui keberadaan mereka oleh gengnya) dan bahkan perasaan memiliki suatu kekuatan ketika bersama kelompoknya. Hal tersebut jauh berbeda ketika mereka berada di luar geng, yaitu tersisihkan, tertindas oleh remaja-remaja lain dan juga kurangnya teman.

Salah Satu Bentuk Aktivitas Geng
(Gambar: https://zakybachtiar45.wordpress.com/geng-motor/)

Sebenarnya jika kita evaluasi bagaimana hasil-hasil penelitian tersebut, alasan-alasan anak masuk ke dalam geng adalah alasan sosial, pertemanan, bahkan seringkali menerima tekanan dari remaja lain yang lebih kuat. Hal ini seharusnya membuat orang tua, guru, sekolah dan masyarakat lebih memperhatikan bagaimana memperlakukan remaja-remaja yang seringkali menemui masalah. Tindakan memberi hukuman yang berlebihan, meminggirkan dan juga tidak adanya arahan  untuk berkreasi dan bersosialisasi merupakan kondisi latar yang dapat menyuburkan tumbuhnya geng. Secara sederhana, anak-anak perlu mendapatkan perhatian secara tepat.

Seringkali kita mengeluh mengenai kenakalan remaja yang mewabah akhir-akhir ini. Padahal bisa jadi kitalah yang menjadi penyebab tumbuhnya berbagai kenakalan itu.

Buku Rujukan:
Cornell, Dewey G. & Murrie, Daniel C. 2002. Gangs. Dalam Encyclopedia of Education. Ed. james W. Guthrie. New York: MacMillan Reference Library

Friday, 27 November 2015

Belajar melalui Trial and Error

Sering kita mendengar ujar-ujar bahwa seseorang harus berani mencoba untuk mendapatkan perubahan. Kata mencoba dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa belum ada pengetahuan dan keterampilan yang benar-benar mendalam mengenai sesuatu yang dilakukan. Para penemu dan ilmuwan sering menerapkan prinsip tersebut terutama untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Anak-anak juga banyak belajar dengan coba-coba. Ketika belajar berjalan, berlari, mengendarai sepeda dan banyak aktivitas lain, mereka memulainya dengan coba-coba. Dengan keberanian untuk mencoba (dibutuhkan keberanian karena ada kemungkinan untuk gagal) pada akhirnya mereka dapat menguasai banyak keterampilan. Kita para orang dewasa pun dituntut untuk berani mencoba ketika menginginkan suatu hasil dalam hidup. (Contoh bagaimana proses mengagumkan itu terjadi dapat dilihat pada link ini http://metastead.com/6rpN)

Aktivitas coba-coba untuk belajar diteliti dengan seksama oleh ahli psikologi Amerika Serikat  Edward L. Thorndike. Proses belajar dengan coba-coba disebut juga trial and error. Ketika hewan atau manusia memiliki keinginan atau menghadapi permasalahan (stimulus) maka mereka akan melakukan suatu respon terhadap stimulus tersebut. Semakin sering stimulus datang dan respon-respon diberikan maka akan muncul suatu proses belajar, yaitu mengetahui respon mana yang berhasil dan respon mana yang gagal. 

Edward L Thorndike
(Gambar : http://www.education.com/reference/article/thorndike-edward-lee-1874-1949/)

Belajar melalui trial and error menuntut suatu kesabaran karena terjadi secara bertahap. Sebelum seseorang berhasil menguasai atau menetapkan respon terbaik maka seringkali ia dihadapkan pada kesalahan-kesalahan. Secara bertahap kita akan mengetahui bagaimana cara menyelesaikan sesuatu dengan cara yang terbaik dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Karena itu ada istilah "kesalahan adalah cara untuk menjadi sukses." Istilah tersebut terutama terjadi melalui aktivitas trial and error.

Siswa harus dilatih sabar agar tidak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan. Coba-coba dalam arti positif akan menuntut kita menuju keberhasilan. Namun  perlu diperhatikan ketika akan mencoba sesuatu perlu dipikirkan dan dipersiapkan berbagai resiko serta kemungkinan yang akan dihadapi. Anak-anak seringkali kurang mempertimbangkan resiko sehingga mengalami kesalahan yang fatal, di sinilah peran guru untuk membimbing dan mengarahkan mereka.

Buku Rujukan:
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories, an Educational Perspective. Edisi Enam. Boston: Pearson Education Inc.

Thursday, 26 November 2015

Belajar Kelompok dan Kooperatif

Belajar kelompok merupakan suatu strategi pembelajaran yang sudah sedemikian tua. Setiap dari kita pasti pernah mengalami belajar kelompok, baik ketika berada di dalam kelas, laboratorium ataupun saat mengerjakan tugas di rumah. Salah satu manfaat utama dari belajar kelompok adalah keterampilan sosial bagi siswa. Kita ketahui masyarakat terbentuk karena interaksi dan hubungan sosial, untuk dapat hidup dengan baik di masyarakat tentu sangat dibutuhkan keterampilan sosial.

Belajar dalam kelompok ternyata tidak selalu berdampak baik. Ketika kelompok hanya menggantungkan hasil pekerjaannya pada salah satu atau sebagian anggota kelompok, sedangkan anggota yang lain hanya mendompleng, maka yang didapatkan siswa adalah ketidakjujuran, tidak adanya tanggung jawab yang merata, individualisme di satu sisi dan kemalasan di sisi yang lain. Sungguh berbahaya.

Berdasarkan kelemahan-kelamahan yang muncul dari aktivitas belajar kelompok, akhir-akhir ini para ahli pendidikan lebih menyarankan untuk menggunakan pembelajaran kooperatif. Dalam metode ini para siswa juga di bagi menjadi kelompok-kelompok belajar. Namun ada beberapa perbedaan antara belajar kelompok biasa dengan belajar kooperatif. Minimal ada dua karakter utama dalam belajar secara kooperatif.

1. Interdependensi Positif
Interdependensi berarti saling bergantung. Adanya kata positif menunjukkan bahwa masing-masing siswa pada dasarnya memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri, namun dalam kerja kooperatif mereka membangun rasa saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain untuk menyelesaikan tugas kelompok. Semangat kerja sama tersebut membuat semua anggota kelompok berkeinginan untuk berperan serta dalam kelompok. Susah atau senang dirasakan bersama.

2. Akuntabilitas Individual (tidak ada pendompleng)
Dalam suatu proses belajar kooperatif terbangun akuntabilitas individual, artinya setiap individu memiliki tanggung jawab pribadi. Dalam kelompok kooperatif umumnya dilakukan pembagian tugas secara proporsional agar setiap anggota merasa memiliki tanggung jawab yang harus ia selesaikan. Pada prakteknya setiap anggota dapat saling membantu untuk tugas-tugas yang diemban namun tanpa menghilangkan tanggung jawab individual tersebut.

Karakter Belajar Kooperatif
(Sumber Gambar : Jolliffe, 2007)


Buku Rujukan:
Jolliffe, Wendy. 2007. Cooperative Learning in The Classroom, Putting it into Practice. London: Paul Chapman Publishing

Wednesday, 25 November 2015

Memotivasi Siswa Belajar

Motivasi adalah suatu dorongan dalam diri manusia untuk melakukan suatu aktivitas atau mempertahankan aktivitas tersebut. Gambaran sederhana dari motivasi adalah saat lapar dan melihat makanan, maka akan muncul suatu dorongan kuat di dalam diri kita untuk mendapatkan mekanan tersebut. Motivasi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keberhasilan suatu kegiatan manusia dalam mencapai tujuannya. 

Para ahli psikologi telah mempelajari dan melakukan riset mengenai motivasi pada diri manusia. Teori-teori mereka hasilkan untuk menjelaskan hal-ahal apa saja yang dapat memotivasi seseorang, teramsuk dalam belajar. Dalam tulisan ini kita akan membahas secara singkat lima teori motivasi dan implementasinya di dalam kelas untuk mendorong siswa belajar.

1. Teori Reward dan Punishment (Penghargaan dan Hukuman)

Teori ini didasari atas perilaku alamiah manusia untuk mencari kesenangan (dilambangkan dengan pemberian penghargaan atau hadiah) dan menghindari hukuman. Pemberian penghargaan atau hadiah pada perilaku-perilaku tertentu, misalnya membaca, dapat menghasilkan kebiasaan siswa untuk terus membaca. Sebaliknya hukuman dapat digunakan oleh guru untuk membuat siswa menjadi jera melakukan perilaku negatif. Contoh yang sering kita alami di kelas adalah penggunaan tambahan nilai bagi siswa yang aktif akan dapat mendorong mereka untuk terus aktif di kelas. 

Kelemahan penggunaan hadiah atau penghargaan yang berlebiahan adalah munculnya sifat materialistis. Siswa menjadi tergantung pada insentif atau hadiah, belajar atau keaktifannya tidak benar-benar lahir dari kemauan sendiri.

2.  Teori Interest (Kesenangan)

Manusia memiliki kesenangan-kesenangan yang dapat membuatnya termotivasi melakukan suatu aktivitas walaupun tidak ada hadiah atau penghargaan material dari kegiatan tersebut. Misalnya anak-anak secara alami suka bermain sehingga lelah dan uang yang harus dikeluarkan untuk bermain tidak mereka hiraukan asalkan dapat bermain. Dalam teori ini terdapat dua jenis kesenangan yaitu kesenangan individual, yaitu kesenangan yang berasal dari sifat pribadi seseorang. Yang kedua adalah kesenangan situasional, yaitu kesenangan yang lebih disebabkan oleh situasi aktivialah tas tersebut (bukan oleh aktivitasnya sendiri).

Contoh kesenangan individual adalah aktivitas memancing dapat benar-benar menyenangkan bagi seseorang yang memang secara individual menyukai pekerjaan tersebut. Adapun contoh kesenangan situasional adalah membaca suatu cerita atau kasus yang menarik. Mungkin anak-anak tidak benar-benar menyukai aktivitas membaca, namun kasus dan gambar-gambar yang terpampang pada bahan bacaan menyenangkan mereka. 

Dalam pembelajaran teori ini dapat digunakan dengan cara merancang pembelajaran yang sebanyak mungkin memasukkan kesenangan-kesenangan. Misalnya pelajaran IPA dengan menunjukkan siswa contoh-contoh nyata, atau suatu peristiwa yang aneh, disertai dengan cerita dari guru yang membuat mereka tertarik. Mengajar dengan menggunakan teknik bermain juga dapat memunculkan kesenangan bagi anak-anak didik. 

Kelemahan penggunaan teori ini adalah jika kesenangan yang diberikan justru menghalangi atau mengaburkan pikiran siswa dari materi pembelajaran yang inti. Akibatnya siswa hanya terpukai pada kesenangan dan itulah yang mereka ingat.

3. Teori Tujuan

Berbedaan manusia dengan hewan adalah pada tujuan. Manusia memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidup mereka. Tujuan yang kuat dapat membuat seseorang tetap termotivasi untuk melakukan aktivitas tertentu walaupun tidak menyenangkan. Misalnya seorang siswa yang memiliki cita-cita yang kuat dapat terus termotivasi belajar walaupun membosankan dan menguras energinya setiap hari.

Dua jenis tujuan utama adalah tujuan penguasaan (mastery goal) dan tujuan penampilan (performa goal). Tujuan penguasaan lebih terfokus pada proses untuk menguasai suatu keterampilan atau kemampuan tertentu. Sedangkan tujuan penampilan lebih terfokus pada bagaimana untuk mencapai hasil yang nampak. Contohnya saat belajar, anak dengan tujaun penguasaan lebih memperhatikan bagaimana agar ia menguasai keterampilan atau kemampuan yang diajarkan. Sedangkan anak dengan tujuan penampilan lebih terfokus pada nilai yang tinggi (walaupun tidak benar-benar menguasai tidak masalah).

Penerapan dalam pembelajaran harapannya lebih mendorong siswa untuk memiliki tujuan penguasaan. Misalnya dengan guru lebih menghargai proses daripada hasil akhir, selalu mengatakan bahwa kesalahan adalah langkah-langkah untuk belajar dan selalu memberi siswa balikan dari tugas-tugas yang dikerjakan agar mereka belajar bagaimana melakukan secara benar.

4. Teori Harapan dan Nilai

Mansia lebih termotivasi untuk melakukan suatu pekerjaan yang harapan untuk berhasilnya cukup tinggi. Semakin kecil harapan untuk berhasil tentu saja semakin kecil motivasi untuk melakukan aktivitas tersebut. Misalnya ketika dalam suatu pelajaran siswa merasa sama sekali tidak bisa (harapan untuk memahami pelajaran tersebut sangat kecil) maka tentu saja motivasi belajarnya menjadi rendah. Namun pekerjaan yang pasti berhasil juga kurang memotivasi karena biasanya nilainya menjadi rendah. Misalnya seorang mahasiswa Prodi IPA diberi soal IPA SMP tentu harapan untuk berhasil sangat tinggi, namun nilainya rendah karena terlalu mudah dan tidak membuat mereka bangga ketiak berhasil mengerjakannya.

Harapan dan nilai dari suatu pekerjaan biasanya saling berkebalikan. Harapan yang terlalu tinggi membuat nilainya rendah, sebaliknya harapan yang rendah akan membaut nialinya menjadi tinggi. Oleh karena itu guru perlu menyesuaikan level pembelajarannya agar tidak terlalu sulit atau terlalu mudah bagi siswa. 

5. Teori Kebutuhan

Teori terakhir yang akan kita bahas adalah teori kebutuhan. Pada teori ini dijelaskan bahwa manusia akan lebih termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan setiap orang dengan kondisi dan usia yang berbeda ternyata juga berbeda. Misalnya orang yang kaya tidak akan termotivasi ketika diimingi hadiah permen, sebaliknya anak-anak miskin akan sangat termotivasi karena jarang dapat memebeli permen tersebut.

Anak-anak yangberasal dari keluarga kaya dan berpengaruh biasanya tidak termotivasi belajar karena mereka sudah merasa aman dengan kondisi masa depannya, tidak demikian dengan anak-anak dari kalangan menengah ke bawah. Guru dapat mencari kebutuhan-kebutuhan yang di ada pada diri anak-anak agar mereka lebih termotivasi secara keseluruhan misalnya kebutuhan akan akan rasa sayang dan perhatian. 

Menurut Abraham Maslow terdapat lima tingkatan kebutuhan pada manusia yaitu: kebutuhan material, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang-perhatian, kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan, kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan kebutuhan eksistensi diri. Berbagai jensi kebutuhan tersebut dapat digunakan guru untuk memotivasi siswa belajar. Silahkan membaca teori kebutuhan Abraham Maslow secara lebih mendalam.

Siswa Membutuhkan Penanganan Kreatif Guru

Pertanyaannya mana teori yang dapat digunakan oleh guru untuk memotivasi siswa belajar? Jawabannya tentu saja guru dapat mempelajari dan mengimplementasikan semua teori di atas sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Seringkali suatu teknik pemotivasian yang berhasil di suatu tempat atau kelas ternyata tidak berhasil di kelas yang lain. Pengalaman guru dan kemauan untuk menerapkannya secara perlahan akan membuat keterampilannya memotivasi peserta didik lebih berkembang.

Buku Rujukan:
Moreno, Roxana. 2010. Educational Psychology. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Saturday, 21 November 2015

Perkembangan Otak Anak Sebelum Kelahiran

Otak merupakan organ yang menjadi pusat aktivitas berpikir dan pengontrolan berbagai kinerja seluruh bagian tubuh. Dalam Neurosains otak dianggap sebagai pusat proses belajar pada manusia. Oleh karena itu bagaimana proses perkembangan otak pada manusia serta hal-hal yang menghambat atau merusaknya menjadi pengetahuan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung proses belajar anak-anak.

Pada masa embrio otak mengalami pertumbuhan yang besar, baik pada segi ukuran maupun struktur. Jumlah neuron (sel saraf) dan sinaps (hubungan antar neuron) meningkat sangat pesat. Sebagian besar pertumbuhan neuron dan sinaps tersebut terjadi pada usia janin 4 hingga 7 bulan. Pada fase pertumbuhan tertinggi diperkirakan bahwa terbentuk seperempat juta sel saraf (nuron) dalam satu menit. Sungguh mengagumkan.


Struktur Sel Saraf Manusia
(Sumber Gambar: Schunk, 2012)

Saat lahir,  terdapat lebih dari satu juta sinaps. Jumlah ini kira-kira merupakan 60% sinap yang akan terbentuk selama hidup manusia. Hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa kondisi perkembangan otak anak sebelum kelahiran sangat penting bagi kemampuan belajar manusia selama hidupnya. Berbagai penelitian telah dilakukan terutama untuk menjaga agar pertumbuhan dan perkembangan otak (baik neuron ataupun sinaps) dapat berjalan dengan baik.

Perlu diketahui bahwa neuron dalam sistem belajar manusia berfungsi sebagai penyimpan bit-bit informasi. Adapun sinaps (hubungan antar neuron) yang membuat berbagai informasi yang tersimpan dapat saling berhubungan dalam pola-pola tertentu sehingga terjadi pemrosesan informasi di dalam otak kita (secara sederhana kita menyebutnya dengan istilah berpikir).

Referensi Rujukan:
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi Enam. Boston: Pearson

Friday, 20 November 2015

Empat Tujuan Sekolah

Sekolah saat ini dapat dikatakan sebagai ujung tombak dari proses pendidikan di setiap negara. Keluarga, masyarakat dan media juga memegang peranan penting dalam pendidikan. Namun sekolah menjadi lembaga yang secara sistematis seluruh struktur dan fungsinya diarahkan untuk tujuan pendidikan. Selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun sekolah-sekolah dengan bentuk dan nama berbeda menjalankan peran pendidikan di berbagai negara di dunia. 

Guru dan Siswa di sekolah
(Sumber Gambar: Ryan dan Cooper, 2010)

Proses pendidikan di sekolah memiliki tujuan utama menghasilkan generasi baru yang terdidik dan siap berperan di masyarakat. Tulisan ini akan mengurai tujuan sekolah ke dalam empat tujuan utama yang diadopsi dari Ryan dan Cooper (2010).

Tujuan Intelektual
Tujuan yang paling nyata dalam proses pembelajaran di sekolah adalah untuk mendorong dan mempercepat perkembangan intelektual pada generasi muda. Secara sistematis kurikulum dirancang berupa sekumpulan bidang ilmu dan keterampilan yang disesuaikan dengan tahap perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial siswa. Diyakini bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan pola berpikir rasional dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Semakin tinggi level sekolah akan mengarahkan peserta didik untu mendalami bidang-bidang keilmuan atau aplikasi keilmuan tertentu yang dipilihnya. Ujung dari proses tersebut adalah lulusan yang telah menguasai ilmu dan skill khusus yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Tujuan Politik 
Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban politik seperti berpartisipasi dalam pemilihan umum atau menyatakan pendapat di depan publik. Sekolah mengajarkan dan menyiapkan disi siswa agar dapat melaksanakan kewajiban dan hak politik tersebut dengan baik. Hal ini penting untuk kestabilan suatu negara, agar dapat berjalan sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati oleh para pendirinya. Diyakini pula bahwa karakter dasar ilmu dapat mengarahkan manusia untuk hidup secara teratur dalam tatanan bernegara.

Tujuan Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar motif orang tua menyekolahkan anak mereka adalah untuk mendapatkan penghidupan yang layak di kemudian hari. Sekolah secara sistematis menyiapkan diri peserta didik dengan wawasan, sikap dan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu bukti nyata dari tujuan ekonomi ini adalah alasan para mahasiswa memasuki suatu jurusan di perguruan tinggi, sebagian besar adalah untuk alasan pekerjaan. Berbagai perubahan dalam bidang perekonomian dan industri suatu negara atau bahkan global secara langsung juga akan berdampak pada perubahan sekolah.

Tujuan Sosial
Tujuan sekolah yang terakhir adalah menanamkan keterampilan-keterampilan sosial. Kemampuan intelektual saja ternyata belum membuat seseorang dapat berguna di masyarakat. Keterampilan dan kepandaian seringkali tidak bermanfaat ketika seseorang tidak dapat berhubungan dan bekerja sama dengan baik. Secara keseluruhan, tujuan sosial sekolah ini mengarah pada penyiapan generasi muda yang lebih dapat berbaur dengan masyarakat. 

Kualitas proses pendidikan yang berlangsung di suatu sekolah tentu berkorelasi positif dengan pencapaian tujuan-tujuan tersebut di atas. Perlu disadari juga bahwa berbagai latar sosial dan budaya yang melingkupi sekolah tentu akan berpengaruh terhadap bagaimana cara terbaik sekolah untuk mencapai tujuannya.

Literatur Rujukan:
Ryan, Kevin. Cooper, James M. 2010. Those Who Can, Teach. Edisi Dua Belas. Boston: Wadsworth Cengage Learning

Thursday, 19 November 2015

Menjadi Guru Ahli dengan Terus Belajar

Sekolah akan menjadi ladang tumbuhnya benih-benih generasi harapan di masa depan. Institusi ini adalah salah satu penentu terbesar kualitas sebuah bangsa. Menjadikan sekolah sebagai pusat perhatian pembangunan tentunya bukan suatu tindakan tanpa alasan yang kuat. Ribuan tahun telah menjadi bukti bagaimana eksistensi sekolah karena manfaatnya bagi masyarakat.

Aset paling berharga sekolah bukan gedung atau berbagai sarana mahal. Permata sekolah tak lain adalah guru-guru yang mengabdi mengajar di tempat tersebut. Maju atau mundurnya sebuah sekolah tergantung dari kualitas guru. Bagaimana guru menjalankan proses belajar mengajar secara profesional sehingga pada akhirnya menghasilkan outcome  para lulusan yang dapat memikul tanggung jawab berbagai profesi yang dibutuhkan untuk mengembangkan masyarakatnya.

Dalam paparan materi sebelumnya (dengan judul Tahap Perkembangan Kemampuan Guru) kita telah mengetahui bahwa tahapan terakhir kemampuan guru adalah tahapan guru ahli. Pada tahapan inilah guru akan benar-benar memiliki skill dan tanggung jawab yang matang dalam menjamin proses belajar para siswanya. Namun untuk menjadi guru ahli dibutuhkan proses belajar yang tidak mudah. Guru harus senantiasa belajar dan melakukan refleksi mengenai diri ataupun proses mengajar yang telah dilaluinya.

Snowman, McCown dan Biehler (2012) menyarankan guru melakukan beberapa hal ketika belajar dan berproses untuk menjadi guru ahli. Berikut ini beberapa langkah yang disarankan,
  1. Memiliki tujuan jangka panjang terkait diri para siswanya. Apa yang diharapkan oleh masyarakat dan negara di masa mendatang dapat menjadi acuan dari bangunan jangka panjang yang dimiliki oleh guru.
  2. Menganalisis bagaimana perkembangan belajar para siswa dengan menggunakan fakta-fakta yang valid misalnya melalui hasil asesmen yang dilakukan. Snowman, McCown dan Biehler menyarankan untuk lebih menggunakan asesmen formatif sehingga analisis dapat dilakukan lebih sering dan bersifat antisipatif. Bentuk-bentuk asesmen sebaiknya juga lebih bervariasi agar dapat memotret kemampuan siswa dengan lebih menyeluruh.
  3. Selalu menambah pengetahuan mengenai psikologi peserta didik, teknik pengajaran ataupun bidang ilmu yang diampu. Berbagai literatur ilmiah yang berhubungan dengan profesinya menjadi langganan untuk dibaca.
Guru Melakukan Refleksi
(Sumber Gambar: Snowman, McCown & Biehler, 2012)

Menjadi guru disertai oleh suatu konsekuensi logis untuk belajar melebihi para siswanya. Ketika para guru memiliki paradigma bahwa perannya untuk mengajar di sekolah adalah waktu untuk berhenti belajar maka pada saat itulah sebenarnya telah terjadi kematian pendidikan. Dampaknya mungkin akan masyarakat rasakan puluhan tahun kemudian.

Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick. Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Tiga Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Tahap Perkembangan Kemampuan Guru

Belajar untuk mengalami perkembangan diri bukan hanya proses yang dialami siswa. Semua sarjana pendidikan yang kemudian diterima di sebuah sekolah untuk mengajar, juga mengalami suatu proses belajar yang tidak kalah berat. Guru baru umumnya tidak langsung diperkenankan mengajar (meskipun ia telah mengalami praktik mengajar atau bahkan PPG). Mulai dari seorang guru baru yang masih belum benar-benar profesional, guru harus belajar meningkatkan kemampuan mengajarnya hingga akhirnya ia layak mengajar dan ujung-ujungnya mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai guru profesional (mendapat sertifikat guru profesional).

Aktivitas Pengarahan dari Guru
(Sumber Gambar: Arends, 2012)

Bagaimana umumnya tahap perkembangan yang dilalui guru untuk menjadi seorang guru profesional? tema ini menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Dalam tulisan ini akan diuraikan temuan dari beberapa penelitian yang dilakukan Fuller (1969), Sharon Feiman-Nemser (1983) serta Richardson-Plasier (2001). Guru baru yang belajar untuk meningkatkan kualitas keguruannya akan mengalami tiga tahapan sebagai berikut.

Tahapan awal (survival stage)
Adalah tahapan awal-awal guru mulai mengajar. Pada tahapan ini pikiran guru baru biasanya lebih terfokus pada diri sendiri. Umumnya rasa khawatir bahwa performa mengajarnya tidak dapat diterima oleh siswa ataupun supervisornya masih sangat besar. Yang diinginkan kelas berjalan benar-benar sesuai RPP tanpa ada penecualian. Mimpi buruk dari guru baru di fase awal ini adalah pada siswa-siswa yang sulit diatur, akibatnya memang emosi menjadi cepat menguasai.

Tahapan penguasaan kelas (teaching situation stage)
Pada tahapan ini guru telah mulai dapat menguasai kelas, sehingga pikirannya tidak lagi terlalu fokus pada performa diri. Interaksi dengan siswa dan pengaturan kelas menjadi perhatiannya. Guru pada fase ini mencoba mempelajari bagaimana menghadapi berbagai permasalah-permasalahan yang kemungkinan dapat mengganggu kondisi pembelajaran seperti alokasi waktu yang tidak sesuai, jumlah siswa yang terlalu banyak, ketersediaan media dan bahan ajar dan lain sebagainya. 

Tahapan guru ahli (student result and mastery stage)
Pada tahapan ini guru telah mengalami kematangan dalam profesi mengajarnya. Kematangan ditunjukkan dari kemampuannya untuk menguasai diri dan situasi pembelajaran, bahkan lebih dari itu pikiran guru pada tahapan ini lebih banyak tercurah pada diri siswa. Ia sudah benyak mengevaluasi apakah perkembangan kognitif, sosial dan emosional siswa telah berjalan baik atau belum. Strategi kepengajarannya juga lebih diarahkan pada kebutuhan siswa, bukan lagi pada keteraturan kelas (karena hal tersebut sudah dapat dengan mudah dilakukannya). Yang paling puncak adalah adanya suatu tanggung jawab yang besar untuk menjamin proses belajar siswa.

Secara sederhana teori perkembangan kemampuan guru di atas dapat dideskripsikan sebagai perkembangan penguasaan performa diri, kemudian penguasaan lingkungan mengajar dan akhirnya pemenuhan tanggung jawab terhadap kebutuhan siswa. Secara bertahap perhatian guru berpindah dari diri sendiri menuju lingkungan mengajar hingga akhirnya kepada diri siswa sebagai manusia yang belajar

Setiap guru pasti mengalami kejadian yang unik dalam proses perkembangan kemampuan mengajarnya. Satu orang dengan orang lain berbeda, tidak hanya dari aspek peristiwa namun juga dari waktu yang dibutuhkan. Keseriusan dan kesungguhan hati untuk belajar tentu menjadi kunci keberhasilan seorang guru untuk menjadi guru yang matang dan penuh tanggung jawab.

Buku Rujukan:
Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach. Edisi Sembilan. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

Wednesday, 18 November 2015

Kemampuan Intelektual dan Kreativitas

Berbicara mengenai kemampuan kognitif maka sebagian besar orang akan tertuju pada kemampuan intelektual. Yaitu meliputi kemampuan untuk menyelesai beberapa jenis persoalan dan umumnya di sekolah diuji dengan menggunakan tes. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sudah lumrah. Anak-anak yang berhasil mendapatkan nilai tinggi di tes tentu harapannya dapat lebih diandalkan dalam melakukan banyak jenis pekerjaan.

Fakta yang sering kali kita temui dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidaklah sesederhana itu. Anak-anak yang bernilai tinggi (dalam tes-tes tradisional) memang memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai pekerjaan dan pemecahan masalah secara baik. Namun pola-pola aktivitas mereka sebagian besar hanya menuruti pakem yang telah dipelajari atau diterima sebelumnya. Menariknya justru pada anak-anak yang tidak memiliki nilai tinggi justru seringkali dapat memunculkan ide-ide yang tidak biasa atau bahkan luar biasa.

Dalam psikologi pendidikan fenomena ini dikenal dengan istilah kreativitas. Yaitu suatu kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang baru (bahkan benar-benar baru), tidak sesuai dengan pola-pola yang deipelajari atau diterima sebelumnya. Temuan menarik didapatkan oleh Wallach dan Kogan pada tahun 1962 yang menyatakan bahwa anak-anak yang sukses pada tes-tes tradisional (melambangkan kemampuan intelektual) cenderung berkebalikan dengan ketika mereka harus mengerjakan tugas-tugas di lingkungan alami (yang dirancang untuk mengukur kreativitas).  

Kemampuan intelektual dan kreativitas sebenarnya dimiliki setiap orang. Namun dari penelitian tersebut, dan banyak penelitian lain yang sejenis, didapatkan suatu kesimpulan sementara bahwa umumnya anak yang kemampuan intelektualnya tinggi justru terbalik dengan daya kreativitasnya. Sebaliknya anak dengan kreativitas tinggi rata-rata kurang menyukai aktivitas intelektual yang terpola teratur. 

Kemampuan mana yang akan lebih sukses menjalani kehidupan. Tentu kedua jenis kemampuan tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Anak dengan kemampuan intelektual tinggi sanggup bekerja sesuai dengan pola-pola yang diterima namun kurang mampu menghasilkan ide-ide baru. Sebaliknya anak dengan keativitas tinggi memiliki kemampuan yang baik untuk menghasilkan ide-ide baru namun kurang dapat bekerja secara stabil menurut pola-pola yang tetap.

Manusia yang luar biasa adalah yang memiliki kedua kemampuan tersebut sekaligus. Kita menyebutnya dengan anak jenius. Tentu saja sangat jarang kita mendapatkan anak-anak dengan talenta seperti itu. Albert Einstein dan Habibi mantan presiden RI merupakan contoh-contoh manusia jenius yang pernah dilahirkan dan sukses mengguncang dunia.

(Sumber Gambar: http://www.ceritamu.com/cerita/BJ-Habibie-vs-Albert-Einstein-siapa-lebih-cerdas)

Buku Rujukan:
Runco, Mark A. 2007. Creativity, Theories and Themes: Research, Development and Practice. London: Elsevier Inc.

Seni Mengajar

Calon guru harus menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi guru profesional. Pengetahuan di bidang pelajaran yang diampu, keterampilan berkomunikasi secara efektif, keahlian dalam membuat persiapan mengajar dan media pembelajaran, penguasaan teknik penelitian tindakan kelas, dan beberapa kemampuan lain adalah contoh betapa banyak hal yang harus dipelajari oleh seorang calon guru.

Undang-undang tentang guru dan dosen yaitu UU no 14 tahun 2005 menyebutkan empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru profesional. Pertama adalah kompetensi pedagogik yaitu kemampuan di bidang keguruan dan pengajaran. Kedua adalah kompetensi profesional yaitu penguasaan guru akan materi keilmuan yang menjadi bidang pengajarannya. Ketiga adalah kompetensi sosial yaitu kemampuan guru untuk bekerja sama dengan guru lain, struktur sekolah, orang tua atau pun masyarakat dalam rangka menyukseskan tugas mengajarnya. Keempat adalah kompetensi kepribdian yaitu karakter individual sebagai teladan bagi masyarakat, terutama untuk para siswanya.

Berbagai keterampilan dan kemampuan dasar yang telah dikuasai oleh calon guru ternyata tidak menjamin kesuksesan ketika mengajar. Bahkan seorang guru baru sering kali merasa frustasi ketika menghadapi kenyataan yang begitu rumit, dan tidak cocok dengan teori atau skill yang yang telah dipelajarinya. Adakah yang salah dengan teori atau keterampilan yang diajarkan di kampus? Tidak demikian. Semua keterampilan dan teori tersebut ibaratnya adalah bahan-bahan mentah dari seorang pembuat kua. Untuk membuat kue yang enak masih harus dilakukan penimbangan, mencampur, mengolah, mengukus, menggoreng dan lain sebagainya. 

(Sumber Gambar: http://alohadharma.com)

Mengajar adalah suatu seni, bukan menyusun suatu mesin menggunakan onderdil-onderdil yang sudah paten dari pabrik. Seorang guru harus melakukan pengamatan, analisis siswa, pemilihan strategi, evaluasi hingga terus berimprovisasi dalam proses pengajaran yang dilakukan. Setiap kondisi, baik siswa, kelas, lingkungan sekitar atau pun sarana sekolah memiliki karakter khusus yang menuntut jiwa seni seorang guru dalam mengajar. 


Tuesday, 17 November 2015

Tiga Tugas Besar Guru

Guru sebagai pengajar berperan penting untuk kesuksesan siswa. Demi kesuksesan tersebut guru harus menyadari betul apa tugas-tugas utamanya. Jangan sampai siswa terhambat belajar karena ternyata guru salah dalam mengambil keputusan. Mana yang harus didahulukan dan hal-hal apa yang dapat dikerjakan di waktu lain. 

Dalam tulisan ini akan diuraikan teori Arends (2009) mengenai tiga tugas besar guru. Tugas pertama memimpin siswa untuk belajar. Seorang pemimpin memiliki pengaruh besar terhadap diri anggotanya. Oleh karena itu keberadaan guru seharusnya benar-benar memberi pengaruh besar pada diri peserta didik. Guru bisa mengarahkan, memberi pemahaman, berdialog, pemberi jalan keluar dan bahkan menghukum jika diperlukan. Guru bukan hanya pemberi informasi, yang derajatnya sama dengan berbagai media informasi. Jika guru melakukan hal ini maka ia bahkan jauh lebih rendah dibandingkan buku atau internet, karena melalui kedua media tersebut siswa dapat memperoleh informasi yang jauh lebih banyak.

Tiga Tugas Besar Guru
(Sumber Gambar: Arends, 2009)

Tugas kedua adalah mengajarkan bidang ilmu tertentu. Penguasaan guru akan bidang ilmu tertentu dan sekaligus teknik-teknik mengajarkannya (pedagogik) akan memperlancar tugas yang kedua ini. Sejak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah diyakini oleh masyarakat luas bahwa penguasaan akan ilmu pengetahuan merupakan syarat mutlak untuk kemajuan suatu bangsa. Karena itu sekolah memiliki tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para siswa. Sebagaiknya pengajaran ilmu tersebut dilakukan dengan metode-metode ilmu (saintifik).

Tugas ketiga guru adalah bekerja sama dengan guru lain, struktur sekolah dan orang tua siswa. Sekolah adalah suatu organisasi yang cukup kompleks. Guru harus dapat mengembangkan jiwa kerja sama (berorganisasi), karena tanpa kerja sama yang sistematis maka fungsi sekolah akan sulit diwujudkan. Banyak sekali permasalahan-permasalahan di sekolah yang bersumber dari tidak adanya teamworking yang padu antara guru dengan pihak-pihak lain di sekolah dan orang tua.

Penjelasan di atas harusnya membuat para guru menyadari bahwa tugasnya bukan hanya sebagai penghantar informasi (pengetahuan). Seorang guru yang berperilaku demikian maka pada dasarnya belum layak untuk disebut guru.

Daftar Rujukan:
Arends, Richard I. 2009. Learning to Teach. Edisi Sembilan. New York: McGraw-Hill Companies, Inc

Monday, 16 November 2015

Apa yang Dipelajari Anak di Sekolah

Pandangan tradisional mengenai apa yang dipelajari anak di sekolah adalah ilmu pengetahuan. Dalam bahasa sederhana, "anak sekolah biar pintar." Berdasarkan pandangan ini maka fungsi sekolah, terutama guru adalah untuk memompa kemampuan kognitif saja. Mungkin anda masih banyak menemukan paradigma di ini, terutama di daerah-daerah terpencil.

Perubahan zaman, dimana masyarakat telah menjadi semakin terspesialisasi, ternyata juga menuntut perubahan peran sekolah. Para orang tua yang semakin sibuk dengan pekerjaan mereka akhirnya menggeser peran sekolah juga sebagai pengganti orang tua, walaupun tentu tidak seratus persen. Par guru menjadi lebih sibuk dan dituntut untuk secara hati-hati mengelola pembelajarannya agar anak-anak dapat mengalami perkembangan yang baik sehingga nantinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kemampuan apa saja yang harus diajarkan kepada siswa? Berbagai bidang ilmu turut berperan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satunya kajian psikologi. Secara intensif studi mengenai perkembangan manusia dan proses belajarnya didalami. Hasilnya, semakin berkembang pula teori-teori mengenai aspek-aspek diri anak yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran.

Salah satu teori mengenai aspek atau domain dalam diri anak yang harus mengalami pendidikan dipaparkan oleh Allen dan Marotz. Mereka menyebutkan terdapat enam aspek yaitu kognitif, psikomotor, sosial-emosional, bahasa, kepekaan kultural dan kreativitas. Keenam aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain, sehingga mengajar adalah suatu aktivitas yang benar-benar kompleks. Membutuhkan Pengetahuan, pengalaman, kesabaran dan kerjasama dengan berbagai pihak.

Enam Aspek Pembelajaran
(Sumber: Gordon & Browne, 2011)

Guru yang hanya memikirkan materi (pengetahuan) sebagai hasil pengajarannya tentu tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Selain itu, tanpa perhatian pada aspek-aspek pembelajaran secara menyeluruh maka yang akan kita dapatkan adalah generasi yang bermasalah. Inilah salah satu alasan mendasar perhatian pemerintah pada pendidikan karakter (aspek-aspek kepribadian anak secara utuh). 

Daftar Rujukan:
Gordon, A.M. Browne, K.W. 2011. Beginnings and Beyond: Foundations in Early Childhood Education. Edisi Delapan. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Pengertian Belajar

Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat jngka panjang pada mental sebagai hasil dari pengalaman. Dalam pengertian tersebut kita dapat menguraikan belajar menjadi tiga karakter utama yaitu perubahan yang  berjangka panjang, artinya perubahan (positif) yang dialami bukan hanya perubahan sementara atau sekejab, untuk kemudian kembali seperti semula. Belajar memberikan hasil yang berjangka panjang.

(Sumber Gambar: http://www.ideaonline.co.id)

Karakter kedua belajar adalah perubahan yang terjadi pada dasarnya adalah perubahan mental. Kita ketahui bahwa berbagai kemampuan manusia baik yang terlihat (seperti keterampilan tertentu) ataupun tidak terlihat (seperti pengaturan emosi) bersumber dari bagian internal atau mental. Bagian internal ini adalah pengatur dan penentu kualitas kemanusiaan. 

Karakter yang ketiga adalah belajar dihasilkan dari pengalaman. Belajar bukan perubahan karena obat-obatan atau perubahan alami karena karena kematangan biologis belaka. Pada karakter ketiga ini kita menjadi mengerti bahwa belajar menuntut keaktifan. Terdapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa belajar harus berdasarkan kesadaran dan diinginkan. 

Seorang anak yang belajar mati-matian untuk mengikuti ujian tentu tidak ada yang meragukan usaha kerasnya. Namun jika apa yang dipelajari hanya bertahan sampai ujian, untuk kemudian beberapa hari kemudian dilupakan apakah benar-benar dapat disebut belajar? Secara sederhana jika kita mengacu pada karakter pertama (bersifat jangka panjang) tentu anak tersebut tidak dapat dikatakan benar-benar belajar. Namun jika dibahas lebih mendalam berdasarkan hasil-hasil temuan ahli psikologi dan neurosains ternyata tidak semudah itu.

Belajar adalah aktivitas yang teramat penting bagi manusia. Berbagai teori dikembangkan sebenarnya semata-mata berdasarkan satu maksud utama yaitu untuk membantu manusia agar dapat belajar dengan lebih baik. Terutama para guru, yang tugasnya adalah mengajar siswa, sambil juga belajar mengembangkan kualitas dirinya.

Sumber Rujukan

Ormrod, Jeanne Ellis. 2012. Human Learning. Edisi enam. New Jersey: Pearson