Salah satu asas pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang diterapkan di Taman Siswa adalah menciptakan iklim keluarga antar guru (pamong) dan siswa. Seperti layaknya keluarga, maka hubungan mereka menjadi sangat erat. Melalui iklim seperti keluarga itulah maka pendidikan tidak hanya akan meliputi aspek intelektual saja, bahkan layaknya ibu atau ayah yang sesungguhnya, para guru akan sangat risau dengan perkembangaan budi pekerti para siswa.
Pada masa awal pendirian Taman Siswa, dasar kekeluargaan inilah yang menjadi pembeda kuat dengan sekolah-sekolah Belanda. Kondisi tersebut tergambar dengan jelas dalam kutipan berikut:
Seorang pamong Taman Siswa yang semula menuntut pelajaran di Sekolah Gubernemen menceriterakan pengalaman nya bahwa ada perbedaan yang besar antara sekolah tersebut dengan Taman Siswa. Di H.B.S. di mana ia dulu menuntut pelajaran, guru adalah seperti pegawai yang berdiri di depan kelas. Ia tidak pernah menaruh perhatian kepada murid-muridnya, selain mengajar yang dipusatkan pada pembentukan intelek. Ia tidak akan mengerti kesulitan anak didiknya. Sebaliknya siswasiswa di Taman Siswa merasa bahwa perguruannya merupakan rumah ke dua. Di tempat itu ia menemukan "bapak" atau "ibu" yang dapat diminta nasihatnya atau pertimbangannya apabila mereka menghadapi kesulitan. Mereka tidak takut menyampaikan masalah-masalahnya itu kepada bapak atau ibu pamong, karena antara kedua belah pihak itu terdapat ikatan batin yang intim, ikatan yang terdapat dalam keluarga (Soeratman, 1985).
Dasar kekeluargaan di Taman Siswa semakin kuat karena tempat tinggal para guru biasanya juga di sekolah. Berbagai program dapat dilaksanakan dengan bervariasi karena para guru senantiasa hadir di sekolah. Anak-anak setelah pulang dapat kembali ke sekolah untuk mengikuti program sore atau hanya sekedar untuk menemui bapak/ibu pamongnya dengan berbagai keperluan.
Dasar kekeluargaan membuat hubungan batin seperti keluarga. Rasa sayang guru terhadap siswa akan tercurah, karena mereka tidak hanya merasa dirinya sebagai "pegawai" sekolah. Sebaliknya rasa hormat dan kesadaran siswa untuk mengikuti arahan para guru (pamong) juga sangat besar.
Guru (Pamong) Sebagai Orang Tua di Sekolah
Metode mengajar dalam sistem kekeluargaan ini juga akhirnya menjadi berbeda. Ki Hadjar menyebutnya metode among. Artinya membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak agar dapat berkembang sesuai dengan kodratnya. Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana kepahlawanan seorang guru yang diharuskan lebih mendahulukan kepentingan para siswa dibandingkan kepentingan diri. Pada zaman penjajahan umumnya guru disebut tuan, nyonya, nona, den behi atau ndoro. Namun di taman siswa para guru disebut bapak atau ibu, seperti orang tua sendiri.
Buku Rujukan:
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Buku Rujukan:
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
No comments:
Post a Comment