Ki Hadjar Dewantara, atau yang di masa mudanya bernama Suwardi Suryaningrat adalah contoh atau teladan seorang manusia Indonesia yang berbudi luhur dan terus belajar. Terlahir sebagai seorang bangsawan tidak membuat beliau merasa berbeda dengan orang kebanyakan. Justru sebaliknya, Suwardi muda telah menunjukkan kedekatannya dengan rakyat terutama melalui tulisan-tulisannya mengenai nasionalisme di bawah penjajahan Belanda.
Tulisan yang menggugah nasionalisme, khususnya yang berjudul "Andai Aku Seorang Belanda," juga akhirnya yang membuat Suwardi dihukum buang oleh pemerintah kolonial. Dalam gaya tulisan yang lembut, etis dan terhormat beliau menggambarkan bahwa semua orang di dunia ini sama seperti orang-orang Belanda, pasti merasa senang dan bangga akan negara dan bangsanya yang merdeka dan berdaulat. Serta tidak pantas bagi bangsa manapun untuk menjajah bangsa lain.
Suwardi memilih hukum buang ke negeri Belanda, tepatnya pada tanggal 6 September 1913 dan kembali ke tanah air pada tahun 1919. Kehidupan yang serba sederhana dan kekurangan dilewatinya bersama keluarga di negeri kincir angin yang dingin. Di negeri itu beliau banyak belajar dan semakin menyadari bagaimana substansi dari eksistensi seorang manusia dan sebuah bangsa.
Perbedaan utama bangsa Eropa dan Asia dalam pandangan Suwardi adalah pada karakter individualistik dan gotong-royong. Orang-orang eropa memiliki prinsip hidup bahwa kemuliaan manusia terletak pada kemandiriannya. Mereka disebut terhormat apabila kesuksesannya benar-benar adalah hasil jerih payahnya sendiri, tidak atas bantuan atau warisan. Prinsip tersebut membuat masyarakat cenderung hidup sendiri-sendiri. Kalaupun berinteraksi tentu atas kesepakatan-kesepakatan tertentu yang saling menguntungkan.
Bangsa Asia, dan Indonesia tentunya, lebih mengedepankan gotong-royong sebagai prinsip hidup mereka. Seseorang dianggap mulia apabila dapat bermanfaat atau berguna bagi orang lain. Saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengharapkan keuntungan meteri adalah hal yang biasa kita temui. Individualisme masih dapat kita temui juga, namun tidak dominan (di zaman itu tentunya).
Suwardi bukan seorang nasionalis yang buta. Dalam jiwa dan semangatnya yang memang senang belajar, Suwardi menganggap bahwa setiap bangsa memiliki kelebihan masing-masing. Oleh karena itu kita sebagai bangsa harus memperkuat karakter yang kita miliki. Namun di sisi lain, nilai-nilai positif dari bangsa lain dapat kita pelajari juga untuk diadaptasi dengan nilai-nilai kita sendiri. Tentu saja tidak dengan menyalin secara langsung (copy-paste). Suwardi mengatakan bahwa kita harus memasaknya terlebih dahulu agar sesuai dengan "lidah dan perut kita." Ibaratnya nasi goreng sebagai karakter bangsa, kita dapat menggunakan bahan-bahan tambahan dari luar untuk meningkatkan kualitas nasi goreng tersebut. Selama hidup di pengasingan Suwardi menjadi teryakinkan bahwa pengambilan unsur-unsur asing yang positif akan memperkaya budaya sendiri tanpa melepaskan kepribadian sebagai bangsa.
Pandangan Ki Hadjar di atas terasa semakin signifikan di zaman globalisasi saat ini. Kita tidak dapat mengisolasi diri dari budaya bangsa lain. Pertukaran budaya terjadi setiap saat dengan mudahnya. Yang perlu dilakukan adalah memahami dengan sebenar-benarnya siapa diri kita dan bagaimana budaya kita. Ibaratnya memasak nasi goreng dengan bahan tambahan dari luar seperti contoh Ki Hadjar di atas, sebelumnya kita sudah harus tahu bagaimana memasak nasi goreng. Maka bahan tambahan tidak akan merusak nasi goreng yang kita masak. Dan di situlah peran pendidikan serta para guru.
Guru Berperan Penting Menyiapkan Karakter Siswa sebelum Berinteraksi dengan Dunia Luar
Buku Rujukan:
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
No comments:
Post a Comment