Makanan, sepintas lalu, dianggap sebagai obyek pemenuhan kebutuhan energi untuk hidup setiap manusia. Namun tidak demikian bagi para ahli sosiologi. Makanan memiliki peran yang besar dalam membentuk kebiasaan dan bahkan pola pikir masyarakat. Oleh karena itu makanan dapat menjadi salah satu kajian utama ketika kita membahas kultur suatu masyarakat.
Jenis dan Pola Makan Masyarakat menjadi Salah Satu Bentuk Budayanya
Makanan Utama dan Pendukung
Setiap masyarakat umumnya memiliki makanan utama yang berupa makanan kaya akan karbohidrat sebagai sumber energi. Misalnya untuk kawasan Jawa dan Madura makanan utamanya adalah nasi, berbeda dengan kawasan eropa yang berupa gandum (biasanya diolah menjadi roti). Ciri makanan utama adalah sebagai sumber pokok energi setiap hari masyarakat. Bahkan di daerah kita sering terdapat ungkapan, "meskipun sudah makan banyak tapi kalau belum makan nasi, itu namanya belum makan."
Kebiasaan makan masyarakat mempengaruhi kinerja tubuhnya. Oleh karena itulah makanan-makanan yang telah terbiasa dikonsumsi setiap hari menjadi cepat diserap dan menjadi bagian dari metabolisme tubuh. Sedangkan makanan-makanan yang tidak terbiasa kemungkinan lebih sulit dicerna sehingga kita merasa "belum kenyang."
Makanan-makanan yang banyak dikonsumsi namun tidak harus ada setiap hari disebut dengan makanan sekunder. Misalnya daging, sayur, tahu-tempe, ikan, susu dan buah. Dalam budaya kita di Indonesia, makan nasi biasanya disertai dengan beberapa makanan sekunder tersebut di atas, namun tidak selalu sama setiap harinya.
Makanan lain yang bersifat insidental dan tergantung pada selera individual disebut dengan makanan perifer (sampingan). Contoh makanan perifer ini adalah jenis kue atau manisan tertentu yang dimakan hanya ketika ingin atau acara tertentu.
Ketersediaan makanan pokok di suatu negara turut menentukan situasi dan keamanan negara tersebut. Masyarakat yang telah terbiasa makan nasi misalnya, tentu akan menjadi risau ketika ketersediaan beras langka dan menjadi mahal. Hal tersebut akan berakibat pada kestabilan ekonomi dan keamanan sosial. Meskipun ketersediaan makanan lain yang sejenis seperti jagung atau ketela melimpah namun biasanya masyarakat sangat sulit mengubah pola makannya seketika.
Cita Rasa Makanan
Ciri khas suatu daerah berkaitan dengan makanan, selain pada jenis makanan pokok dan pendukungnya, juga adalah pada cita rasa. Seperti di Indonesia, berbagai daerah dengan jenis makanan yang sama namun memiliki resep dan menu masakan yang berbeda. Kecenderungan makanan dengan rasa manis, asin, pedas atau hambar umumnya telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat.
Pernahkah anda berkunjung ke suatu daerah dan mencicipi makanan pokok di tempat itu? Meskipun dengan bahan dasar yang sama, namun bisa jadi terasa aneh di lidah, padahal bagi masyarakat setempat makanan tersebut adalah yang terlezat. Itulah contoh bagaimana kebiasaan membentuk cita rasa masyarakat akan makanan. Indonesia merupakan negara dengan aneka masakan yang sangat bervariasi. Oleh karena itu wisata kuliner menjadi salah satu bidang yang berkembang di negara ini.
Pola Makan
Bagaimana masyarakat makan setiap harinya, biasanya membentuk pola-pola tertentu. Misalnya di kawasan elit perkotaan sarapan umumnya berupa makanan cepat saji seperti roti dan susu, berbeda dengan kawasan lain (apalagi kawasan pertanian) yang sudah mengkonsumsi "makanan berat." Demikian pula dengan penyediaan buah, yang di suatu daerah wajib ada setiap makanan namun di kawasan lain tidak perlu.
Pola makan juga mengiringi aktvitivas-aktivitas tertentu, seperti ketika kedatangan tamu. Di kota biasanya tamu hanya dihidangkan makanan kecil dan minuman seperti teh. Namun di desa kawasan pertanian atau nelayan, tamu biasanya dihidangkan "makanan berat" yang lengkap. Tamu dianggap tidak menghargai tuan rumah jika menolak untuk makan.
Ritua-ritual sakral masyarakat juga ditandai dengan adanya makanan-makanan tertentu. Makanan tidak hanya menjadi pelengkap atau pemenuhan gizi tetapi memiliki simbol-simbol yang bermakna dalam. Indonesia kaya akan ritual dengan jenis-jenis makanan tertentu sebagai simbol pelaksanaan ritual tersebut.
Buku Rujukan:
Kittler, P.G. Sucher K.P. 2008. Food and Culture. Edisi Lima. Belmont: Thomson Higher Education
Bermanfaat sekali. Terimakasih infonya bapak.
ReplyDelete